Oleh Asep Chahyanto
A. Refleksi Perkembangan Ekonomi
Sektor pertanian Kota tasikmalaya pada zamannya merupakan posisi penting dalam struktur perekonomian di Kota tasikmalaya. Namun, seiring berjalannya waktu hal tersebut telah berubah. Perdagangan dan perkembangan industri maju lebih pesat dibandingkan pertanian.
Seperti kita ketahui, perkembangan ekonomi suatu daerah diukur dengan produk domestik regional bruto (PDRB). Demikian juga di kota tasikmalaya, laju pertumbuhan diukur dengan PDRB atas dasar harga konstan. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Tasikmalaya pada tahun 2014 sebesar 6,16%, pada tahun 2015 sebesar 6,3%, dan pada tahun 2016 sebesar 6,91%. Hasilnya, rata-rata tiap tahun PDRB Kota Tasikmalaya pada kurun waktu tersebut adalah sebesar 6,46%.
Dari sumber Bappeda dan BPS Kota Tasikmalaya tahun 2016, diperoleh gambaran peranan masing-masing kategori: perdagangan besar dan eceran (?); reparasi mobil dan sepeda motor 22,80%, konstruksi 15,54%, industri pengolahan 14,07%, jasa keuangan dan asuransi 10,96%, transportasi dan pergudangan 9,62%; pertanian, perikanan, dan kehutanan 5,56%; dst.
Dari data perkembangan struktur ekonomi Kota Tasikmalaya, terlihat bahwa pertanian, kehutanan, dan perikanan setiap tahun memberikan kontribusi menurun. Pada tahun 2014 kontribusinya sebesar 5,84% dan pada tahun 2015 memberikan kontribusi 5,62%. Sementara itu, kontribusi konstruksi terus menaik, yakni pada tahun 2014 sebesar 14,38%, tahun 2015 sebesar 15,09, dan pada tahun 2016 sebesar 15,54%.
Selain itu, data pada Provinsi Jawa Barat, sebagai provinsi tempat Kota Tasikmalaya berada, adalah sebagai berikut: tahun 2015 sebesar 5,04% (bandingkan dengan Kota Tasikmalaya sebesar 6,30%; pada tahun 2016 sebesar 5,67% (Kota Tasikmalaya dalam tahun yang sama sebesar 6,91); pada tahun 2017 LPE Jabar sebesar 5,29% (Kota Tasikmalaya 6,07%); pada tahun 2018 LPE Jabar 5,35% (Kota Tasikmalaya sebesar 5,93%); pada tahun 2019 LPE Jabar 5,07% (Kota Tasikmalaya mencapai 5,97%).
Tentu saja pertumbuhan Kota Tasikmalaya seiring dengan pertumbuhan penduduknya. Data pertumbuhan penduduk Kota Tasikmalaya dari tahun 2013 sampai dengan 2017 adalah sebagai berikut: pada tahun 2013 tumbuh 0,54%; pada tahun 2014 tumbuh 0,48%; pada tahun 2015 tumbuh 0,41%; pada tahun 2016 tumbuh 0,32% dan pada tahun 2017 tumbuh 0,27%.
Dengan data tersebut, Kota Tasikmalaya tumbuh sebagai kota dalam kelompok tinggi beserta kabupaten dan kota yang lainnya, seperti Kota Depok, Kota Bandung, Kota Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bogor.
Rencana pembangununan jangka panjang Kota Tasikmalaya akan berahir di tahun 2025. Artinya, hanya tersisa tiga tahun lagi. Akankah visi “Dengan Iman dan Taqwa, Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Perdagangan dan Industri termaju di Jawa Barat” dapat tercapai?
Padahal, peranan sektor industri pengolahan atau manufacturing industries terhadap PDRB Kota Tasikmalaya dari tahun 2014 sampai dengan 2016 justru menurun. Pada tahun 2014 sektor industri memberikan kontribusi 14,90%; pada tahun 2015 memberikan kontribusi 14,40%; dan pada tahun 2016 hanya memberikan kontribusi 14,07% saja.
Dengan demikian, proses industrialisasi di Kota T asikmalaya sekarang ini, telah mengalami kemunduran. Kita berharap muluk terhadap peningkatan pesat industri pengolahan karena kita menyadari hal itu akan memberikan efek domino pada penyerapan tenaga kerja.
Selama periode tahun 2013-2015, kondisi tingkat pengangguran terbuka atau TPT Kota Tasikmalaya fluktuatif, yakni pada tahun 2013 sebesat 6,52%, pada tahun 2014 sebesar 5,38%, dan pada tahun 2015 sebesar 5,46%. Artinya, pada tahun 2015 terdapat 546 penganggur dari 10.000 orang warga Kota Tasikmalaya. Pantaslah kalau pada tahun 2017 kemiskinan di Kota Tasikmalaya berada pada angka 14,80%. Tentunya, hal ini harus menjadi prioritas dalam pembangunan ke depan.
Berdasarkan data tersebut di atas, target pengurangan kemiskinan tercapai pada tahun 2019, sedangkan tahun 2020 dan 2021 tidak tercapai targetnya.
B. Refleksi Permasalahan Sosial (Salah Satunya PKL)
Jumlah pencari kerja tidak secara otomatis menunjukkan jumlah pengangguran di suatu daerah. Sebabnya, masih terdapat kemungkinan sebagian pencari kerja bisa bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang sangat rendah. Aktivitas pedagang kaki lima (PKL) merupakan “pelampung” untuk menyelamatkan kelangsungan hidup mereka.
Dengan itu, bekerja menjadi PKL merupakan hal yang positif bisa menghidupi diri dan keluarga yang menjadi beban tanggungannya. Namun, di sisi yang lain, PKL memberikan permasalahan tersendiri, yakni ada anggapan mereka mengganggu ketertiban, kebersihan, dan keindahan kota.
Apa dan Siapa PKL?
PKL adalah singkatan dari pedagang kaki lima, yakni orang- orang yang berdagang berbagai macam komoditi, baik makanan, pakaian, berbagai peralatan rumah-tangga dan lain sebagainya di emper-emper pertokoan, atau di pinggir-pinggir jalan.
Pkl sering disebut dengan istilah usaha sektor informal. Usaha sektor informal dapat diartikan sebagai suatu unit usaha yang relatif berskala modal kecil dan dilakukan sebagian besar masyarakat kelas bawah, sebagai pengembangan usaha tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah dan tidak termasuk usaha illegal.
Siapakah pedagang kaki lima atau siapa pelaku usaha di sektor informal? Pelaku sektor informal bisa diisi oleh orang-orang yang tidak beruntung atau tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Bisa saja mereka adalah penduduk dari pinggiran kota atau desa yang umumnya miskin dan penduduk kota yang miskin, tidak memiliki pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan pekerjaan di sektor formal.
Pemerintah Kota Tasikmalaya harus berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait PKL. Hal ini bukan persoalan sederhana. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus memakai dua kaca mata yang berbeda.
Pertama, kaca mata kepentingan Pemkot dan kedua kacamata pihak PKL. Masalah PKL bukan saja masalah ketertiban, kebersihan, keindahan, dan keamanan kota, melainkan juga menyangkut masalah kehidupan ribuan anggota keluarga PKL tersebut.
C. Refleksi Dinamika Partai Politik
Refleksi atau gambaran dinamika partai politik secara detail bisa dilihat dalam tulisan Asep Chahyanto (2021) dalam buku bunga rampai “Kota Tasikmalaya” pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.
Pemilu di Kota Tasikmalaya selalu dimenangkan Golkar, diikuti oleh PPP, kemudian PDIP. Pada tahun 1971 pemilu diikuti oleh sepuluh partai politik. Pada tahun 1977 pemilu diikuti oleh tiga partai politik: Golkar, PPP, dan PDI. Pada pemilu tahun 1999 sebelum dimekarkan menghasilkan 8 partai politik.
Pada pemilu 2004, pileg Kota Tasikmalaya menghasilkan 9 partai politik. Pada pemilu legislatif tahun 2009, pemenangnya secara berurut sebagai berikut PPP dan Partai Demokrat masing-masing 8 kursi, PAN (7 kursi), PDIP (5), PKS (4), PBR (4), Partai Golkar (4), PBB(3), PKB(1), dan Gerindra (1).
Sementara itu, pada pileg 2014 adalah sebagai berikut: PPP (10), PDIP (7), Golkar (5), PAN (5), Gerindra (4), PKS (4), Demokrat (4), dan PKB dan PBB (6). Pada pileg 2019 diperoleh kursi sebagai berikut: Gerindra (10), PPP (9), PDIP (5), PAN (5), PKS (4), Golkar (5), PKB (3), Demokrat (2), PBB(1), dan nasdem (1).
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai frekuensi tidak hanya terhadap dinamika politik, tetapi juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Salah satu upaya pembangunan sistim politik yang demokratis, khususnya dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang pada masa Orba sangat sentralistik, adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Konsekuensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah.
Keberadaan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat di daerah. Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan akan sangat ditentukan oleh masyarakat di daerah. Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus mampu menampung, memperjuangkan, dan menyalurkan aspirasi dan kehendak masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan umum secara optimal.
Di Kota Tasikmalaya, maupun Jawa Barat, bahkan Indonesia, pada umumnya, berbagai permasalahan dan isu sosial politik tentang pengisian lembaga DPRD dalam perhelatan pemilu legislatif mendapat stigma kurang baik, cenderung bersifat transaksional, dan jauh dari dari nilai-nilai kejujuran. Maka , tentunya hal tersebut harus diperbaiki.