Puasa dan Kepekaan Sosial

1 min read

SETIAP Mukmin berkewajiban untuk melaksanakan puasa di bulan ramadan. Perintah ini tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.

Perintah ini tentu berlaku bagi setiap mukmin tanpa memandang apapun, kecuali yang sudah ditentukan syari’at boleh meninggalkan puasa. Setiap perintah berbuat kebajikan kepada manusia tentu di dalamnya sudah ada unsur yang berhubungan dengan Tuhan (baca: Allah) juga pelajaran yang diambil yang berhubungan dengan kemanusiaan.

Puasa diperintahkan kepada manusia sebagai bukti penghambaan kepada Allah. Dan puasa ini adalah ibadah yang tidak dapat dinilai dengan mata manusia. Maksudnya ibadah puasa berbeda dengan ibadah yang lain, contohnya shalat. Orang yang sedang melaksanakan shalat dapat dilihat oleh orang lain gerak geriknya. Mulai dari takbiratul ihram sampai dengan salam, orang di sekelilingnya dapat mengamati shalat yang ia lakukan. Contoh lain adalah ibadah haji. Orang lain dapat melihat dan mengetahui orang tersebut sedang melaksanakan ibadah haji, kelihatan oleh orang yang berada di sekelilingnya.

Berbeda dengan puasa. Puasa ini hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri dengan Allah. Ia bisa saja mengatakan sedang atau masih berpuasa kepada teman dekatnya meskipun tadi dia sudah makan dan minum. Atau sebaliknya, ia bisa menyembunyikan kepada temannya bahwa ia sedang berpuasa. Maka nilai yang dapat diambil di sini adalah latihan kejujuran.

Puasa dimulai sejak terbit fajar sampai dengan terbenam matahari dengan berusaha menahan lapar dan dahaga serta menahan diri dari yang dapat membatalkannya. Terasa sekali rasa lapar di siang hari, begitu pun dahaga karena teriknya panas matahari. Ini adalah sebuah latihan bagi yang sedang berpuasa untuk merasakan betapa orang lain yang tiap harinya merasa lapar dan dahaga. Dan bukan hanya itu, timbulnya empati yang tinggi di dalam diri merupakan sesuatu yang diharapkan.

Dengan adanya empati dalam diri, akan nampak dalam sebuah perilaku. Perilaku tersebut tentu dengan memberikan sebagian harta kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya yang tiap hari sering merasakan lapar dan dahaga, intinya peduli kepada lingkungan sekitar. Rasa inilah yang mesti tumbuh dalam diri, adanya persaudaraan, rasa senasib dan saling menyayangi. Apalagi sepuluh hari pertama bulan ramadan adalam syharu al-rahmah, yakni bulan yang penuh dengan kasih sayang.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *