Sang Penghadang!

1 min read

Penulis     : Taufiq Tan

Penerbit   : Manhaj Publishing, Depok

Isi                : 273 hlm, 11 x 19 cm

“…Alhamdulillah, hingga detik ini aku tak sungguh-sungguh menjadi katolik. Tak pernah mengganti Allah dengan Yesus.  Aku telah memilih jalan Islam, hidup-mati dalam Islam. mereka boleh meragukan akidahku, tapi aku tak pernah ragu memilih tempat berdiri. Selama ini aku shalat sembunyi-sembunyi, di dalam WC atau kamar mandi, atau sesaat menjelang tidur ketika semua lampu telah di padamkan. apapun posisiku dalam jihad ini, itu pasti untuk membela Islam. Kuhadang setiap rencana musuh-musuh Allah dengan caraku sendiri... “

Sekilas, pembaca dapat mengidentifikasi tema spionase agama dan Islamophobia para pemuka Kristiani yang diusung dalam “Sang Penghadang”. Di Indonesia, jarang sekali ada fiksi Islami yang ditulis secara objektif dan diramu berdasarkan fakta sejarah namun tetap menghasilkan cerita dengan alur dan bahasa yang segar. Selain itu, Tufiq Tan telah berhasil mengkristalkan agitasi isu pemecah-belah umat melalui deskripsinya di Pemakaman Katolik Taman Eden bahwa seorang muslim telah terkubur di antara jasad-jasad pengikut Yesus. Sayangnya, novel ini agak mbeling dari kaidah Point of View sastra Indonesia. Dalam “Sang Penghadang”, narator mencampuraadukkan beberapa sudut pandang dalam alur yang sama. Sesekali ia menggunakan sudut pandang orang pertama, sesekali sudut pandang pelaku sampingan dan terkadang narator berkisah dengan identitas lain yang sama sekali asing. Memang, tekhnik penulisan macam ini pernah sukses membawakan beberapa novel lain seperti “Mahasati (Qaris Tajuddin)” dan “Siluet Senja (Ria&Hafidz)”. Tapi tetap saja, meski dalam senseyang sama “Sang Penghadang” jadi terlihat aneh dan terkesan memaksakan chemistry cerita. Meski diakui, bahasa yang lancar mengalir bisa menjadi katakunci emosi pembaca. Dan terpenting, agaknya narator yang seorang fundamentalis tidak mempublikasikan karyanya untuk kepentingan komersial semata. Lebih dari itu, sang narator ingin memperbaiki standar penglihatan orang Indonesia terhadap eksistensi Islam murni dan jaringan missionaris yang terlampau hiperbolis di Era Orde Baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *