Tahun Baru Masehi "Kenapa Sering Di Rayakan Oleh Umat Islam"

4 min read

Tepat pada malam tanggal 1 Januari, rakyat Indonesia biasanya menyambut kedatangan Tahun Baru Masehi dengan penuh sukacita. Tanpa memandang agama, ras, dan suku, lapangan Monas biasanya disesaki lelaki & perempuan tua, muda, remaja, dan kanak-kanak menyambut kehadiran tanggal 1 Januari dengan penuh keceriaan. Situasi di Monas merepresentasikan situasi di Indonesia pada umumnya. Di kota-kota lain, situasi semacam itu juga tercipta dengan segala pernak-perniknya. Peringatan Tahun Baru Masehi memang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.

Walau peringatan Tahun Baru Masehi telah menjadi bagian dari tradisi yang melekat pada masyarakat Indonesia, sangat sedikit sekali orang Indonesia yang memahami nilai-nilai filosofi dan sejarah yang terkandung di dalam peringatan Tahun Baru Masehi. Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang diimpor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia hanya mengenal kalender Hijriyah dan Kalender Saka.

Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih –gelar untuk Nabi Isa as. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara lughowi, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.

Sebelum mengenal kalender Masehi, bangsa Romawi telah mengenal kalender Julian yang dihitung dari masa kelahiran Julius Caesar. Adapun Bulan-bulan pada Kalender Julian sama persis dengan kalender Masehi. Tarikh awal tahun Masehi atau tahun 1 Masehi dihitung sejak tahun yang diyakini sebagai tahun kelahiran Isa Al Masih. Walau perhitungannya dimulai dari tarikh kelahiran Isa Al Masih, perhitungan kalender Masehi baru dilakukan pada tahun 526 Masehi saat Dionisius Exiguus –seorang pejabat tinggi kepausan di Roma yang diserahi tugas menyusun kalender gereja menetapkan perhitungan tahun Anno Domini berdasarkan dugaannya bahwa Isa Al Masih lahir 526 tahun sebelum saat itu.

Bila kita mengikuti perkiraan Dionisius Exiguus tentang kelahiran Isa al-Masih, 1 Januari mendatang kita akan memasuki tahun 2008. Perhitungan yang dibuat Dionisius Exiguus itu dilandaskan kepada naskah Injil Lukas bahwa Isa Al Masih mulai mendakwahi bangsa Yahudi pada tahun ke-15 pemerintahan Kaisar Tiberius, yang bertahta dari tahun 60 Julian sampai 83 Julian (14-37 Masehi). Injil Lukas pun ternyata main tebak dalam menyatakan usia Isa Al Masih saat itu, karena kalimat dalam Injil itu berbunyi quasi annorum triginta (kira-kira 30 tahun). Maka Dionisius Exiguus langsung menetapkan tahun 47 Julian sebagai tahun 1 Masehi.

Gereja Katolik yang menetapkan Kalender Masehi mengatur bahwa masa sebelum kelahiran Isa Al Masih dinamakan masa Sebelum Masehi (BC = Before Christ). Perhitungan tahun dilakukan mundur alias minus berdasarkan asumsi teologis bahwa Isa Al Masih ialah penggenapan dan pusat sejarah dunia.

Ternyata Dionisius Exiguus tidak memahami kitab Sucinya sendiri dengan baik. Sebenarnya dua Injil dalam Alkitab (Injil Lukas & Matius) mencatat bahwa kelahiran Isa Al Masih terjadi pada masa pemerintahan Raja Herod di Palestina (10 sampai 43 Julian). Ini berarti Isa Al Masih dilahirkan antara tahun 37 SM dan 4 SM. Kemudian, Injil Lukas juga menyebut bahwa Isa al-Masih lahir saat Gubernur Suriah, Quirinius, mengadakan sensus penduduk di Palestina atas perintah Kaisar Oktavianus Augustus (memerintah tahun 27 SM-14 M). Sensus ini berlangsung sesudah pengangkatan Quirinius tahun 6 SM (41 Julian). Jadi Isa Al Masih kemungkinan besar dilahirkan pada tahun 42 Julian (5 SM). Nah,…kalau kita ingin konsisten menghitung tahun kalender ini sejak lahirnya Isa Al Masih a.s., seharusnya Tahun Baru sekarang adalah tahun 2013.

Jauh sebelum munculnya Kalender Masehi yang bodoh ini, peringatan Tahun Baru sudah biasa dilakukan bangsa Romawi. Dalam kalender Julian yang dipakai bangsa Romawi zaman dulu, awal tahun dihitung mulai 1 Maret, saat musim semi dimulai. Ketika Isa Al Masih alias Yesus Kristus ditetapkan sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea yang digagas Kaisar Konstantin, ditetapkan pula bahwa tanggal kelahiran Isa adalah 25 Desember, menggantikan ulang tahun Hercules. Mungkin pertimbangannya adalah karena baik Hercules maupun Yesus sama-sama ‘anak’ Tuhan. Kaisar Konstantin lalu menarik awal tahun dari 1 Maret ke tanggal 1 terdekat dengan 25 Desember, yakni 1 Januari. Sejak itu, peringatan Tahun Barunya orang Eropa pun pindah ke tanggal itu.

Maka perayaan Tahun baru merupakan salah satu bagian dari paket perayaan Natal. Bukti lain bahwa perayaan Tahun Baru Masehi adalah satu paket dengan Natal adalah melalui ungkapan yang umum di Eropa bahwa ucapan ‘Merry Christmas’ (Selamat Natal) selalu diikuti dengan ucapan ‘and Happy New Year’ (dan selamat Tahun Baru).

Di Eropa dan negeri barat lainnya, bentuk perayaan ‘Merry Christmas and Happy New Year’ ini sangat khas dan tidak pernah berubah sejak zaman Jahili Romawi. Kalaupun ada perubahan hanya dalam hal alat-alat dan busana yang semakin modern. Secara substansi, semuanya sama. Perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi disambut dengan pesta besar-besaran, malam akhir tahun ditunggui, lalu nyanyian dilantunkan, lonceng tengah malam pun dibunyikan, kembang api dinyalakan di sana-sini, terompet ditiup, ucapan ‘merry christmas and happy new year’ diteriakkan di mana-mana. Tak lupa pula, campur bebas pria dan wanita yang bukan muhrim pun ‘memeriahkan’ semua acara rohani ini. Bentuk perayaan ini lalu diadopsi oleh hampir semua negara di dunia. Orang-orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam pun tak mau dianggap kuno dan ketinggalan zaman, lalu ikut-ikutan melakukan semua ketololan yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Jahiliyah itu.

Muda-mudi Indonesia –bahkan juga orang tua– dengan bangganya ikut-ikutan merayakan Tahun Baru Masehi. Selain beberapa bentuk perayaan yang diadopsi seperti meniup terompet, menyalakan kembang api, dan kadang-kadang ada acara seperti pesta, tontonan musikal, mereka juga mengadakan acara duduk-duduk sambil ngobrol mengahabiskan waktu akhir tahun, ada juga yang mengadakan k
egiatan introspeksi akhir tahun seperti muhasabah, mabit, dll.

Bila ditanya alasan mengapa orang Indonesia ikut-ikutan merayakan Tahun Baru Masehi, paling alasan yang sering kita dengar adalah, “untuk refreshing aja, enggak tiap hari ini”. Padahal mayoritas orang Indonesia adalah umat Islam yang jelas-jelas sudah punya Tahun Baru sendiri (yang bahkan jarang mereka rayakan). Padahal kalau dipikir-pikir refreshing bisa dilakukan di lain waktu, tanpa mesti ikut-ikutan acara Tahun Baru Masehi.

Saya yakin para pembaca banyak yang tak setuju dengan opini saya. Tapi coba pikir lagi, dong. Apa sebenarnya manfaat perayaan ini? Kalau dilihat dari segi waktu, akan banyak waktu yang terbuang percuma. Padahal setiap muslim harus mempertanggungjawabkan waktu yang dihabiskannya di dunia pada Hari Hisab kelak. Dari segi biaya, bisa dipastikan banyak uang berhamburan tanpa guna. Dari segi kesehatan pun jelas akan merusak tubuh karena harus begadang untuk menunggu malam akhir tahun. Dari segi keamanan, seringkali terjadi tindak kriminal di malam tersebut. Dari segi ketertiban umum, mengganggu kehidupan dan kenyamanan masyarakat yang ingin melewatkan malam itu dengan tidur (seperti saya tentunya). Dari segi moral, seringkali campur bebas terjadi antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Paling yang merasakan manfaat dan keuntungan dari perayaan ini cuma tukang terompet, tukang kembang api, para artis dan segolongan kecil masyarakat lainnya yang mengail keuntungan dari kerugian sebagian besar masyarakat.

Jelas bahwa Tahun Baru Masehi bukan tahun baru yang bisa dirayakan oleh semua orang. Namun hanya untuk dirayakan oleh mereka yang beragama Masehi/Kristen. Jangan-jangan saat kita ikut-ikutan merayakan Tahun Baru Masehi malah mengganggu umat agama lain yang sedang beribadah atau bahkan sama dengan ikut-ikutan ibadah agama lain (Naudzubillah!). Padahal umat Islam seharusnya menghargai umat agama lain yang sedang merayakan tahun barunya. Jadi, ngapain juga kita ikut merayakan tahun baru umat agama lain? Renungkanlah…

 

Alfian Nuraen

XII IPA SMA Plus Darussalam

Baju Kopral

ian.alfian05@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *