SAJAK JURIT MALAM
Karya : D. Dudu AR
Maqam 1
Lorong sempit, pekat, tubuh tak mampu berkelit
menelusup ke ruang pengap. Tenung hati telah membaca,
bahwa nisannisan adalah penghias mata
hanya tali rapia sebagai petunjuk kembara ke pucuk bukit Dewantara
Antara kaki dan hati tak pernah akur, hingga tujuan tak terukur
kepada arwaharwah di bawah, maaf, aku tak ingin sebenarnya
menginjak kuburkubur yang sudah jarang ditaburi melati adanya
malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana
Empat ranum wewangian kuendus, lalu kutebak rupa dirimu
di legam belantara jati menari bersama rinai sendu
bulu kuduk makin kejang, tat kala semerbak dupa bercampur melati
hampir menusuk sadar bersamaan detak jantung yang tak karuan
Maqam 2
Perjalanan tetap kutelusur, meski rapuh menggoda remah jiwa
ya, menyerah, tapi tak mungkin. Fase ini, yang paling membanting
melanting paruh waktu yang ditunggutunggu, sedari niat yang kadung kuat
terjal memang, hampir selalu mengalasi seluruh langkah, bukan karena itu
tapi, malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana
Gubuk kecil lementik di penjuru mata, diterangi setengah lilin memintal temaram
aku salami seisinya, lagi, hanya dupa bercampur sengat melati merembes
ke bulubulu hidungku yang hampir kumat. Wewangian yang biasa hadir di ritus
malam Jum’at kliwon adalah pengharum malam ini, sangat merajam di pucat paras jalan
Menatap keranda tergantung, dipilin tambang yang hampir lepas, aku tetap ke sana
mencoba salami ’entah’ gerangan siapa yang menjawab lugas. Gemuruh hati berkecamuk, ketika coretancoretan tapak jejak yang pernah lewat terlukis di tanah liat. Mata terbelalak, jiwa menyeruak betapa tidak, benturan keranda ke tanah berbatu adalah penjawab salam tadi.
Silir angin semakin semilir, rimbun daun semakin mengalun
Menyelaraskan degup yang bertempo pikuk.
Maqam 3
Serunai menyemai sawah yang lapang, menegaskan pemandangan sepanjang jalan
lalu berhenti, saat di semak terdapat isyarat, bahwa jejak ini baru menyiratkan
setengah pengembaraan. Sementara nafas yang tersisa sebotol oksigen, adalah bekal terakhir yang hampir migren. Sudahlah, gerundul hati yang sempat menyimpul keringat, tak usah diikat.
Menjelajah waktu terkadang merambah ulu untuk berhenti menggauli tujuh peluru
kesetiaan kepada ketenangan, tegaskan saja sebagai bekal yang tak pernah aus ditelan lupus, tak perlu gusar, tak ’kan pernah kesasar meskipun sejenak rebah di selasar bawah sadar. Ya, dimensi seperti ini terkadang membuat kesejatian hidup mendadak tak serasi, biarkan dilebur ilusi. Tak perlu dibawabawa ke nyata. Hidup hanya sekali, jadi jangan sekalikali terrayu silir bayu sesaat yang membawa ke buaian tak bertepi.
Maqam 4
Sebotol nafas tersisa, tak perlu dihabiskan di depan ukiran pintu terakota yang justeru bisa mengunci untuk keluar dari penjelajahan sekian lama. Sabarlah sedikit, agar langkah yang tertatih tidak merintih di puncak perjalanan. Duduk bersama biru lebam langit lebih baik, agar kawan malam yang setia, bila awan tidak menculik binar sempurna bulan, segera berteman.
Purnama datang ataupun tidak, jangan lekas lemas meremas akhir kembara
Manfaatkan sisa tenaga yang terbungkus rapi di palung jiwa. Di sini kita berakhir
Atau justeru kembali ke semula. Begitulah miniatur hidup dalam bukitbukit yang kubentuk sederhana di jendela yang menembus ke awal matahari menampakkan pijar di fajar.
Tasikmalaya, 10 MEI 2010