Gradasi

37 sec read

Aku sunyi di sini. Aku sepi. Terluka dan bermimpi akan
cahaya yang bila datang membakar sisa-sisa gambar, aku
takut. Aku bermunajat dan berdoa akan cahaya. Aku
terus berharap tengadah. Menyingkirkan luka-luka
irisan yang Kau buat, yang perlahan tersambung tanpa
warna dan gradasi.
Aku diam. Tanpa kata-kata terlontar pelan, jauh
jalanan yang hilang. Tapi aku tidak menoleh ke
belakang. Karena cahaya tidak akan datang menjemput.
Beralaskan teguh, dengan doa ranting-ranting patah,
memungut dan berlari.


Lintasan lalu dan gemetar.
Pasti Dia tak lupa. Hakikat air-api yang melegenda.
Aku tersendat di tengahnya, terhimpit dan lelah. Cari
semua bilik untuk mengunci rantai kenistaan seorang
hamba. Seorang pembangkang.
Akankah ia sadar, padahal titik itu nyaris padam tak
bersua. Hilang kesahajaannya oleh harmoni senja muram
yang tak terciptakan. Aku tak tidur. Tak akan bisa.
Istirahat membutakanku pada papan nama di sudut
percabangan rahasia. Frustasi tiada henti.
Oleh-oleh yang tidak kuminta sebelumnya, merupakan
hadiah terindah  seorang sahabat yang diajar dan
belajar tersenyum pada langit.Aku bertanya, apakah itu
Sang Cahaya?
Dalam alasan yang terhampar dan kertas-kertas tua,
kutemukan satu kalimat nyata.
Sampaikan salam hangatku untuk-Nya”.

Paris Van Java, 26 July 2005

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *