“Be-te! Kapan Gue Jadi Bintang?”

1 min read

JUJUR, kita pasti pernah berpikir demikian. Betapapun lemahnya kesadaran akan hal itu, harus diakui bahwa keinginan menjadi “hebat” adalah kebutuhan untuk mengukuhkan eksistensi diri. Setidaknya, dengan itu kita dianggap ada sebagai “manusia”.

Pada prinsipnya setiap manusia memiliki naluri untuk dihargai —mungkin karena kita dikasih nafsu kali ye?. Hanya saja, ngga semua orang bisa bersinar dengan mudahnya. Untuk layak menerima sebuah penghargaan, kita musti berproses dan mengaktualisasi diri.

Secara, David Mc Lelland menyebut kebutuhan untuk berprestasi sebagai Need of Achievement (N-ach). “N-ach itu” kata Mc Lelland, “merupakan sesuatu yang akan datang dengan sendirinya setelah kebutuhan fisiologis dasar telah terpenuhi”.

Nah, untuk menjadi sosok ini tentunya kita musti punya tujuan hidup, komitmen, n’ senantiasa membuat diri sendiri merasa “kekurangan”. Dengan begitu, kita selalu tertantang untuk memperbaiki diri demi melakukan “usaha yang terbaik.”

Ada satu hal yang patut jadi bahan pemikiran kita semua: Bahwa terlalu banyak pelajar yang menilai keberhasilan dini dengan “besaran kognitif”. Padahal kejeniusan itu relatif, artinya ngga melulu terbatas oleh definisi angka dan kata. Setidaknya, perombakan paradigma dari “jenius adalah temuan matematis” menjadi “jenius adalah hal mengagumkan apapun yang dilakukan siapapun ” dapat menolong mereka yang memang “cerdas” di luar konsepsi akademik. Sebab tiap orang telah dikaruniai kecerdasan berbeda untuk melakukan hal menakjubkan yang berbeda pula

Fren, kalau kita semua berpikir realistis, sebenernya semua orang bisa jadi “hebat”. Seperti kata Edison “All children are born geniousses”. Perombakan paradigma itu Nantinya, akan mendorong siapapun bebas maju sesuai warna kecerdasan masing-masing. Minimal mendekati teori Multiple Intelegence-nya Howard Gardner: Cerdas kata (Linguistic smart), cerdas mempersepsi apa yang dilihat (Visual smart), cerdas berhitung (Logical smart), cerdas mengamati alam (Nature smart), cerdas memahami orang lain (Ekstrapersonal smart), cerdas mengenali diri sendiri (Interpersonal smart), dan cerdas fisik (Kinesthetic smart).

Intinya, motivasi dan kecerdasan untuk menjadi “Hero” butuh realisasi. Hal ini diperkuat dalam mozaik An-nahl:78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dia memberi kamu pendengaran,  penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.

Kesimpulannya yeuh, mungkin jika diibaratkan, sebenarnya otak kita tuh bagai computer super canggih. Tapi secanggih apapun otak itu, apa yang akan dilakukan tergantung pada pilihan  sang “operator”. Ceuk istilah si “Boy” mah, cerdas ngga cerdas adalah sebuah pilihan hidup. So..be ur self gituh. Lagian menurut Henrik Isben, “What’s a man fist duffy? The answer is brieff “to be him self”—apa tugas pertama seorang manusia? Jawabannya singkat. Menjadi diri sendiri.***

Yensus,
ysleslie@gmail.com
BaJu KoPraL SMA Plus Darussalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *