Agak terpaku ketika saya melihat acara “Jakarta Lawyers Club” di tvOne, Senin malam kemarin. Pada acara yang menghadirkan banyak orator hebat di Indonesia malam itu membahas tentang fatwa haram yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah terhadap suatu fenomena merokok di Indonesia ini. Ya, lagi-lagi merokok menjadi suatu perdebatan yang sengit. Dan selalu ada pro-kontra terhadap rokok itu sendiri. Sebenarnya ada apa sih dengan sebatang rapih kertas berisi tembakau ini? Jika kita kembali merenungi, sebenarnya untuk apa sih rokok itu diciptakan? Rokok katanya merupakan suatu benda yang bisa menciptakan rasa tenang ketika kita menghisapnya. Rokok bisa menghindarkan kita dari rasa ngantuk, dan banyak lagi elakan-elakan lainnya dari para pecandu-pecandu tembakau ini. Namun apakah mutlak, rasa-rasa itu bisa didapatkan dari kegiatan merokok itu sendiri? Tampaknya tidak. Padahal, ketika kita melihat dari berbagai aspek, rokok ini jelas merupakan sesuatu yang sangat merugikan. Bayangkan, jika seorang saja menghabiskan Rp 5.000,- untuk membeli sebungkus rokok setiap harinya, berapa rupiah yang dia keluarkan dalam setahun untuk asap-asap yang merugikan bagi tubuhnya? Sungguh tidak masuk di akal. Ketika kita melihat dari aspek kesehatan, tentu sangat jelas bahwa rokok ini merugikan tubuh kita. Kalau itu, pastinya kita semua sudah mengetahui secara jelas. Ya, mengkonsumsi sekitar 1000 jenis racun ke dalam tubuh kita tentu sangat berdampak destruktif bagi tubuh kita. Iya khan? Kalau secara agama, sebenarnya mudah saja kita menggapai solusi. Seperti kita ketahui, sumber hukum di agama Islam ada tiga : Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama, As-Sunnah sebagai sumber hukum sekunder, dan yang terakhir adalah Ijtihad sebagai sumber hukum bagi hal-hal baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Ijtihad dilakukan dengan mengumpulkan para pemuka agama untuk merumuskan suatu hukum baru yang tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketika para ulama sudah berkumpul dan sepakat menentukan hukum bersama, sebenarnya itu sudah merupakan hukum baru bagi Islam. Tapi kalau masih ada yang pro-kontra, kita ambil mudahnya saja. Seandainya rokok ada pada zaman Rasulullah SAW., apakah beliau akan merokok? Jawab saja dengan hati nurani. Sebenarnya, permasalahan terbesar di negara kita ketika membenarkan fatwa haram mengenai rokok itu sendiri adalah dari segi pendapatan negara. Pasokan dana dari pabrik rokok di negara Indonesia merupakan yang paling besar. Bahkan Indonesia terkenal sebagai negara produsen rokok yang besar di dunia. Ketika fatwa haram dikeluarkan terhadap rokok, tentu akan sangat berpengaruh terhadap nilai pemasukan negara di Indonesia ini. Hmmm…. Lantas, apakah itu berarti kita akan diam saja dan membiarkan hal ini terjadi? Tentu itu bukanlah suatu pilihan yang bijak. Hanya saja, semua keputusan itu memiliki resiko. Ketika kita telah sepakat menentukan hukum tersebut bagi Islam yang merupakan agama yang menjadi mayoritas di Indonesia kita, tentu akan menyisakan suatu PR besar bagi negara kita untuk mencari “sumber uang” lain selain dari produksi rokok itu sendiri. Dan PR itu bukan untuk dihindari. Tapi untuk diselesaikan. Bener khan? Pada akhirnya, kita harus memutuskan. Apapun keputusannya, yang sekarang menjadi PR bagi kita semua adalah bagaimana menghindarkan para generasi muda penerus bangsa dari keterkaitan terhadap benda ini. PR kita adalah bagaimana menghasilkan generasi muda yang sehat dan berjiwa kuat. Tidak menghambur-hamburkan uang hanya untuk sebatang rokok yang akan menghancurkan dirinya. Benar kata Pak Karni Ilyas yang menjadi moderator di acara tersebut. Setiap perokok, tidak ingin anaknya menjadi perokok. Ironi? Mungkin. Tapi itulah yang menjadi PR bagi kita bersama. Terutama kita para generasi penerus bangsa. Fathan – Q-Smart