Oleh : Affrilia Utami
/1/
aku tidak bisa sedekat itu dengan alas kukumu
silau cahaya buatku tertunduk mengembalikan ingatan lampau
melangkah melewati sampah-sampah setelah rumah tangismu
kamu tidak akan pernah tahu
seberapa banyak coretan penuhi catatan bathinku
liriklah barang sebentar, aku menunggu dua matamu
di lampu tua, pinggiran jalan-jalan yang mengatarkan
kehidupan –
pada kematian.
/2/
sepatu-sepatu terpasang disatu wajah
diam-diam berjalan, bersuara rangkak, dan mengendus-ngendus
tapi kamu berlari dengan pecutan dari pak Kusir yang tak hafal arah jalan
lupa bertanya pada Tuhan.
kamu tersesat,
jadi
…mayat yang sekarat .
/3/
dia bertanya padaku, tentang kabar kematian tiga hari kedepan
dia mengancam agar aku menghapus dan merobek-robek nisan
yang menuliskan nama ditubuhnya. dia berniat membunuhku
–di neraka.
/4/
kau tahu arti sepi?
barangkali yang kau tahu hanya tentang kematian sepi
atau titik-titik dengan barisan membentuk garis
membentuk raut yang aku tidak kenali barang sesaat pun
kau tahu arti hidup?
tapi kau hanya menjelaskannya dengan nafas dan nafsu.
/5/
mereka berkata bahwa ini bumi tempat manusia bercinta.
tapi aku bersuara, ini tempat kebencian terlahir dengan gerak
berkembang menyumbangkan benih di bumi yang ada dirahimmu.
untuk kemudian membangun dan menghancurkan. begitulah fasenya.
10 Juli 2011