Catatan si Telaga

1 min read

Rina Amalia

JUJUR, kami tidak begitu suka dengan puisi. Rasanya ada cara yang lebih mudah untuk mengatakan sesuatu daripada lewat puisi. Maka, ketika kami  disodori musikalisasi puisi Sapardi Joko Damono  yang berjudul “Akulah si Telaga” untuk diterjemahkan ke dalam bentuk video, kami garuk-garuk kepala. Akan seperti apakah video ini di tangan orang-orang yang bukan maniak puisi seperti kami?

[Dicari : Pahlawan]

ini tentang pahlawan. Jangan membayangkan wajah-wajah yang selalu nampang di dinding-dinding kelas waktu kita SD dulu. Jangan pula memikirkan hiruk-pikuk perang dengan perngorbanan yang berdarah-darah. Oh, tentu saja kami tidak membicarakan medali dan gelar kepahlawanan yang diberikan pemerintah.

Sapardi Joko Damono membicarakan tentang pahlawan-pahlawan kecil yang dilupakan. Tidak berbeda dengan telaga dan perahunya yang ditinggalkan orang ketika sudah menyeberang dengan selamat. Marahkah telaga kepada orang-orang yang sudah numpang menyeberang itu? Tidak.

[Pahlawan : pencarian hampir selesai]

Ini tentang ketulusan dan pengorbanan. Kami menemukan keduanya pada orang yang berseragam kuning, bersenjatakan sapu lidi dan pengki, memakai sepatu karet, menguasai medan, terutama yang becek-becek. Dia kecipratan  dosa kita, yang sering membuang sampah sembarangan. Dia menjaga jalan-jalan kota dari sampah-sampah kita,  dari trotoar ke trotoar, dari hari ke hari :tidak ada libur.

[Kami bertemu Pak Maman]

“Kalau ada rame-rame atau kampanye, kerjaan banyak, Neng”, kata Pak Maman, tokoh dalam video  kami. Pagi buta, ketika orang-orang masih berselimut karena kedinginan, kami menemukannya sedang terbungkuk-bungkuk “mendayung” dengan sapu lidinya. Dia bersemangat sekali. Dia punya tanggungan jalan untuk dibersihkan sepanjang 1 km, bolak-balik. Tetapi ketika kami temui, Pak Maman masih bisa tersenyum dengan riang. Nampaknya, baginya ini bukan pekerjaan berat, meskipun sedikit melelahkan.  

[Rolling…Action!]

 

– untuk Tasikmalaya

Kami jadi tidak enak karena sudah mengganggu pekerjaan Pak Maman waktu itu. Tapi, Pak Maman sendiri tidak risih dengan kami yang membuntutinya dengan kamera di tangan. Rasanya senang sekali bertemu Pak Maman, yang langsung akrab dengan kamera kami, bahkan pada saat pertama kali kami bertemu. Padahal, Pak Maman kami pilih tanpa proses casting lho. Sepertinya, Artis-artis sinetron bisa kalah nih kalau dibandingkan dengan Pak Maman.

 

[Di Pagi Hari…]

Matahari muncul dengan dramatis. Orang-orang turun ke jalan mencari semangat baru. Para tetangga saling menyapa, menanyakan kabar. Tasikmalaya indah sekali di pagi hari. Kami baru sadar ketika itu. Teman kami bilang, Tasik itu videogenic, indah sekali dalam besutan kamera. Rasanya, kami, para Pasukan Hudang Beurang, tidak menyesal sudah bangun pagi-pagi sekali untuk membuat video ini.

[Sebuah Kontribusi]

Video ini kami buat dalam Workshop “Aku, Video, dan Puisi” yang diselenggarakan Kampung Halaman. Kami dipertemukan lewat workshop ini. Tiga orang yang berbeda: satu pekerja kreatif, satu pelajar, dan satu aktivis HIV-AIDS; dengan otak dan imajinasi yang  berbeda pula, bersatu. Kami mencoba memberikan kontribusi untuk Tasikmalaya kami. Kami ingin memulai kontribusi ini dari hal yang kecil: sebuah video.

[Untuk Tasikmalaya]

Video ini kami persembahkan untuk Pak Maman dan semua orang di Tasikmalaya. Kami sungguh ingin berbagi cerita dengan teman-teman di Tasik. Kami ingin mengajak teman-teman untuk melihat Tasik dengan cara baru: lebih awas, lebih indah, lebih baik. Karena kita semua anak muda. Perubahan di tangan kita. Semangat!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *