Oleh Nizar Machyuzaar
KEGIATAN membaca dan menulis terdukung dengan akses buku yang sesuai dengan tingkat pemahaman seorang pembaca. Hal ini tidak mesti sejajar dengan pertambahan umur.
Tingkat pemahaman seorang pembaca dibangun dari minat dan bakatnya dalam membangun pengetahuan selama hidup. Hal ini pun tidak mesti sejajar dengan pemerolehan gelar akademik. Sebabnya, teman saya pernah berseloroh, Patih Gajah Mada bukan seorang cendekiawan yang lahir dari kampus, tetapi namanya diabadikan menjadi sebuah universitas ternama di Indonesia.
Secara umum, kita mengenal buku sumber pengetahuan yang menyertai seorang pembelajar sebagai modul, dikta, dan buku ajar yang diseting dalam tingkat pemahaman pembaca atau pembelajar –yang disebut dengan kurikulum.
Sebagai contoh, dalam pembelajaran karakter dan nasionalisme, bahan bacaan karya sastra Indonesia sudah cukup mumpuni menjadi sumber pemerolehan pengetahuan. Kita percaya bahwa karya sastra mampu mentransformasikan nilai-nilai kebangsaan yang dibutuhkan untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan berkarakter.
Dapatkan kita membuat daftar buku wajib baca yang menyertai anak sekolah sesuai jenjangnya? Misal, sebuah sekolah mewajibkan siswanya untuk membaca karya sastra sampai lulus. Hal sama dapat dilakukan untuk buku sumber pengetahuan agama, karya ilmiah, dan lainnya.
Pola pendidikan tradisi seperti pesantren sejak lama telah mempraktikkan resep dan dosis buku yang wajib dikuasai santri. Buku-buku ajar di sekolah juga merepresentasikan resep dan dosis buku yang wajib dikuasai sesuai tingkat.
Soalnya, sebuah keniscayaan bahwa proses pembentukan pengetahuan kita terdukung oleh produksi dan konsumsi buku di luar lembaga pendidikan. Buku-buku yang beredar di toko buku, di internet dalam bentuk digital, dan di perpustakaan umum dapat dianggap seperti layanan obat yang membutuhkan resep dan dosis bagi calon pembacanya.
Suatu saat, kita memdambakan bahwa setiap buku yang beredar telah ditera oleh sebuah lembaga yang mampu memberi gambaran komposisi isinya sehingga dapat diklasifikasikan sebagai buku bacaan ringan, sedang, dan berat.
Dengan demikian, calon pembaca akan menimbang resep yang memang dibutuhkan untuk membentuk pengetahuannya secara mandiri. Dengan semestinya, calon pembaca tidak terjebak pada kegiatan membaca buku yang kelebihan dosis karena tidak mengetahui komposisi isinya. Tabik!
Mangkubumi, 12 Februari 2022