SAJAK SAJAK

1 min read

Tatang Pahat

MELUKIS WAJAHMU
Untuk`AR
    
Seperti kemarin, cerita itu kita lalui
dengan meninggalkan pecahan makna.  
Udara kesedihan, kemarahan, juga gelisah
Sering kau susun dalam bayang masa lalu.
Lantas kita susuri kota pahlawan yang lelap
Dengan cahayanya yang  gemerlap

Seperti kemarin, pagi jatuh bersama sisa peluh
Angin, daun, juga ranting di pohonan jatuh
Lalu mengembaralah kita menyetubuhi kota

Seperti kemarin sunyi tetap bau bacin
Melulu sembunyi di pelepah  hari yang asin
Lalu kau curi mimpiku sambil bergegas
“Ijroil, aku datang!”  

Di pusaramu dik! Kamboja jatuh
Mengurai tujuh lapis peristiwa

2007-2009

Tatang Pahat

SILOKA

Dzikir bumi adalah kitab suci

2009

 

Tatang Pahat

MAJMUR

(1)
Pagi berlumuran darah di lembar pertama sebuah koran
Dan dunia menyusut ke tanah. Ada pesta pora di hotel
Bintang lima. Ada juga mayat bertumpuk di bumi menanti
Kremasi. kita tak saling menyendiri bermesraan memeluk ujung kehidupan
Tanpa jeda. Udara menghisap reruntuhan menusuk dada lalu
Tergeletak bersama luka. Darah muncrat di dinding retak bersatu dengan
Barisan mayat tanpa alamat. Sungguh pahit  berdiam diri
Menikmati sekerat luka di televisi. Lalu melihat pameran kata di meja paripurna
Ribut saling berebut retorika. Di luar udara liar semakin sulit dikejar

(2)
Melulu pagi berlumuran darah di lembar pertama sebuah koran
Bumi  menyusut dibalut kalut. Ketika gerimis mengutuk tidur
Lalu kelam terusir dari sisa malam. Ada daging tersayat di lumati burung bangkai
Yang belum lapar. Juga amarah pecah di sela resah lantas kita saling menunggui mimpi Pagi. Demi membangun keyakinan yang pasrah di bius kemiskinan
Kuapungkan doa lewat angin lalu menatap lengkung langit tembaga
Aku terisak di tumpukan mayat yang mati tersedak sambil
Menghisap bumi sampai menjadi debu tak berarti.

(3)
Lagi-lagi pagi berlumuran darah di lembar pertama sebuah koran
Tafakurku tersungkur di sela kubur. Matahari mendekat membakar
Syahwat gelombang. Laut cumbui pasir membentuk tarian getir.
Tidak ada harapan yang tertinggal di sungai sebab batu
Sudah lelah di hantam riaknya. Seperti halnya aku menunggunu. Kekasih!
Lalu puisimu pecah di celah gelisah. Maka berlayarlah aku membelah samudra
Memecah karang, merengkuh buih, merauk ombak juga mengukur sulur-sulur cahaya Berharap menemukan camar bersayap senja. Padahal di langit segerombolan awan mengutuk hujan.

2009

Tatang Pahat
 
GERIMIS

Diantara kaki senja menembaga
Serat-serat cahaya menembus wajah  langit
Awan berbaris serupa lukisan cakrawala
Kemudian kita membakar marah hingga berakar
Terbangkan lelaltu di ambang malam
Di balik kaca jendela kutatah pecahan peristiwa
Meninggalkan jejak sunyi ulu hati
Ketika angin kesepian mengelus pucuk albasiah
Aku titipkan seutas rindu

Menghitung kembali lembaran
Daunnya yang dulu pernah kita injak,
Saat gerimis menyirami tanah
Tarenyata tidak cukup sebab
Terlalu kering tersedot kepakiran pikiran

Di sudut malam yang menyusut
Mimpi kemarin tercuri geliat pagi
Lalu membeku menjadi embun dan jatuh
Di sungai batinku lantas memecah takbir
Batu-batu ketika nasib menjerat leherku di ujung ranting
Mengalirlah aku sampai terusir di bibir waktu yang menggebu

2010

 

 
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *