Bukan Diriku

3 min read

Maman dan papaku terus saja bersilat lidah ketika aku dikunci sendirian di dalam kamar. mereka  tak henti-hentinya mendebatkan apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya aku lakukan. mereka berebut masa depanku sedangkan aku harus pasrah pada pilihan salah seorang dari keduanya yang menang taruhan. aku tidak boleh punya hobi, tidak boleh punya idola, tidak boleh punya favorit, tidak boleh punya banyak teman yang akan meracuni pikiranku. tapi anehnya, dengan segala bentuk keterbatasan itu mereka memaksaku menjadi gadis yang serba bisa. nilai raporku harus sempurna dalam dsegala bidang, aku harus jadi juara umum, aku harus bisa menilis, aku harus bisa menyanyi, aku harus bisa bermain musik, sehingga keduanya akan berani unjuk gusi di depan tetangga kami apabila aku sukses nanti, padahal aku yang menjalaninya merasa tersiksa lahir-batin.

Biasanya meraka punya keingina yang sama untuk aku lakukan, dan sama-sama bejuang mendorong motivasiku hingga aku mencapai titik puncak prestasi. tapi hari ini, karena sebuah masalah yang aku sendiri tidak tau masalah apa itu, mereka bertengkar hebat hingga tega mengurungku sehari-semalam di dalam kamar. aku tidak tau dan sebenarnya memang tidak mau tau apakah insiden itu berdarah atau tidak. yang jelas, aku merasa menjadi boneka yang dikorbankan keduanya.

***

“biarkan anakku berdedikasi di kedokteran!” ujar papaku provokatif. ia menekankan kata deddikasi seolah aku adalah calon budak ilmu medis.

“ia lebih cocok belajar sastra prancis!” balas maman antusias. ia mengutarakan pendapatnya dengan menggebu seakan ia yakin bahwa aku adalah seseorang yang telah ditakdirkan Tuhan untuk mendalami bidang linguistik.

“apa kau tidak sadar kalau nilai eksaknya sempurna, hah?!” papaku mendelik.

“tapi ia lebih banyak berprestasi di bidang linguistik!”

“itu tak menjamin ia lebih pintar dari hal lain. aku yakin perceka akan jadi dokter hebat!”

“kau salah. pettite tidak berbakat untuk itu. aku ibunya, akulah pembawa genetiknya!”

“kau curang! dia bukan anakmu sendiri. kita membuatnya bersama-sama. pasti gen-ku yang lebih dominan. biarkan ia mengikuti profesi ayahnya seperti aku mengikuti titel ayahku!”

“tidak! semua anak perempuan di keluargaku harus masuk sastra prancis! budaya negara kami lebih terhormat dari budaya disini!”

“hey!!! kau lupa statusmu! sekarang kau adalah warga negara indonesia, kau tak lagi tinggal di tanah Louis, dan negara tempatmu kini berada tak menganut matrilinealisme. garis keturunan ayah lebih penting untuk menentukan nasib!”

“tidak!!! pettite tidak cocok memakai jas praktikum dan memegang jarum suntik. itu akan membuatknya kelihatan keji. aku lebih suka pettite yang benci pada darah!”

“bodoh! tidak seharusnya kau membenci pekerjaan suamimu! dasar istri jalang!”

“aku menyesal menikah denganmu!”

“ibumu pelacur!”

plak! bugh!argghhh! auw! woekkk…!

aku cemas. aku tak berani membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi. akupun menarik handle pintu, tapi tak terbuka. mereka terlalu asyik bertengkar hingga melupakanku untuk sebentar. aku tau pernikahan dr.sukojo perceka dengan pettite genevieve telah retak. persilangan genetika yang mereka bangun bertahun-tahun untuk mendapatkan filial yang sempurna mendadak hancur gara-gara sebuah ambisi yang tak logis. selama ini aku menyadari kehadiran mereka dalam tubuhku tatkala aku mengeja namaku sendiri “pettite perceka”. perpaduan nama yang cukup eksentrik. papa biasa memanggilku perceka dan maman memanggilku pettite selama 17 tahun ini. aku tak pernah menyadari bahwa  perbedaan kecil itu mungkin akan menyebabkan kehancuran luar biasa di keluargaku. dan inilah saatnya. plak! bugh! akh!!!

aku mendengarnya lagi dengan samar. di luar mereka saling menjambak dan memukul. aku resah, tapi tak tau harus berbuat apa. aku hanya takut sesuatu yang sama sekali tak diinginkan akan terjadi. akupun memikirkan segala kemungkinan yang akan aku lihat kala kakiku menendang-nendang pintu kamarku. aku terus memaksa pintu itu agar terbuka. tapi hasinya nihil. akupun mencari alternatif lain, mungkin saja ada lubang atau apapun itu yang yang bisa kulewati. tapi ternyata cara ini gagal juga. semua lubang fentilasi dan kaca jendela di kamarku memakai terali. akupun berusaha kembali fokus pada pintu itu, lalu aku memaksa membukanya dengan jepitan rambutku. awalnya memang seperti mustahil,                             tapi lama-kelamaan engselnya bergeser. akupun lekas mendobraknya dan pintu itupun terkuak.

aku memekik saat papa berada di atas maman. ia menyilangkan kakinya di atas perut maman dan dengan sendok spatula yang biasa ia gunakan untuk menakar dosis obat di ruang prakteknya, papa menusuk jantung maman. saat itu juga darah maman memancar ke mukaku tapi aku tak bersuara. rasanya bibirku kelu, saat itu, aku merasa terlalu lemah untuk mengeluarkan jeritan walau hanya sedikit. papa telah membuat tempat ini seperti di ujung neraka.

***                                                                                kini maman telah mati, dan papaku menjadi satu-satunya dokter yang tinggal dalam sel. aku memang hancur karena kehilangan keluarga yang sangat aku cintai. tapi sejak saat itu, aku terbebas dari rasa tertekan untuk memilih antara kedokteran atau sastra perancis. justru aku lebih senang menjadi pelukis yang tak pernah menggunakan cat merah pada setiap lukisannya. barangkali maman benar bahwa aku mungkin diciptakan Tuhan untuk membenci darah, tapi aku tak pernah berharap akan membencinya dengan cara seperti ini. bagiku, warna darah telah telah menjadi sedemikian menakutkan seperti simpul-simpul kematian. sehingga di kemuadian hari orang-orang memanggilku pelukis merah; sebuah stereotip misterius yang ironi dengan jiwaku.

kini aku bangga menjadi aku yang sebenarnya. dengan implikasi kematian maman-agaknya-kita seringkali dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu yang menurut sebagian orang menakjubkan. padahal tiap orang telah dikaruniai kecerdasan yang berbeda untuk melakukan hal menakjubkan yang berbeda pula.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *