Tujuh belasan lagi, upacara lagi, ramai-ramai mengantre ke desa, mengantre pacitan, memamah pidato lapuk. Ya, bendera merah-putih memang kehormatan bangsa, tapi membiarkan orang menilai kebebasan hanya dengan ritual yang simbolis, Inikah arti kata merdeka??
Sobat, harus diakui bahwa sodara-sodara kita di sepanjang bumi pertiwi ini masih senang menjalani kehidupan sebagai subyek parokial. Diakui atau tidak, kita adalah etnis yang paling subur akan pembauran budaya. Mengaku muslim tapi ateis, mengaku modern tapi ketinggalan zaman, atau mengaku nasionalis tapi sebenarnya komunis. Fakta inilah yang menunjukkan seberapa besar tingkat ketotolan kita, bahwa sebenarnya perilaku kita masih primitif dan simbolistik. Selama ini kita terjebak peradaban yang kurang mendidik. Masyarakat awam hanya mengenal arti merdeka dalam tataran sempit, tapi kaum tertdidik seolah sengaja membiarkan mereka tetap udik, sebab yang di perhitungkan hanyalah angka dan indeks prestasi akademik, sedangkan sumbangsih untuk rakyat papa dianggap urakan. Padahal prestasi terbesar di dunia pendidikan hanyalah memberikan arti untuk lingkungannya. Ya, kita lupa pernah terlahir sebagai bangsa kerdil dan terkucil dalam pergaulan dunia. Jujur, kita dibuat sombong oleh kemerdekaan yang baru seujung jari. Padahal di belahan dunia lain, pelajar pun masih mau berdemo bagi kaum proletar meski SPP nya mahal selangit.,
Nah, sekarang kita tarik akar kasusnya; ternyata begitu banyak kepala yang hanya berisikan egoisme serta sampah kemapanan pribadi, kita telah terperosok ke tataran konsep yang begitu praktis, ada kata yang penting aku-,bukan mereka, sehingga banyak diantara kita yang lalai untuk meneruskan perjuangan lainnya sehabis merdeka, sehingga dengan sendirinya, kita tak lagi memiliki visi sebagai bangsa. Sampai saat inipun, kita baru menang otot, belum merdeka secara ekonomi, masih miskin kualitas pendidikan, dan lamban berpikir nasionalis. Dan akhirnya, persoalan nasionalisme telah menjadi basi. Secara tidak langsung, tindakan ini telah menodai saka merah-putih yang diraih dengan segenap tetesan darah. Coba renungkan kembali insiden penurunan 60 bendera merah-putih di louksemawe pada agustus 2007, mungkin inilah roman yang mengawali lahirnya gerakan separatis dan anti-nasionalisme dari tubuh bangsa Indonesia sendiri, sampai akhirnya kita pribadi ikut terseret dalam arus sesat ini.
Sebagai cerminan, kita harus ingat bahwa gejala kemerdekaan bukan merupakan puncak perjuangan, melainkan awal dari peristiwa besar. Dengan kata lain, kemerdekaan yang diikrarkan soekarno cs hanya menandai sebuah proses menuju masa depan yang diinginkan. Tidak berlebih kalau dikatakan bahwa kita masih harus menyelesaikan hal-hal mendasar demi mencapai jalan kemerdekaan sejati. Sebab jika meminjam istilah sulastomo, Negara ini belum jadi meskipun telah memiliki falsafah dan landasan konstitusional. Jadi, yang terpenting adalah merajut kembali kebersamaan untuk melanjutkan perjuangan dengan melupakan kepentingan pribadi atau kelompok dan menemukan kembali Indonesia kita yang telah terpecah.
Akankah nanti kita menjadi bangsa yang terdepan merancang peradaban dunia??