Muludan, Momentum Meneladani Pribadi Nabi

2 min read

SUDAH menjadi sebuah keniscayaan, tiap orang memiliki orang yang sangat ia idolakan. Yang menjadi alasannya, manusia dilahirkan dari rahim ibunya kemudian hidup dalam keluarga, baik keluarga yang memiliki anggota keluarga yang banyak, atau hanya memiliki ayah dan ibu saja, ketika lahir –menurut sebuah teori– seorang bayi itu memiliki sifat “meniru” kepada lingkungannya.

Ketika orang tuanya makan dengan tangan kanan, maka dengan sendirinya anak itu meniru perilaku kedua orang tuanya, ini adalah sebuah potensi yang dimilik oleh seorang anak. Dan karakter ini melekat pada dirinya sampai dewasa bahkan sampai lanjut usia. Ketika beranjak remaja, anak yang tadinya hanya meniru orang tuanya, setelah terjun ke lingkungan yang lebih luas, ia tidak lagi mengidolakan orang tua. Orang tua tidak dijadikan sebagai idola utama dalam diri anak, tetapi sebagaimana kita lihat, para artis dan selebritis yang dijadikan sebagai idolanya. Segala bentuk atribut  yang ada dalam diri seorang idolanya ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai manifestasi dari kecintaannya kepada sang artis.

Agama Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia yang disebarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada umatnya untuk selalu taat dan patuh kepada yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Ini merupakan perintah yang sangat sesuai dengan potensi yang ada pada diri manusia, “meniru”.

Tanggal 12 Rabi’ul Awwal –yang bagi sebagian orang, ini merupakan angka keramat–adalah tanggal kelahiran Nabi Muhammad. Bagi sebagian kalangan, ada semacam kegiatan khusus yang diselenggaran untuk memperingati kelahiran (baca: maulid) Nabi, mulai dari acara yang mengandung unsur si’ar Islam, sampai acara yang berhubungan dengan ritual mistis, tergantung keyakinan dan kebiasaan masing-masing. Yang terpenting, setiap kejadian apa pun tentunya harus dapat mengambil hikmah demi terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik dalam diri.

Sedikit kembali mengingat masa lalu, pelajaran agama yang hampir kita lupakan, tetapi masih ada dalam benak kita, karena pelajaran tersebut diberikan di usia belia, usia SD, sejalan dengan pepatah yang mengatakan “belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, dan belajar sudah dewasa, seperti mengukir di atas air”. Pepatah ini memang ada benarnya, sebagaimana pengalaman, ketika kecil, yang namanya belajar itu susahnya minta ampun. Tetapi dengan kesabaran orang tua, lama kelamaan pelajaran itu masuk dan tertanam di dalam jiwa. Tetapi ketika sudah dewasa, materi pelajaran mudah dicerna, dan mudah hilang. Pelajaran yang tertanam dalam diri kita adalah pelajaran tentang kelahiran Nabi Muhammad pada tahun gajah. Tahun yang monumental yang terjadi pada masa lalu yang diabadikan dalam Al-Qur’an tentang cerita penyerangan raja Abrahah untuk menghancurkan ka’bah. Tetapi pertolongan Allah datang, mereka hancur laksana anai-anai yang hancur.

Peristiwa yang terjadi sekitar 15 abad yang lalu itu dapat dijadikan sebagai semangat untuk meningkatkan kekuatan dalam diri untuk mengalahkan segala bentuk tantangan dalam jiwa agar selalu dapat istiqamah menjalankan perintah Yang Mahakuasa dan mengikuti sunnah Rasul-Nya.

Menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai idola dalam hidup merupakan sebuah keharusan bagi seorang mukmin. Karena ibadah yang kita kerjakan merupakan sebuah kesia-siaan apabila tidak sesuai dengan yang dicontohkan Beliau. Kita merasa ibadah yang kita kerjakan sesuai dengan yang dicontohkan, tetapi sebenarnya kita “meniru” dari figur yang lain.

Fenomena yang menarik di negeri tercinta pada saat ini adalah terkikisnya nilai-nilai kejujuran, sehingga tidak ada lagi rasa saling percaya, dan suatu saat kalau hal ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka, entahlah, yang jelas kejadian yang sangat buruk akan menimpa negeri ini, karena sebuah petunjuk mengatakan “telah nampak kerusakan di muka bumi karena ulah manusia” (al-Qur’an).

Dalam diri Nabi Muhammad saw terdapat sifat kejujuran, sifat siddiq. Mental jujur inilah yang harus dimiliki oleh kita, jangan dulu jauh-jauh mengkritisi pemerintahan. Percuma kita melihat yang cakupannya luas, sedangkan diri kita sendiri bertentangan dengan apa yang kita katakan. Percuma kita berteriak turun ke jalan atau melalui wall di  facebook, melalui blog pribadi mengkritisi atau mengingatkan pemerintah yang diduga kurang jujur, sedangkan kita sendiri sudah berbohong pada diri sendiri, sungguh ironi.

Ini adalah hal yang penting, sebagaimana yang diungkapkan Aa Gym dalam 3M-nya, -kalau tidak salah, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai saat ini- pada intinya yang harus diprioritaskan adalah dari lingkup sendiri atau lingkup yang kecil, setalah itu baru kepada yang lebih besar, sebagaimana perjalanan hidup ini, pertumbuhan anggota tubuh pun dari yang kecil dulu, kita tidak dilahirkan langsung berkumis, tetapi ada proses.

Kadang, kejujuran itu sulit diterapkan. Misalnya, ketika kita sudah berjanji pada diri sendiri untuk belajar pada jam 13.00, tetapi setelah waktu menunjukkan jam tersebut, kita berbohong dengan ingkar pada janji yang telah diungkapkan. Ketika sudah melakukan sebuah dosa, kita berbohong dengan tidak mengakui perbuatan tersebut adalah dosa dan masih banyak lagi contoh lain.

Dengan momentum yang sangat berharga ini, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, alangkah baiknya mengubah pribadi pembohong menjadi pribadi sang idola, pribadi Nabi Muhammad saw, pribadi yang jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan.

Miftah Farid Cjf

Baju Kopral

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *