Malam jum’at –yang merupakan malam yang mulia– menjadi saksi sebuah pengakuan yang sangat penting dalam hidup, pengakuan pentingnya kasih sayang Allah, Sang Maha Segalanya. Pengakuan yang disertai dengan derai air mata. Tak kuasa rasanya menahan air mata membasahi pipi ini. Waktu yang sangat tepat dijadikan sebagai sarana memotivasi diri.
Kegiatan yang diikuti oleh santri dan dewan guru di lingkungan pondok pesantren Darussalam ini dimulai dengan perkenalan yang dilakukan oleh seorang trainer yang memberikan sebuah “yel” penyemangat yakni dengan mengucapkan kata “pagi”.
Trainer –yang tidak mau dipanggil ustad– itu kemudian membandingkan kita ketika menggunakan kata malam –kebalikan dari kata pagi– tentu bukan semangat yang ada, tetapi pengen cepat-cepat tidur.
Timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik, kenapa menggunakan kata “pagi”, padahal kan saat itu sudah malam. Katanya, ketika mendengar kata pagi, tentu yang ada dalam pikiran kita adalah pagi di mana sang mentari sudah menyingsingkan semangatnya, dan itulah, semangat yang dibutuhkan, semangat di waktu pagi, adanya sebuah harapan yang dapat memotivasi hidup untuk menghadapi perjuangan di hari itu.
Setelah itu kita disuguhi dengan sebuah ungkapan dalam perkenalan, yakni 3S. “S” yang pertama adalah Senyum. Senyum merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup ini. Senyum ini merupakan sebuah perilaku yang ringan dilakukan, tetapi mengandung pahala yang besar. Betapa tidak, ketika berpapasan dengan teman, kemudian hilang senyum dari wajah ini, sudah barang tentu yang timbul adalah suudzan, sebuah perasaan yang merupakan api dalam sekam, yang dapat menimbulkan permusuhan.
Selain itu, senyum dapat mengurangi amarah yang sedang ada di dalam diri. Ini dapat dipraktikkan, ketika kita marah dengan seseorang, kemudian kita pergi dari orang yang kita benci tersebut, kemudian kita bertemu dengan teman yang lain, dan orang yang kedua tersebut tersenyum kepada kita –apalagi senyum yang tulus—mau tidak mau kita sendiri akan senyum kepada dia, dan dengan sendirinya pula amarah yang ada dalam diri kita akan sedikit terkikis. Pantaslah ada sebuah keterangan yang mengatakan bahwa senyum itu adalah ibadah.
Dari pelatihan ini penulis mendapat pencerahan pengetahuan. Apa itu? Senyum yang dipraktikkan di sini adalah senyum simetris yakni senyum yang sama antara kedua sisi kanan-kiri bibir kita. Setelah ditelaah, ternyata benar. Kita bisa menggambarkan apabila salah satu sisi bibir kita –baik kanan ataupun kiri—yang tidak simetris, tentu makna dari senyum tersebut akan lain, bisa saja senyum tersebut bermakna mengejek, sinis, menghina dan sebagainya. Saya kira tidak semua senyum itu bukan ibadah, atau mungkin saja senyum simetrislah yang merupakan ibadah. Atau yang penting senyum ibadah itu adalah hanya senyum yang dapat membahagiakan orang lain.
“S” yang kedua adalah salam. Salam ini merupakan sebuah do’a, do’a yang diberikan agar semuanya mendapat keselamatan dibarengi dengan berjabat tangan dan berpelukan. Salam yang dilakukan pada malam jum’at tersebut sedikit berbeda, ada tambahan yang lain. Namanya juga sudah berbeda, namanya adalah salam semut.
Melalui salam semut ini, kita jadi teringat akan perumpamaan yang diberikan Allah dalam Alquran. Banyak sekali perumpamaan yang diberikan, tinggal maunya.
Mengenai semut ini, meskipun kita sendiri belum membuktikannya, dapat kita katakan, kemanapun mereka pergi dan bertemu dengan teman-temannya, mereka selalu “bertemu” dulu. Mungkin inilah yang dapat kita jadikan sebagai teladan. Kita dapat menyimpulkan seperti itu, karena yang kita lihat, setiap semut itu sama, kalau yang hitam, hitam semua, jadi ya sepertinya mereka selalu bersalaman. Mungkin teman-teman bisa membuktikan melalui percobaan.
Percobaan yang kita lakukan adalah memberi tanda kepada semut yang sejenis, misalnya kita memberi tanda merah, kuning, biru dan sebagainya. Kemudian kita lihat, apakah benar, setiap semut itu selalu “bertemu” dulu dengan temannya ketika berpapasan? Kita buktikan saja ya!
“S” yang terakhir adalah sahabat sejati. Sahabat sejati sangat penting dalam hidup, karena tentu saja kita tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Sahabat adalah orang yang menjadi tempat curahan hati kita, dapat dijadikan sebagai tempat berbagi baik di kala senang maupun berduka, mereka rela meluangkan waktunya untuk memberikan kesempata kepada kita untuk menemukan jalan keluar yang sedang menimpa kita. Dan masih banyak lagi peran sahabat sejati yang lain.
Setelah itu, kita diajak untuk mengenal pengaruh kecerdasan manusia, baik itu IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan Emosi) dan SQ (kecerdasan spiritual).
Pikiran kita semakin terbuka ketika trainer memperjelas materi yang ia paparkan dengan memberikan sebuah contoh orang Jepang dan pendapat para ahli yang meneliti pengaruh kecerdasan mana yang sangat dominan terhadap kecerdasan seseorang.
Dari penjelasan yang diberikan kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosi dan spiritual lebih dominan pengaruhnya dari kecerdasan intelektual. Tetapi, sangat kontradiktif sekali dengan keadaan sekarang. Seseorang dianggap sukses, bukan karena apa-apa tetapi karena pertimbangan angka-angka yang ada di dalam raport. Orang lebih menghargai nilai rapotnya sembilan tapi entah dari mana ia mendapatkannya, daripada orang yang nilai raportnya biasa-biasa saja, tetapi itulah kemampuannya, suka menghormati kepada guru sayang kepada teman dan sebagainya.
Karena pengaruh lingkungan, kita juga terjerumus ke sana. Misalnya, ketika kita pulang sekolah, dan hari itu merupakan hari pembagian raport, apa yang ditanyakan orang sekitar kepada kita? Rangking sabaraha ayeuna? Ketika bertanya mengenai rangking, tentu yang ada adalah nilai angka. Ya, nilai angka, yang merupakan kecerdasan intelektual. Ketika nilainya di atas teman kita yang lain, mereka bangga, meskipun mereka tidak tahu bagaimana cara memperoleh nilai itu dan bagaimana sikap kita di sekolah. Apalagi satu minggi lagi, satu minggu lagi UN SMA akan digelar, dan itupun yang menjadi pertimbangan adalah nilai.
Setelah itu, ruangan menjadi gelap, sudah saatnya untuk muhasabah diri. Trainer mengamanati kita untuk tidak mengganggu atau memberikan komentar kepada teman yang ada di sampingnya.
Kemudian trainer membuka hati para peserta dengan bercerita dengan suara yang halus tentang bagaimana sekarang ibu kita, dan bagaiman ibu kita dulu ketika melahirkan kita dengan susah payah, serta bagaimana perilaku kita yang merupakan salah satu perasaan yang membuktikan rasa terima kasih, atau air susu di balas dengan air tuba?
Setelah beberapa lama, tak terasa setiap gerak yang kita lakukan adalah lebih banyak menyakiti hati orang tua daripada membahagiakannya. Kadang dan memang kebanyakan perilaku sehari-hari yang menyakiti orang tua. Kasih sayang orang tua yang selama ini telah diberikan, lupa begitu saja hanya ketika sebuah keinginan tidak diberikan.
Sudah saatnya kita meminta maaf kepada orang tua kita, mungkin saja kita tidak dapat bertemu lagi dengan mereka. Tetapi, kasih sayang orang tua itu adalah hanya bagian kecil dari kasih sayang Sang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Allah swt. Kasih sayangnya tak terhingga kepada semua makhluknya. Meskipun makhluknya sudah banyak berdosa tapi Allah masih memberikan kesempatan kepada umatnya untuk bertaubat selama nyawa masih ada di badan, dan sebelum matahari terbit dari barat*