Tadarus Puisi; Tiga Penyair Santri

1 min read


Tadarus Puisi. Mungkin hal baru yang kita dengar di dunia sastra. Mungkin ini akan mejadi tradisi baru dalam sebuah penamaan kegiatan atau tema dalam ruang –ruang diskusi sastra, khususnya di Tasikmalaya. Kalau kita menyimak beberapa tahun ke belakang, ada tradisi enam penyair membentur tembok, enam penyair menghisap knalpot dan lainnya. Sebenarnya tidaklah berbeda inti dari tradisi enam dan tadarus puisi tiga penyair santri. Hanya penamaan tema saja yang berbeda.
Dan tiga penyair santri disini adalah dimana tiga penyair itu lahir dari kalangan pesantren, meskipun tulisan dan karyanya tidak harus selalu religius. Kadang sosial, percintaan, lingkungan, ketuhanan dan sebagainya.           Tadarus puisi tiga penyair santri ini merupakan awal agenda dari Komunitas Cermin dalam rangkaian diskusi sastra yang selanjutnya akan mempersembahkan tiga penyair jalanan dan tiga penyair kamar.


Tadarus puisi dilaksanakan untuk sebuah pembekalan kepada setiap individu penyair yang mana ke depannya mungkin akan berembug untuk membuat satu antologi puisi bersama. Mau tidak mau, ketika karya sudah sampai ke publik, itu akan menjadi milik publik. Bagaimana orang menafsirkan dengan latar belakang dan wawasan yang berbeda. Bagi saya, itu sah-sah saja. Ketika orang mau menafsirkan apa yang mereka baca. Sebab sebuah karya mempunyai dua pemaknaan. Yang pertama pemaknaan secara verbal yang mungkin milik si penyair atau penulis. Yang kedua pemaknaan universal, dimana pembaca atau apresiator dapat menafsirkan apa saja tentang tulisan itu.
Agenda pertama tadarus puisi digelar di Saung Trotoar Tasikmalaya, menghadirkan tiga penyair santri diantaranya Aos Mahrus, Syifa Agnia, Aan A. Farhan. Dan pengulas menghadirkan Bode Riswandi, seorang penyair, aktor, sutradara, dosen, dan pengusaha sandal korupsi. Yang kedua, Nizar Mahyuzar. Aktivis kesenian yang hijrah ke kota gudeg Jogjakarta, dan kembali lagi ke tanah Tasikmalaya. Seorang guru, penulis, penyair.
Diskusi awal ini sengaja digelar di bulan Ramadhan sambil menunggu sahur tiba. Sebab apa? Dikatakan Ashmansyah Timutiah; moderator sekaligus koordinator Komunitas Cermin, “sembari menunggu sahur apa salahnya kita bertadarus sambil mengharap Lailatul Qodar datang kepada kita”. Sebab tadarus puisi juga merupakan ibadah.           Satu hal yang dapat saya petik dari pertemuan pertama ini, yaitu bahwasanya seorang penyair harus beriman terhadap apa yang diyakininya yaitu menulis. Sehingga penyair itu dapat berjihad dengan sungguh-sungguh di jalan kepenyairannya itu. Semoga kita (penyair) termasuk di dalam golongan orang-orang yang beriman. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *