Penulis; Asep Budi Setiawanĵ
Penerbit: Yayasan Mata Pelajar Indonesia
ISBN: dalam proses pengajuan
Tahun terbit: Juli, 2024,
Halaman: 95 dan 14 halaman romawi
Cetakan: I, 300 eksemplar
PERTOBATAN SEORANG BIROKRAT
Sekadar Esai Pengantar
Oleh Hikmat Gumelar
Asep Budi Setiawan (ABS) dan saya bukan saja berkawan dalam bersastra dan berteater ketika sama-sama kuliah di UNPAD. Kami pun kemudian, ternyata, sama-sama anggo KPK (Komunitas Pecinta Kucing). Anggota KPK ini dapat dipastikan tersebar di setiap negara di lima benua. Jumlahnya sangat mungkin mencapai ratusan juta jiwa. Di Amerika Serikat saja, menurut Cat Fancier’s Association, sampai saat ini ditulis, kucing bermukim di 45,3 juta rumah tangga.
Entah ada berapa banyak asosiasi pecinta kucing di seluruh dunia. Yang terang, rumah ABS dan rumah saya, yang tentu saja berbeda, sama-sama dihuni pula oleh lima ekor kucing. Dan setiap kucing kami pun sebagaimana halnya kita, pembaca, memiliki nama.
Dalam menamai mereka, ABS dan istrinya, yang dipanggilnya “Mah”, serta kedua anaknya, yang dipanggilnya “Ka”dan “De”, tampaknya mudah belaka. Bisa jadi hal ini bertemali dengan kepercayaan yang sudah berakar. Dalam “Namamu Selalu di Hati”, ABS menulis, “Saya dan Mah masih memegang keyakinan nama adalah doa, harapan, atawa simbol.”
Selain itu, ABS menambahkan, memberi nama adalah melekatkan tanda. “Kucing juga perlu identitas.” Maka kelima kucingnya jadi bernama Molly, Milly, MeO, MeI, dan Bubu, yang ia singkat jadi 4M dan 1B.
Mungkin karena berbeda kepercayaan dengan ABS dan keluarganya, memberi nama kucing menjadi perkara sulit bagi Thomas Steam (TS) Eliot. Atau kesulitan tersebut mungkin disebabkan oleh perkara lain. Yang pasti, penyair dan esais peraih Nobel Sastra tahun 1948 ini mengungkapkannya dalam “The Naming Of Cats”. Puisi yang adalah salah satu puisi dalam antologi Old Possum’s Book of Practical Cats ini membuka dirinya dengan: Penamaan Kucing adalah hal yang sulit, / Ini bukan hanya salah satu permainan liburanmu; / Kau mungkin berpikir pada awalnya aku sama gila dengan seorang pembenci. / Ketika kuberi tahu kau, seekor kucing pasti memiliki TIGA NAMA YANG BERBEDA.
Ketiga nama yang diacu narator, yang bisa jadi Eliot sendiri, adalah, pertama, nama keluarga sehari-hari yang galib “Seperti Peter, Augustus, Alonzo atau James,/ Seperti Victor atau Jonathan, George atau Bill Bailey– / Semuanya adalah nama sehari-hari yang masuk akal.” Atau nama-nama “Seperti Plato, Admetus, Electra, Demeter — Tapi semuanya adalah nama sehari-hari yang masuk akal.” Kedua, karena “seekor kucing membutuhkan nama yang khusus, / Nama yang unik, dan lebih bermartabat, / Kalau tidak, bagaimana dia bisa menjaga ekornya tegak lurus, / Atau melebarkan kumisnya, atau menghargai harga dirinya?” Maka, “kuberi tahu engkau,” lontar Eliot, nama-nama “Seperti Munkustrap, Quaxo, atau Coricopat, / Seperti Bombalurina, atau Jellylorum-“
Ketiga, nama rahasia, “Dan itu adalah nama yang tidak akan pernah kau duga; / Nama yang tak dapat disua oleh penelitian manusia– / Namun KUCING SENDIRI TAHU, dan tidak akan pernah mengakuinya.” Kucing bisa demikian berkat kesukaannya “bermeditasi mendalam”, suka memikirkan, memikirkan, dan memikirkan nama untuk dirinya yang “Dalam dan Nama tunggal yang tak dapat dipahami.”
Saya tidak tahu pasti apakah kucing memang seperti ditulis Eliot. Yang jelas, kala pertama mengenalnya dan selama kami berteman di UNPAD Dipati Ukur, ABS adalah seorang penyair. Meskipun sampai sekarang belum mendapatkan Nobel Sastra sebagaimana Eliot, ketika itu puisi-puisinya, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Sunda, kerap sudah dimuat oleh berbagai media massa. ABS pun seorang yang rajin mengutip dari ingatannya larik-larik puisi para penyair yang dirasakannya kuat. Dan, seperti diuraikan Van Vechten dalam bukunya yang bernas dan relevan “The Tiger in the House: A Cultural History of the Cat,”para penyair dapat dikata banyak yang memiliki hubungan istimewa dengan kucing:
“Para penyair, aku yakin, lebih dekat hubungannya dengan roh grimalkin, jiwa kucing, daripada penulis prosa atau pelukis. Mereka seharusnya begitu, karena penyair adalah mistikus, setidaknya penyair besar adalah mistikus, berbicara seperti peramal … Penyair mengetuk pintu gerbang yang kadang terbuka lebar, menyingkapkan taman yang tak dapat dimasuki oleh mereka yang berusaha menyua kebenaran dalam akal dan pengalaman. Iman dibutuhkan untuk memahami kucing, untuk memahami bahwa seseorang tidak akan pernah dapat memahami kucing sepenuhnya.”
Saya berani memastikan ABS pun begitu. Sampai detik ini pun ia masih belum pula dapat memahamii sepenuhnya 4M dan 1B. Sampai detik ini pun baginya 4M dan 1B masih pula berselimut halimun misteri. Namun, saya pun berani bertaruh bahwa ABS sebagai 4M dan 1B serta kucing-kucing lainnya, yakni selalu haus mencari tahu. Selalu dahaga menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai kucing dan segala hal ihwal yang bertemali dengannya.
Sangatlah mungkin ABS sudah melahap Secret Life of Cats. Dengan buku karya Carrie Arnold tersebut, misalnya, ABS dapat menjadi lebih paham lagi bahwa kucing merasakan dunia dengan indra sebagaimana indra manusia; penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, dan sentuhan. Namun, kelima indra kucing dan manusia tidak sepenuhnya sama.
Misalnya, manusia bisa hidup tanpa kumis. Kucing sebaliknya. Hidupnya sangat bergantung pada kumis. “Dikenal secara resmi sebagai vibrissa, kumisnya lebih panjang dan tebal dari bulu kucing biasa. Setiap kumis kucing tumbuh dari folikel yang berisi saraf dan pembuluh darah, menjadikannya sensitif seperti ujung jari manusia. Vibrissae ini membantu mengimbangi penglihatan kucing yang kurang baik. Mereka mendeteksi pergerakan udara halus yang bisa menunjukkan keberadaan mangsa dan membantu kucing menavigasi rintangan.”
Jadi, jelas kumis kucing berbeda dengan kumis manusia. Kumis kucing adalah salah satu indra sentuhan 4M dan 1B serta kucing-kucing lainnya.
Begitu pula dengan indra pendengaran. Benar bahwa kucing dan manusia bertelinga dua. Namun, Arnold menulis, “Telinga kucing yang berbentuk segitiga berfungsi seperti antena parabola kecil berbulu. Daun telinga, atau pinnae, bisa berputar maju, mundur, dan menyamping secara independen untuk menyua lokasi suara. Rotasi pinnae hingga 180 derajat berarti kucing dapat menentukan lokasi suara hingga beberapa inci hanya dalam waktu enam ratus detik—lebih cepat dari kedipan mata—dari jarak hingga tiga kaki.
“Mereka pun bisa membedakan perbedaan suara yang amat halus, bahkan hanya sepersepuluh nada. Ta-pi pendengaran ultrasonik mereka (jauh lebih unggul daripada manusia dan bahkan anjing) tak berarti Beyonce dan Beethoven menyukai selera musik kucing. Pada 2015, tim peneliti dua universitas AS menguji lagu-lagu yang menggabungkan suara-suara yang berpusat pada kucing, termasuk mendengkur dan denyut nadi yang mengingatkan pada saat menyusu. Hasilnya menunjukkan bahwa kucing lebih menyukai lagu kucing (“Cozmo’s Air” dan “Rusty’s Ballad”) dibandingkan musik yang dibuat untuk manusia.”
Ketiga indra lainnya idem. Namun, kucing didomestikasi sejak 10.000 tahun lalu. “Diundang” dengan makanan dan naungan, mula-mula berbagai ras kucing liar itu mengemban tugas menjaga sang penjinak dari hama seperti tikus dan pembunuh seperti ular berbisa. Kemudian, karena menyukai perempuan lantaran suara perempuan umumnya lebih tinggi daripada suara laki-laki, dan merupakan hewan yang rahimnya subur, kucing disukai dan diidentikan dengan perempuan. Tersebab perannya yang antara lain demikian derajat kucing pun meningkat. Mereka dipercaya sebagai mahluk spiritual yang dapat menentukan nasib manusia. Sejak itu berbagai ras kucing sudah terbiasa berinteraksi dengan berbagai jenis manusia. Jadilah, antara alin, kucing domestik memiliki 276 ekspresi wajah yang berbeda.
Masuk akal kalau dalam puisinya, “A Little Language”, Robert Duncan mengucap, “Kucingku fasih. Dia / berbicara denganku kapan saja dia mau. Berbicara // itu alami.”
Sudah atau belum membaca “A Little Language”, ABS dan istrinya sebagaimana Duncan. “SAHABAT,” ucap ABS, “saya dan Mah, kalau mau pergi pasti bilang kepada Molly, Milly, MeO, MeI (4M), dan Bubu (1B). Ada amanat untuk idep, jaga rumah, tidak nakal, makanan dan minuman sudah disiapkan, serta “minta didoakan” untuk kesehatan, keselamatan, dan rezeki yang berkah. Kami memercayai setiap makhluk akan tahu niat baik kita, batin akan klik, serta semacam membangun harapan agar mereka bisa makan makanan toko.”
Ucapan tersebut terang menunjukkan bahwa 4M dan 1B tidaklah diperlakukan sebagai obyek, melainkan subyek. Mereka ditempatkan sejajar. Diperlakukan sebagai teman, bahkan anggota keluarga ABS layaknya.
Oleh itu, tumbuh bersama 4M dan 1B bagi ABS dan keluarganya menjadi semacam pertobatan. Pertobatan manusia modern yang pandangan dunianya terinfeksi racun cartesian: Aku berpikir, maka aku ada. Dan, karena menganggap hewan non-manusia, apalagi tetumbuhan, tidak bisa berpikir, maka hewan dan tetumbuhan bukan saja dipandang lebih rendah, dipandang sebagai instrument belaka. Instrumen untuk memuaskan segala hasrat kemaruk si mahluk jumawa itu.
Memang dalam sekalian esai di buku ini penggambaran fisik dan perilaku 4M dan 1B bertaburan peristilahan yang mengesankan antroposentris. Namun hal itu memang susah sungguh dielakan. Penggambaran fisik dan perilaku kucing-kucing itu dilakukan dengan aksara, yang merupakan bagian dari bahasa manusia. Bahasa manusia itu sendiri tak pelak adalah institusi sosial. Namun, bahasa serangkaian esai ABS ini terasa benar bersikeras untuk terbebas dari model bahasa instrumental, yang membentuk dan menfasilitasi realisasi cara pandang eksploitatif baik terhadap seama manusia apalagi terhadap hewan non-manusia dan tetumbuhan.
Kecuali itu, hampir di setiap esainya, tak sedikit pula ungkapan khas bahasa Sunda, sebuah bahasa, yang seperti bahasa-bahasa daerah lainnya di republik ini, adalah bahasa yang ramah alam. Dan, di sana-sini dalam setiap esainya, ABS cerdik menyelipkan humor. Humornya pun bukan jenis humor superior, yang melecehkan atau merendahkan liyan, melainkan jenis humor yang kadang membuat kita tak sadar tertawa menertawakan diri kita sendiri.
Itulah yang menjadikan ABS lebih dari hanya anggota KPK seperti saya. Dia menuliskan pengalamannya tumbuh bersama 4M dan 1B. Padahal, sudah puluhan tahun dia menjadi birokrat pemerintahan. Betul bahwa semua esainya di buku ini adalah esai ringkas. Namun, kelirulah kalau mengimani bahwa esai ringkas niscaya tanpa kedalaman. Bukankah ada orang bijak yang berucap bahwa bahkan dalam sebutir pasir terdapat semesta?
Itu pula yang membuat saya diam-diam menduga bahwa dalam melihat kucing ABS sebagaimana Charles Baudelaire. Seekor kucing pirang kecokelatan, membuat tangan penyair pelopor simbolisme itu menjulur membelainya. Dan kemudian:
…
Apakah ia peri atau mungkin ia dewa?
Ketika mataku bertatap matanya
Bagai tertarik magnet, kucing tercinta
Menoleh manja penuh kepatuhan
Bercermin aku padanya kemudian,
Aku melihatnya dengan takjub, ada
Api berkilat di selaput putih matanya,
Lentera bening dan nyala batu kalimaya
Menuju ke arahku tatapan mata indahnya
Pakidulan Majalengka, awal Juli 2024