Oleh Tatang Pahat
“…..seni adalah elemen pendidikan, seperti halnya membaca, menulis, dan aritmetika … musik, tari, lukis, dan teater adalah kunci yang membukan pemahaman dan keterampilan manusia yang sangat besar…Seni tidak hanya menyampaikan bagian-bagian yang mengandung arti bagaimana menjadi manusia; seni juga memberikan hubungan kedalaman, dan pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat”
Pernyataan Bernet tersebut mengindikasikan bahwa kontribusi seni budaya pada kehidupan manusia sangat besar. Maka perlu mendapat perhatian dari kalangan pekerja seni (seniman) seluruh lapisan masyarakat, dan pemerintah tentunya.
Seni pernyataan (teater) erat kaitannya dengan bahasa sebagai media komunikasi yang digunakan. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa hadir bersamaan dengan sejarah sosial masyarakat. Untuk jenis seni dengan genre ini bahasa (verbal/non-verbal) merupakan bagian terpenting untuk mengkomunikasikan ide dasar sebuah karya. Alhasil media komunikasi berdampak pada karya yang bernilai universal dimana memunculkan esensi pada sebuah karya, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Seni sebagai suatu bentuk refleksi kebudayaan dalam proses komunikasi senantiasa melibatkan aspek-aspek atau nilai-nilai budaya. Hubungan seni dan budaya merupakan hubungan resiprokal, timbal-balik. Konsekuensinya bahwa setiap pemahaman dan penghayatan terhadap karya seni memerlukan wawasan seni dan budaya. Semntara apresiasi dan kreasi pada dasarnya adalah proses komunikasi budaya yang melibatkan pikiran, perasaan, kehendak dari pencipta (seniman), pengamat maupun penikmat karya seni tersebut. Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang mendunia, maka proses transformasi budaya telah merambah dan menerobos pada kehidupan budaya lokal semakin tak terelakkan.
Budaya yang berkembang di tingkatan lokal senantiasa harus saling berinteraksi dan saling mempengaruhi untuk mewujudkan nilai budaya yang sesungguhnya. Salah satu bentuk kepedulian terhadap perkembangan budaya tersebut melalui sebuah peristiwa budaya dalam bentuk parade teater, kegitan ini sebagai salah satu jawaban dari stigma stigma miring terhadap insan insan seni (teater) yang ada di Tasikmalaya. Lebih jauhnya menghapus terhadap ketergantungan kepada lembaga yang menaungi tentang budaya dan kebudayaan.
Seni teater pada dasarnya berhubungan dengan pengembangan berbagai potensi dasar manusia secara menyeluruh dan utuh di daerah peristiwa teater itu terjadi . Potensi yang dapat dikembangkan melalui seni budaya, acap kali sangat berhubungan dengan habit yang dicangkok kedalam seni teater tentu saja dengan memperhitungkan konsepsi, pengetahuan, pemahaman, analisis, dan evaluasi. Sementara apresiasi berhubungan dengan persoalan pengertian dan penghayatan terhadap karya seni teater tadi.. Pada bagian lain nilai kreasi hubungannya dengan persoalan kemampuan mencetuskan ide gagasan yang di dasari kebebasan bereskspresi dan beraktualisasi untuk menghasilkan kekaryaan. Ketiga kekuatan ini bersifat koheren dan komplementer, senantiasa melibatkan logika, kinestetik dan estetika dengan berlandaskan pada moral dan etika yang berkembang di wilayah setempat. Inilah yang dinamakan budaya sebagai penyelamat martabat bangsa!
Sesungguhnya seni teater berpeluang untuk mengembangkan berbagai potensi kepekaan sosial yang berkembang di masyarakat. Diharapkan menjadi simbol budaya, local genius, sehingga menjadi cermin budaya sebagai identitas diri yang memang harus diretas dan dibangun melalui proses pendidikan, sementara seni teater terlahir dari kebutuhan kelompok yang secara “budaya birokrasi” terpinggirkan tetapi mempunyai tujuan untuk menjadikannya bangga atas identitas dirinya (seniman) dan wilayah dimana peristiwa itu terjadi. Ironis memang!
Maka pendidikan di sini lebih diarahkan kepada perkembangan individu sebagai makhluk kreatif dan selalu berada di dalam relasi dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. Sebab nilai kreativitas inilah yang menyebabkan suatu kebudayaan akan selalu dalam status dinamis, terus menerus berubah dan memberikan makna terhadap perkembangan infra-struktur di masyarakatnya. Parade teater ini bukanlah membangun pribadi-pribadi yang sama, identik satu dengan lainnya, dan tersandar secara uniform, melainkan membentuk pribadi yang bebas untuk merekonstruksi dan memproduksi kehidupan pribadinya agar lebih berkualitas.
Sesungguhnya semangat ini didasari untuk melepaskan diri dari dominasi suatu budaya tertentu (Birokrasi). Keadaan inilah yang menjadi pemahaman mendasar, yaitu sebuah pendekatan pendidikan seni lewat kegiatan parade teater, sekaligus untuk memperingati hari teater sedunia, semata-mata mencipta mental budaya yang memiliki kepribadian dan jati diri.
Teater Domba
Parade teater yang di prakarsai oleh FTT Forum Teater Tasikmalaya, berlangsung pada tanggal 10, 11 April 2010. Kegiatan ini merupakan sebuah dedikasi terhadap hari teater sedunia yang jatuh pada tanggal 27 maret. Selain itu sebagai salah satu implementasi bahwa Tasikmaya merupakan kota budaya disamping sebagai kota santri, menurut Ashmansyah Timutiah sebagai kaisar dari Forum Teater tasikmalaya “kegiatan serupa sebagai sebuah penghargaan kepada seniman-seniman teater (pekerja teater maupun penulis naskah), sebab di Tasikmalaya banyak sekali menelorkan tokoh seniman seniman besar bukan saja bertarap local dan nasional bahkan sudah bertarap internasional, Acep Zam zam Noor, Nunu Nazarudin Azhar, saeful Badar, masih banyak lagi(-red)”. Mereka semua mempunyai dedikasi terhadap perkembangan kesenian, mengharumkan Tasikmalaya dalam kancah regional, nasional bahkan internasional. jangan di ragukan lagi! Persoalannya adakah yang peduli kepada mereka? Tidak! “Lanjut Ashmansyah Timutiah”
Dengan kegiatan ini ( Parade Taeter ), Forum Teater Tasikmalaya perlu untuk memberikan sebuah penghargaan, disamping kelompok-kelompok kesenian yang sudah berproses bertahun tahun. Kami yang tergabung dala Forum Komunikasi Teater Tasikmlaya merasa prihatin denganparadigma ini. Maka perlu adanya sebuah event untuk menghargai dedikasi mereka sekaligus memperingati hari jadi teater sedunia. Jalan yang kami bisa dengan membuat event parade teater yang didalamnnya diisi dengan berbagai kegiatan, selain menggelar pertunjukan 10 kelompok teater yang ada di Tasikmalaya (kota dan Kabupaten), juga memberikan penghargaan kepada seniman yang memberikan kontribusi terhadap wajah Tasikmalaya di mata luar. “Tukas Ashmansyah Timutiah yang lebih akrab disebut Acong ini”
Kenapa domba yang menjadi bentuk penghargaan? Karena dalam hewan domba banyak sekali manpaatnya, misalnya domba itu hewan yang suka diadu, dagingnya sebagai obat kuat ( jangan terlalu banyak bisa-bisa darah tinggi), tanduknya sebagi hiasan, bulunya sebagai bahan wol. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan ternyata kesenian itu tidak jarang dari pihak pihak tertentu menjadi ancaman, tapi menjadi tidak sedikt bahwa kesenian sebagai wajah kebanggaan. Bisa disimpulkan bahwa kesenian memnjadi persoalan yang komplek, tapi kita tidak bisa menghindar dari seni karena sudah menjadi kebutuhan sehari –hari. Semoga catatan kecil ini menjadi spirit untuk memajukan seni dari mulai masyarakat biasa, seniman sampai ke pemerintahan. Jangan sampai kalah sama domba!(*)
Penulis,
Pemerhati dan Praktisi Seni Petunjukan
Anggota Forum Teater Tasikmalaya
Tinggal di Tsikmalaya