3 JUDUL PUISI YANG DIMUAT DI HARIAN UMUM KABAR CIREBON EDISI SABTU, 27 MARET 2010

1 min read

Sajak Leksika
Oleh : D. Dudu A. R.

Acapkali awang auditorium dedak nafas pemburu berita
Atrium terkejut mendadak teriak, berseru kepada belikat
Ada sesuatu di dalam sana, topik baru bertema beluwak
Apalagi yang kau jinjing dalam keramba?

Belum sempat benahi seratus hari, dua puluh satu hari saja letih sudah cekat
Aku curiga, sambil menghisap cerutu di cangklong
Kau semaikan senyum cenderawasih bermuka jela
sasmita tarian bibirmu telanjangi sandiwara kepompong

Sudah kecewa beberapa kali
Atas sikapmu yang kesana kemari
Siakan waktu kelabu berbahasa prakerta
Dengan pidatomu yang bersastramorgana

Keraguan di aura muka kamera, seolah-olah wajahmu mengajak bicara
Tentang gaya kamuflasemu beraksi di televisi
Rikuh raut berlaga wibawa, kau dramakan di mimbar istana
Kau sudah lupa? Aku mempercayaimu lebih dari dua ratus juta manusia
Indonesia.

Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan ,siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?

Sudahlah! Aku semakin tidak percaya
Setelah kau bersajak leksika
Hanya untuk menutup siluet
Kebobrokan sistem yang semerawut

Sekali lag!
Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan, siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?

Menggendong penipu-penipu pulus,
kau setia saja antarkan mereka, sambil bercumbu manja
Bergelimang cahaya maya, menyinarimu sementara.
Alegori santunmu adalah parafrase para pembawa warta
Di setiap wacana.

Tasikmalaya, 27 November 2009

Kau di Puncak Hujan 2

Oleh : D. Dudu A. R.

Di puncak hari, langit menangis juga

Ketika cambuk matahari mengamuk

Aku tak sadar, lelah di muka malam

Adalah keringat tubuh yang merindu dekap hangat

Seribu kali sayang, keinginan hanyalah khayalan

Betapa tidak, penari dalam otak laksana bidadari di televisi

Direngkuh tak tergapai, di cium hanya mengembun di layar

Lalu, aku nanar, berontak menampar nalar

Rebahkan lelah di pembaring penantian, tak pernah

-lelap

Hanya bunga-bunga saja mengikuti sedari tadi

-di mimpi

Aku lemah, ketika mata memandang lengkuas hati

hanya jemari menarinari, di kertas bekas serabi

Aku tak ingin biasa menantimu disetiap senja

Kemari, jadilah lembayung ketika aku limbung

2010

Di Tol Ciperna

Oleh : D. Dudu A. R.

Tergesa, muncratkan tinta; darah di tubuh gelisah

Menggelora, ketika perjalanan lama hanya sekejap

Senyap,

Entah sadar terlarut ke pusaran maut

Terbang melengkung di safir langit, seperti Elang.

Menukik di surau jembatan; rebahkan lelah di pelataran taman

Tak pernah sebuncah kali ini, mendaki waktu tanpa remah kebiri resah

Ada perasaan ganjil menemani ruh, bergelombang di arus angin

Melesat satu arah, bergumul syahdu; menelorong ke langit tujuh

Menyatu dengan zat maha dahsyat, ”gawat aku kiamat”.

Dia kah mendekap? Membawaku ke tiada arah

Jiwa ke dasar sadar, tak ada gusar menampar

Daun senja melambai-lambai, saat terakhir merenung di buaian

Aku kembali mengembara.

2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *