POHON PALESTINA SAYA, SEKADAR PENGANTAR
Perkenalan pertama saya dengan Palestina terjadi pada akhir 1970-an, ketika saya duduk di kelas dua sekolah menengah peratama negeri di Kadipaten, sebuah kota kecil di Kabupaten Majalengka. Perkenalan pertama ini melalui buku kumpulan Puisi Arab Modern. Buku hard cover yang diterbitkan Pustaka Jaya tersebut memuat beberapa puisi karya penyair Palestina.
Di sekolah menengah atas negeri Jatiwangi, kota kecil lain yang pula di Kabupaten Majalengka, saya berkenalan lebih lanjut dengan Palestina. Perkelanan lanjutan ini pun terjadi melalui puisi. Hanya saja, kali ini melalui puisi-puisi para penyair Palestina yang dimuat khusus di majalah sastra Horison.
Ketika kuliah di Fakultas Sastra UNPAD, hubungan saya dengan Palestina mengalami perkembangan. Saya bukan saja membaca jauh lebih banyak puisi-puisi para penyair Palestina dan membaca sebagiannya dengan close reading. Saya pun membaca cukup banyak cerpen dan novel karya para penulis prosa Palestina. Juga membaca esai-esai dan bubu-buku nonfiksi tentang Palestina yang ditulis baik oleh orang Palestina maupun oleh para penulis dari negara-negara lain, termasuk Israel.
Saya pun berulang-ulang membacakan puisi-puisi Palestina di acara-acara pembacaan puisi baik di kampus maupun di luar kampus di Bandung. Kerap juga saya terlibat dalam perbincangan mengenai Palestina baik di warung-warung kopi maupun dalam forum-forum diskusi dan seminar.
Meski begitu, Palestina dalam diri saya lebih banyak bertumbuh dari puisi-puisi Palestina yang, seperti telah disampaikan, bermula di dua kota kecil di Majalengka. Begitu pula buah dari pohon Palestina tersebut. Daripada cerpen dan esai, misalnya, pohon Palestina saya lebih banyak berbuah puisi.
Saya tidak tahu pasti kenapa demikian. Mungkin ada pertaliannya dengan kata-kata Bertold Brecht. Persekutuan para penjajah berabad-abad memerangi Palestina. Di satu puisinya, Brecht mencatat: “Di masa- masa gelap/Akankah ada pula nyanyian?/Ya, akan ada pula nyanyian/Tentang masa-masa gelap.”
Kata-kata Brecht itu mungkin pula ada pertaliannya dengan perkataan Mahmoud Darwish. Di ranjang kematiannya, pada tahun 2008, penyair nasional Palestina ini menulis surat kepada panitia Festival Sastra Palestina yang memintanya menjadi pelindung festival tersebut. Dalam suratnya, Darwish menulis bahwa Israel permanen memerangi Palestina, bahwa Israel terus menerus menduduki Palestina. “Dan pendudukan secara alami memicu kekerasan. Di sini, di bagian Palestina yang bersejarah ini, dua generasi warga Palestina telah lahir dan dibesarkan di bawah pendudukan.
“Mereka tak pernah mengenal kenormalan. Kenangan mereka dipenuhi gambaran neraka. Mereka melihat hari esok mereka terlepas dari genggaman mereka. Dan meski bagi mereka tampaknya segala sesuatu di luar realitas ini adalah surga, mereka menolak untuk pergi ke surga. Mereka tetap tinggal, karena mereka dihinggapi harapan.”
Baik neraka dan surga maupun harapan sama belaka. Ketiganya dialami setiap orang sesuai keberadaan masing-masing yang tentu saja berbeda-beda. Neraka, surga, dan harapan jadinya bukan objektif, tapi subjektif. Dan subjektivitas, apalagi kedalamannya, selalu saja rumit dan subtil. Justru dengan ruangnya yang umumnya lebih terbatas, banyak puisi lebih berdaya menghadirkan yang rumit dan subtil. Puisi jadinya dapat sampai seperti banyak puisi Darwish yang “melestarikan dan menuliskan kembali Palestina” dan “membangun tanah air dari kata-kata.”
Tanah air dalam dan dari kata-kata itu, kata Sinan Antoon, “bukanlah kemewahan, tapi oksigen budaya dan politik bagi jutaan pengungsi yang lahir di kamp-kamp di dalam dan di luar Palestina dan yang ditolak haknya untuk kembali, di antara banyak hak lainnya.”
Mungkin juga ada pertaliannya dengan lontaran penyair, esais, novelis, dan penerjemah asal Irak yang menerjemahkan banyak karya sastra Palestina, termasuk puisi-puisi Darwish, ini: “Bangsa Arab mendefinisikan puisi sebagai “mengatakan hal yang tak terucapkan.” Bagiku, puisi adalah tempat berlindung dan sumber daya untuk mengkristalkan dan menyaring semua hal yang tak terucapkan dalam menghadapi dunia yang kejam. Puisi adalah tempat berlindung bagi ingatan kolektif, suara-suara yang teredam, dan sejarah yang diselamatkan… dan puisi tidak dapat dihancurkan.”
Mungkin masih ada kemungkinan lain. Yang pasti, saya sendiri tak dapat berkata pasti.Saya hanya berani mengatakan bahwa pohon Palestina saya biasa berbuah cukup banyak puisi ketika Israel dan sekutu-sekutunya meningkatkan kebiadaban akan Palestina. Peningkatan kebiadaban ini, seingat saya, hampir selalu terjadi men jelang, selama, dan beberapa waktu sesudah Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam.
Berulang-ulangnya peningkatan kebiadaban Israel pada menjelang, selama, dan beberapa waktu sesudah Bulan Suci tersebut jelas kesengajaan, bukan kebetulan. Hal ini bisa jadi merupakan bagian dari upaya jahat mengkonstruksi Palestina sebagai negara agama (Islam) dan masalahnya dengan Israel dan sekutu-sekutunya adalah masalah agama (Islam) dan ras (Arab), bukan masalah kolonialisme pemukim dan apartheid yang bertaut dengan negara-negara besar yang kebesarannya tak syak dimungkinkan oleh dan memungkinkan kolonialisme dan neokolonialisme. Pengkonstruksian Palestina dan pendefinisian masalahanya yang demikian merupakan upaya memperlemah perjuangan memungkinkan dari sungai ke laut Palestina merdeka, dan sekaligun mempermudah upaya terkutuk menghapus Palestina dari sejarah.
Pada masa-masa semakin mengerikan itu buah-buah pohon Palestina saya biasa muncul di koran-koran yang memiliki rubrik sastra. Saya berharap buah-buah itu menjadi bagian dari berbagai gerakan bela Palestina di Indonesia yang selalu saja bermunculan setiap kali terjadi peningkatan kebiadan Israel dan sekutu-sekutunya.
Namun, sampai hari ini pun sastra masih saja dikecilkan. Para penggerak gerakan Palestina kebanyakan luput menjadikan sastra Palestina baik sebagai referensi maupun inspirasi. Padahal, sastra Palestina sebagaimana terwongan-terowongan bawah tanah Gaza.
Sastra Indonesia, misalnya, adalah karya sastra yang ditulis oleh orang Indonesia dengan bahasa Indonesia. Sastra Palestina tidak demikian. Sastra Palestina ditulis bukan saja oleh penduduk Palestina yang bermukim di pedesaan dan perkotaan Gaza dan Tepi Barat, tapi juga oleh orang Palestina yang berkewarganegaraan negara lain, termasuk Israel. Bahasanya pun bukan saja bahasa Arab, tapi juga bahasa Jepang, bahasa Korea, bahasa Mandarin, bahasa Hindi, bahasa Swahili, bahasa Gikuyu, bahasa Afrikaner, bahasa Turki, bahasa Ibrani, bahasa Rusia, bahasa Spanyol, bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan lain-lain lagi. Terbitnya pun di berbagai koran, majalah, jurnal, dan buku di hampir seluruh negara di lima benua.
Maka sastra Palestina menjadi sebagaimana terowongan-terowongan bawah tanah Gaza. Dari mana saja mulanya, ada apa saja dan bagaimana saja di dalamnya, ke mana saja arahnya, apa saja yang dilakukannya, dan bagaimana dampak-dampak yang dimungkinkannya, tak siapa pun mengetahuinya dengan pasti. Namun, dengan caranya sendiri-sendiri sehingga beraneka ragam, karya-karya sastra Palestina di berbagai penjuru dunia sama-sama mengupayakan Negara Palestina merdeka. Keaneka-ragamannya justru berperan signifikan memungkinkan mereka berbuah di mana-mana.
Karya-karya sastra Palestina pun menjadi melampaui para politisi dan diplomat resmi Palestina. Karya-karya sastra Palestina minimal lebih luas dan lebih dalam daya jangkaunya, lebih menarik dan meyakinkan gambaran-gambarannya mengenai kompleksitas dinamika perjalanan Palestina, lebih kuat membangkitkan solidaritas dunia terhadap Palestina.
Tidak heran jika para penulis Palestina menjadi target untuk ditangkap, dianiaya, dipenjarakan, dan / atau dibunuh dari sejak milisi-milisi Zionis berusaha mendirikan Israel di tanah Palestina hingga hari ini. Tidak heran pula jika mereka sejak tahun 1947 hingga sekarang terus menerus dengan berbagai cara berusaha menghancurkan infrastruktur sastra seperti gedung-gedung arsip, gedung-gedung perpustakaan, gedung-gedung perguruan tinggi, gedung-gedung sekolah, toko-toko buku, kantor-kantor media massa, dan gedung-gedung kesenian serta ruang-ruang lainya yang lazim dijadikan tempat pembacaan dan diskusi sastra.
Protes demi protes sedemikian banyak sastrawan dunia, termasuk banyak para pemenang Nobel Sastra dan penerima penghargaan sastra berwibawa lainnya, akan kejahatan itu sama sekali tak dipedulikan Israel dan sekutu-sekutunya. Meski demikian, berbagai protes itu tidaklah padam. Bahkan kejahatan itu yang dilakukan Israel dan sekutu-sekutunya sejak 7 Oktober 2023 dinyatakan secara terbuka oleh ratusan sastrawan, seniman, jurnalis, dan akademisi seluruh dunia sebagai salah satu bukti sahih dari genosida. Berbagai Festival Sastra Palestina pun diadakan di sejumlah negara di lima benua.
Saya sendiri diminta untuk ikut dalam sebuah Festival Sastra Palestina di Beirut, Libanon. Untuknya, sebuah kumpulan puisi saya yang bertema Palestina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Pada saat bersamaan dengan proses tersebut, sebuah kelompok mengadakan workshop mengenai Palestina. Salah satu materi workshop dengan para peserta dari kelompok-kelompok solidaritas Palestina di seluruh Indonesia ini adalah kelas menulis bela Palestina. Saya dua kali diminta menjadi mentornya. Pembuka dan penutup kelas menulis adalah pembacaan puisi Palestina. Setelahnya, para peserta kelas tersebut meminta agar dibentuk semacam serikat penulis solidaritas Palestina Indonesia. Dari situlah menyeruak gagasan untuk menerbitkan buku sepilihan puisi Surat Cinta untuk Palestina.
Himat Gumelar

Judul Buku: Surat Cinta untuk Palestina
Penulis: Hikmat Gumelar
Penerbit: Yayasan Mata Pelajar Indonesia
ISBN: (dalam proses pengajuan)
Tahun terbit: Oktober 2024, 300 eks.
Ukuran: 14 X 20 cm.
Tebal: 110 halaman
Harga: Rp70.000,00
