Idul Adha Eratkan Ukhuwah

1 min read

SUDAH menjadi rutinitas tahunan, ketika Idul Adha tiba, santri pondok pesantren Darussalam tidak dipulangkan, termasuk mahasiswa dapus (dalam kampus) dan juga pembimbing asrama

Tanggal 10 Dzulhijjah merupakan hari yang spesial bagi umat Islam. Kebahagian tentunya didapat oleh sebagian orang islam yang mendapat undangan dari Allah untuk menyempurnakan keislamannya menunaikan ibadah haji ke baitullah sana, dan sebagian muslim yang lain mendapat kesempatan untuk membuktikan ketaatan kepada Rabb-nya dengan menyembelih hewan kurban juga melaksanakan puasa arofah.

Berbeda dengan Idul Adha tahun sebelumnya, kali ini ada dua versi pelaksanaan shalat id. Hal karena perbedaan penentuan awal bulan dzulhijjah. Hal ini pula yang menyebabkan adanya isu di kalangan santri yang menganggap orang yang berpuasa pada hari selasa (16/11) adalah puasa haram, karena berpuasa ketika hari raya. Tetapi tidak demikian, karena ini masalah keyakinan hubungannya dengan masalah ijtihad.

Perbedaan ini, bagi santri Darussalam yang dididik untuk menjadi muslim moderat harus dapat saling menghormati dan jangan merasa benar sendiri. Seperti ditegaskan Wakil Pengasuh Pesantren, KH. Dr. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA, M.Ag. pada pengarahan sebelum pelaksanaan takbiran, selasa (16/11) kemarin.

Dengann cuaca yang mendukung, pelaksanaan shalat ‘id pun dilaksanakan di lapang sepak bola Dewasari. Santri berbodong-bondong dengan pakaian serba putih -apalagi santri putri- sekitar pukul 05.45. hal karena pelaksanaan shalat idul adha harus lebih pagi dari shalat idul fitri. Hadir K. Dase Fadlil Yusdi Mubarok, SH sebagai imam dan khatib yang didalamnya menjelaskan tentang haji dan hubungannya dengan sifat manusia ketika tertimpa musibah.

Penyembelihan hewan kurban dilaksanakan di halaman Ibnu Rusydi. Berjejer empat ekor sapi yang telah menunggu untuk menghadap penciptanya. Setelah darah mengalir, tibalah saatnya untuk menuju tempat “manggang” sate. Inilah yang menjadikan rasa kekeluargaan di antara santri semakin erat. Dengan mendapat jatah yang sama dan membakar daging di tempat yang sama, dan sama-sama berlindung di bawah teriknya sinar matahari. Tentu menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan wakil pengasuh pada waktu pengarahan. “Santri yang tidak pulang itu adalah permata”. Permata tentu sangat berharga di bandingkan dengan yang lain. Betapa pengalaman seperti ini tidak bisa diraih oleh mereka yang pulang yang diibaratkan tembaga, dan “tembaga karatan”, gelar santri yang pulang tanpa izin.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *