Apabila kita berjalan-jalan di Ciamis, maka kita akan melewati Jalan Iwa Kusuma Sumantri. Mungkin banyak dari kita yang tidak tahu kenapa di Ciamis ada Jl Mr. Iwa Koesuma Sumantri, padahal beliau adalah salah satu pahlawan Nasional dari Teureuh Galuh yang perannya sangan urgent. Bahkan Atas usul Mr. Iwa, kata “maklumat” dalam teks proklamasi yang akan dibacakan oleh Ir. Soekarno, diganti menjadi “proklamasi”.Tapi banyak orang Ciamis sendiri tidak tahu. Saya sendiri tidak tahu secara pasti kapan jalan Mr. Iwa Koesuma Sumantri ini diresmikan oleh Pemda Ciamis. Untuk mengetahui siapa Mr. Iwa Koesuma Sumantri, berikut ini adalah sedikit biografi tentang beliau.
Iwa Kusuma Sumantri dilahirkan pada hari Rabu tanggal 30 Mei 1899 di Ciamis Jawa Barat. Ia adalah putra sulung dari keluarga Raden Wiramantri, Kepala Sekolah Rendah yang kemudian menjadi Penilik Sekolah (School Opziener) di Ciamis. Pendidikannya dimulai dengan Eerste Klasse School (Sekolah Kelas Satu) (1910) di Ciamis, kemudian dilanjutkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda untuk anak-anak kalangan menak pribumi. Pada tahun 1915 Iwa dimasukkan oleh orang tuanya ke sekolah calon amtenar, yaitu OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren) di Bandung yang dijalaninya hanya setahun karena Iwa sendiri tidak ingin masuk ke sekolah ini yang dianggap tidak sesuai dengan hati nurani dan cita-citanya. Pada tahun 1916 ia keluar dari OSVIA dan tahun itu juga masuk ke Sekolah Menengah Hukum (Recht School) di Batavia yang dirasanya cocok dengan nuraninya. Ia menyelesaikan studinya 5 tahun kemudian.
Setelah tamat dari Sekolah Menengah Hukum, Iwa bekerja pada kantor Pengadilan Negeri di Bandung, kemudian pindah ke Surabaya, dan akhirnya ke Jakarta. Pada tahun 1922, melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda. Setelah studinya selesai tahun 1925, Iwa Kusuma Sumantri ditugaskan oleh organisasinya, Perhimpunan Indonesia di Belanda untuk berangkat ke Rusia. Kepergian Iwa ke Rusia menimbulkan kekhawatiran di kalangan keluarga, jangan-jangan Iwa terpengaruh komunis. Tentu saja Iwa tidak bisa menjelaskan karena sulitnya hubungan komunikasi Negeri Belanda-Indonesia waktu itu. Akibatnya, hubungan pernikahan gantung dengan Emma Puradireja yang dijalaninya sebelum berangkat ke Negeri Belanda harus kandas di tengah jalan.
Takdir tidak bisa ditolak, Iwa terpaut hatinya kepada seorang gadis Rusia, Anna Ivanova dan menikahinya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak perempuan. Pada tahun 1927, Iwa harus kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangan di Tanah Air. Istri dan anaknya terpaksa ditinggalkan karena kebijakan pemerintah setempat pada waktu itu yang tidak mengizinkan warganya ke luar negeri tanpa alasan yang kuat.
Bertahun-tahun kemudian, karena tidak jelas kapan akan bertemu lagi dengan anak-istrinya di Rusia, akhirnya Mr. Iwa Kusuma Sumantri menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang menetap di rumah pamannya, Dr. Abdul Manap. Pernikahan ini yang berlangsung sampai akhir hayatnya membuahkan 6 orang anak, terdiri dari 5 orang putri dan seorang putra.
Setelah kembali berada di Jakarta (1944), Mr. Iwa Kusuma Sumantri membuka praktik sebagai pengacara lagi. Di samping itu, ia pun ikut membantu kantor Riset Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Cabang Jakarta yang dipimpin oleh Mr. Ahmad Subarjo. Iwa juga mengajar Hukum Internasional kepada para pemuda di Asrama Indonesia Merdeka. Mr. Iwa Kusuma Sumantri kemudian memutuskan untuk pindah ke Medan dan membuka kantor pengacara sendiri. Di tempat baru itu ia terkenal sebagai pengacara yang banyak membela kepentingan rakyat, terutama para buruh perkebunan di Deli yang terkena poenale sanctie (hukuman yang dijatuhkan kepada para buruh yang dianggap melanggar kontrak kerja).
SETELAH Indonesia merdeka, Mr. Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet RI pertama yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno. Pada masa Kabinet Ali Wongso-Arifin yang dibentuk pada tahun 1953 di bawah pimpinan Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Pertahanan [yang berasal dari kalangan sipil]mengemban tugas yang cukup berat. Ia menghadapi banyak pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Aceh dan Jawa Barat. Atas peristiwa tersebut, Iwa menentang pemberontakan itu, namun ia juga tidak menyetujui sikap pemerintah yang “Jakarta sentris”.
Pada tahun 1958 Mr. Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Presiden (Rektor) pertama Universitas Padjadjaran di Bandung dan pada tahun 1961 diangkat menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Sikapnya yang tegas dalam melakukan perubahan selama menjabat sebagai Menteri PTIP, banyak ditafsirkan orang sebagai sikap yang reaksioner dan banyak yang tidak menyetujui kebijaksanaannya. Akibatnya, ia dipanggil Presiden Soekarno. Untuk menghindarkan perpecahan dan pertentangan yang berlarut-larut, akhirnya Mr. Iwa Kusuma Sumantri dipindahkan dan diangkat sebagai menteri negara oleh Presiden Soekarno pada tahun 1962. Jabatannya ini berakhir pada tahun 1966.
Ketika bersekolah di Sekolah Menengah Hukum Jakarta (1916-1921), Iwa aktif dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo [Protagonis Jong Java]. Pada tahun 1918, ia terpilih menjadi salah seorang pengurus Tri Koro Darmo pada periode Sukiman Wiryosanjoyo menjabat sebagai ketua. Melalui kongres-kongres organisasi ini di Yogyakarta dan Surakarta, Iwa mendapat gemblengan politik dan semakin menyelami jiwa kebangsaan serta memahami arti kasih sayang kepada nasib rakyat kecil.
Selama menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia terjun secara aktif di dunia pergerakan nasional melalui organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang mula-mula bernama Indische Vereeniging, kemudian diubah menjadi Indonesische Vereeniging, dan akhirnya bernama Perhimpunan Indonesia. Bahkan, pada tahun 1923-1924 Iwa terpilih menjadi ketua organisasi tersebut. Selama memimpin organisasi ini, ia selalu berusaha agar perkumpulan ini betul-betul merupakan wadah bagi pergerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Dalam periode inilah dikeluarkan keterangan tentang asas organisasi dan menetapkan bahwa hanya satu jalan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ialah nonkooperasi.
Atas usul Iwa, pada periode kepemimpinan Dr. Sukiman, nama organisasi itu diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Tujuan organisasi pergerakan ini adalah merdeka dengan menyatukan berbagai golongan bangsa Indonesia sehingga dapat mematahkan kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Dalam lapangan politik PI bekerja sama dengan partai-partai politik di Indonesia dan partai-partai politik itu mengakui kepemimpinan PI sebagai pos terdepan (voorpost) di Eropa.
PI mendukung asas demokrasi dan memajukan politik nonkoperasi dengan pemerintah Hindia Belanda. Pemimpin-pemimpin PI lainnya yang terkenal adalah Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, Gatot Tanumiharja, Nasir Datuk Pamunjak, Moh. Nasir, Darmawan Mangunkusumo, dan Sukirman Wiryosanjoyo. Andil yang diberikan PI terhadap pergerakan nasional di Indonesia sangat besar. PI memberikan sumbangan yang penting bagi lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, terutama melalui majalah Indonesia Merdeka.
Setelah lulus dari Universitas Leiden, kepemimpinan PI telah beralih ke tangan Moh. Hatta. Mr. Iwa Kusuma Sumantri diutus oleh pemimpin PI bersama Semaun ke Moskow. Mereka ditugaskan untuk mempelajari program Front Persatuan yang sedang didengung-dengungkan ketika itu oleh Rusia dan untuk mempelajari sampai di mana peran negara dalam program itu. Di Rusia, Mr. Iwa Kusuma Sumantri sempat menulis sebuah buku tentang petani di Indonesia yang berjudul The Peasant Movement in Indonesia. Meskipun pada mulanya tertarik pada ajaran sosialisme, tetapi ia tak pernah tertarik menjadi komunis. Ia sendiri melihat di Rusia bahwa antara praktik dan teori ajaran tersebut begitu berbeda.
Pada waktu kembali ke Indonesia tahun 1927, belum banyak golongan intelektual di Indonesia, tetapi yang ada sudah cukup memadai untuk menggerakkan semangat perjuangan rakyat Indonesia. Tidak heran kiranya apabila tokoh pergerakan seperti Mr. Iwa Kusuma Sumantri mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Di lain pihak, kedatangan Mr. Iwa Kusuma Sumantri telah lama dinantikan oleh teman-teman seperjuangannya. Ia disambut hangat dan diharapkan menjadi pemimpin perjuangan bangsa oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Sesampainya di Indonesia, Mr. Iwa Kusuma Sumantri langsung menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi ini pada hakikatnya melanjutkan cita-cita Perhimpunan Indonesia yang pernah diketuainya dahulu. Di bawah pimpinan Ir. Soekarno dan tokoh militan yang berasal dari PI, organisasi ini maju pesat dan menjadi partai politik terkemuka.
Ketika menjadi pengacara di Medan, Mr. Iwa Kusuma Sumantri juga memimpin surat kabar bernama Mata Hari Indonesia. Ia sering mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya dalam surat kabar ini. Tokoh pergerakan nasional lain di Medan juga banyak menulis dalam surat kabar ini atas dorongannya sehingga Mr. Iwa Kusuma Sumantri dicurigai pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di Medan, Mr. Iwa juga dipilih menjadi Penasihat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia) dan Ketua Perkumpulan Sekerja Opium Regie Bond luar Jawa dan Madura (ORBLOM). Selain itu, Mr. Iwa Kusuma Sumantri juga diminta duduk sebagai Penasihat Indonesisch National Padvinders Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan.
Patut dicatat pula bahwa Mr. Iwa Kusuma Sumantri pernah membantu orang-orang Kristen di daerah Batak. Ia memperjuangkan agar orang-orang Batak asli dapat diangkat menjadi pendeta Kristen yang sebelumnya hanya dimonopoli pendeta-pendeta kulit putih. Perjuangan tersebut berhasil dicapai dan jasa Mr. Iwa Kusuma Sumantri tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Kristen Batak.
Pandangan dan tindak-tanduk Mr. Iwa Kusuma Sumantri yang progresif revolusioner dalam kegiatan politik dianggap membahayakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Itulah sebabnya pada bulan Juli 1929 ia ditangkap dan disekap dalam penjara di Medan selama 1 tahun, kemudian dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Batavia (Jakarta). Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda memutuskan bahwa Mr. Iwa Kusuma Sumantri bersama keluarganya dibuang dan diasingkan ke Banda Neira di Maluku. Ketika tiba di Banda Neira, di situ telah lebih dahulu diasingkan Dr. Cipto Mangunkusumo selama 1,5 tahun. Di tempat ini menyusul diasingkan pula tokoh pergerakan nasional yang lain, yaitu Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
Selama 10 tahun 7 bulan sebagai tahanan politik di Bandaneira yang menyesakkan, Mr. Iwa Kusuma Sumantri berusaha menerima keadaan. Ketenangan diperolehnya dengan mempelajari bahasa Arab dan memperdalam ilmu agama Islam dari sahabatnya, Syekh Abdullah bin Abdurakhman. Hal ini sangat membantu Mr. Iwa Kusuma Sumantri mengatasi penderitaan batin dan semakin memperdalam keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selama dalam pengasingan ini ia menulis buku (masih berbentuk naskah) dengan judul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah. Karya tulis ini membuktikan jiwa dan sikap religiusitasnya.
Pada tahun 1941 dengan status sebagai tahanan politik Mr. Iwa Kusuma Sumantri dipindahkan dari Bandaneira ke Makassar. Atas permintaannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengizinkan Mr. Iwa untuk mengajar di sekolah Taman Siswa Makassar. Sewaktu Jepang menduduki Kota Makassar pada tanggal 8 Februari 1943, ia bersama keluarganya menyingkir ke luar kota. Akan tetapi, ia diminta oleh Jepang agar membantu Nazamudin Daeng Malea yang diangkat jadi Wali Kota Makassar. Setelah keadaan Makassar tenang, dia berhenti bekerja sebagai pembantu wali kota, kemudian diangkat menjadi Kepala Pengadilan Makassar.
Mr. Iwa Kusuma Sumantri berusaha pindah ke Jawa karena merasa terancam. Pada waktu itu Jepang mulai melakukan operasi pembersihan terhadap intelektual Indonesia di luar Jawa yang mulai dilakukan di Barjarmasin. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, usahanya untuk pulang ke Jawa berhasil juga. Dengan istri yang sedang hamil besar dan 4 orang anak, ia menaiki perahu Bugis yang tidak terlalu besar untuk berlayar ke Jawa. Sungguh suatu penderitaan yang luar biasa bagi Mr. Iwa Kusuma Sumantri sekeluarga. Setelah 5 hari mengarungi lautan, mereka berlabuh di Pelabuhan Surabaya.
Dari Surabaya keluarga Mr. Iwa Kusuma Sumantri kembali melanjutkan perjalanan hidupnya ke kampung halaman mereka, yaitu Ciamis. Akan tetapi, tidak lama tinggal di situ karena harus segera mencari kerja untuk menghidupi keluarganya. Pergilah Mr. Iwa Kusuma Sumantri ke Bandung. Akan tetapi, sulit bagi dia mencari pekerjaan yang cocok. Kemudian pergi ke Jakarta. Di kota ini Mr. Iwa Kusuma Sumantri bekerja lagi sebagai advokat bersama Mr. A.A. Maramis, pemimpin pergerakan nasional pula. Dalam perjuangan selanjutnya, Mr. Iwa kemudian diangkat menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet RI pertama yang dipimpin Presiden Soekarno. Setelah itu dia beroposisi terhadap Kabinet Syahrir, dan melibatkan diri dalam Peristiwa 3 Juli yang menyebabkannya ditangkap bersama tokoh-tokoh lainnya, seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin, Sukarni, dan sebagainya, dan dipenjara selama satu setengah tahun di Jawa Timur, Yogya, dan Magelang.
Dalam autobiografinya dia mengakui tak sejalan dengan politik pemerintah waktu itu. Dia lebih sejalan dengan perjuangan rakyat yang revolusioner, seperti Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Iwa tak setuju dengan tindakan Syahrir yang melakukan diplomasi (kompromi) dengan Pemerintah Belanda.
Mereka akhirnya diberi grasi oleh presiden pada 9 Agustus 1946, dan direhabilitasi namanya karena tak terbukti bersalah.
Saat Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948 dan menduduki Kota Yogyakarta, Iwa ikut ditangkap bersama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka baru dilepaskan setelah perjanjian Roem-Royen.
Pada 1949 Iwa bergabung dengan Partai Murba yang didirikan Tan Malaka pada 7 November 1948, tetapi tidak menjadi anggota resmi. Ketika menjadi anggota DPR, Iwa tak mewakili Parta Murba, melainkan masuk dalam fraksi Progresif. Meski demikian, Partai Murba lah yang menyokongnya hingga menjadi menteri pertahanan pada masa Kabinet Ali Wongso-Arifin yang dibentuk pada 1953 di bawah pimpinan Perdana Menteri Mr Ali Sastroamijoyo.
Bebannya cukup berat, karena sebagai Menhan dari sipil dia harus menghadapi pemberontakan daerah seperti DI/TII di Aceh dan Jawa Barat. Iwa menentang pemberontakan itu, tapi juga tak menyetujui sikap pemerintah yang “Jakarta sentris”. Masalah ini diperberat dengan tuduhan komunis yang dialamatkan kepadanya oleh orang-orang yang tak setuju dengan kebijakannya. Tuduhan itu baru mereda setelah ada pembelaan dari Presiden Soekarno.
Iwa sendiri kemudian memberi penjelasan melalui autobiografinya yang dia tulis pada 1971, dia menyatakan dirinya bukan komunis. Dia malah pernah mengecam komunis sebagai refleksi dari rivalitas antara PKI dan Murba.
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya pada 1955, Iwa nonaktif dari politik. Dia pulang kampung dan aktif di Badan Musyawarah Sunda. Karier politiknya ternyata masih berlanjut. Dia menjadi anggota Dewan Nasional yang baru dibentuk Presiden Sukarno, menjadi Presiden (Rektor) pertama Universitas Padjadjaran Bandung, dan kemudian menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Terakhir dia diangkat sebagai menteri negara pada 1962, dan berakhir sampai 1966.
Pada 1971 Iwa Kusuma Sumantri dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena menderita penyakit jantung. Setelah beberapa waktu dirawat, pada 27 September 1971, pukul 21.07, dia meninggal dunia. Sesuai pesannya sebelum meninggal dan permintaan keluarga, dia dimakamkan di Pemakaman Karet.
Iwa Kusuma Sumantri yang punya nama samaran S. Dingley, pernah dilupakan pemerintah orde baru. Pada masa pemerintahan Megawati, namanya kemudian diakui sebagai pahlawan nasional.*
Meski jasa-jasa Iwa terhadap negeri ini tak sedikit, pemerintah orde baru tak langsung menyematkan gelar pahlawan kepadanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Megawati, Iwa ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Referensi:
Kusuma Sumantri, Iwa, Sang Pejuang dalam gejolak sejarah : otobiografi Prof. Mr. R.H. Iwa Kusuma Sumantri Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Universitas Padjadjaran : Satya Historika, Bandung : 2002