“Ku lihat ibu pertiwi..
sedang bersusah hati. airmatanya berlinang
Mas intannya terkenang..
hutan, gunung, sawah, lautan
simpanan kekayaan..
kini ibu sedang lara, berintih dan berdo’a”
Seperti inilah aku menangis.
Lebam dua mata, hidungku merah. Nafas semakin sesak, makin, sulit. Uh, Sesak!
Tujuh bungkus tissue sudah habis, namun tetap tak mengeringkan amisnya gerimis ini.
Tumpah ruah mewajah diraga, lalu karam didebar tsunami hati.
Ya, Tuhan.. aku lelah menangis, aku lelah melihat saudaraku meng-evakuasikan sisa airmatanya.
Aku lelah mencari di mana muara airmata ini akan surut lalu terganti dengan mata air baru-Mu.
Aku lelah..! Tuhan..
Akan lebih lelah, menyaksikan para saudaraku, umatMu yang masih dirundung mendung panas. Wedhus Gembel.
Beratus ribu korban melayang, diterbangkan muntahan abu yang debu. Merapi Mentawai.
Gempar, retak sudah tanah berpetak.wasior. Tanah yang kami cintai, yang dulunya kami nikmati tanpa gelisah, resah sampai bencana meluluh lantakkan, ah!
Seperti inilah aku menangis…
Ya, Tuhan. Aku melihat
Ibu itu menjerit mencari anak-anaknya yang lupa terbawa.
Masih tertinggal diselimuti gusarnya ombak, waktu tadi.
Ya, Robbi. Aku menyaksikan
Ayah itu tak malu deraskan airmata, berteriak
memanggil jiwa anak-istri yang lupa dibangunkan
saat tombak tergeletak terbawa arus.. .gugur kumis sudah.
Ya, Ilahi. Aku menemani
Bocah-bocah itu menangis…
menangis!… menjerit… mencari… sambil gerah
di mana ayah dan ibunya yang baru saja
temani memancing kata, menjaring arti hidup.
Di ladang tempurung waktuMu.
Lihatlah Tuhan,
Sungguh, Aku malu untuk menangis
Tapi apa itu malu untuk kubawa
Dalam musim yang amis ini.
Lihatlah Tuhan,
Tangisku ini semakin hujan
menanggapi luapnya nisan dan kuburan
Lemah hatiku tertekuk, sujud di- Mu.
Airmata ini pahit, sungguh sakit.
Lihatlah Tuhan,
Aku semakin roboh, Sungguh!
Melihat sejenisku sedang menata
Kokoh jiwa-jiwa yang masih berada.
Tersisa.
Jangan melihat Tuhan,
Aku ikut dalam hilang itu …
28 Oktober 2010