Kheista

2 min read


Kadang aku merasa seperti mereka tertawa, seperti mereka bicara, atau seperti mereka berduka. Kadang aku juga adalah seorang pemikir, seorang manusia, seorang sunyi, seorang sepi, atau sebuah nyanyian. Dan kadang aku juga adalah sebuah kerajaan. Dengan batas teritorial aku.
Sebuah bejana aku isi dengan apa saja yang ada dalam pikiran serta selalu membawanya kemana arah panah menunjuk. Tapi tetap tujuannya tidak beraturan. Sampai aku merasakan panas dalam ketiduran singkat. Nyanyian ini tak berujung di tengah malam saat sajaksajak Ilahi gemakan seluruh peradaban. Aneh. Berpikir sekeras apa pun, tak sampai padanya. Putih kesayangan menjadi korban kekesalan. Selalu memuakkan.
Telah diberikan kepada segala berita. Masih dalam bahasa isyarat menjadi adat. Dengan siapa membunuh waktu yang tak mau menunggu. Sayap tak sampai padanya meski cahaya sudah terbaca sebelum akhirnya berpelukan dengan remang. Jari terbuka genggam hampa rasakan detak tertunda, hilang bersama kata-kata. Terlalu kecil dapat besar sebelum cara dilakukan dan disetujui oleh kehidupan. Tapi dengan apa bahasanya? Lalu mediatornya?
Sebut saja untuk satu keinginan, satu pengorbanan, satu kemerdekaan, satu kegelisahan. Disini ada kata tak sempat terucap dalam menghitung hari. Masih suka matahar? Setia memberi pijakan dan tebakan tak beraturan.

***
Dan aku pun masih suka berlama-lama menatap si muka pucat pasi di kejauhan. Apabila bicara selalu mengerti kesepian. Dan kesendirian tidaklah harus selalu kesepian. Pada malam juga selalu ada dialog tak sekawan dengan cermin pusat keinginan. Pada malam juga ada lukisan samar dalam lipatan pikiran. O, inikah yang mengganggu pikiran anak malam? Padahal dalam doa, ia selalu berkata dan memohon, bahwa ia sedang tidak enak hati untuk disiksa. Entah angin apa meniupnya lembut seolah bicara lantang dan keras ; boleh kuraba sampai dimana kedalaman jiwa mungil itu?
Sebelum saat ini menjadi saat tertunda dan tinggalkan jejak lama dalam cara baru, keinginan tak pernah menjemput.
Kata merubah  menjadi nada dalam detak-detak  irama. Tak ada minor sebab belum lama dirasakan, hanya permulaan yang sudah kejauhan.
…………..lebar itu berapa jalan? Luasnya tak tahu ukuran. Sampai dimana? Berapa umur hari? Berjumpa satu tatap, satu cerita, satu acara telah bicara dengan dekorasi basa-basi.
Pagi pertanyakan siang, siang pertanyakan senja, senja  perbolehkan purnama menjajah malam. Malam selalu diburu matahari menuju pagi. Anomali.
Dari dalam, luar, atas, bawah semoga sentuhan lemah menjadikan terperangah. Lantas saja tak punya tameng menembus lurus sebelum hilang. Maaf mungkin terlalu sepi. Sadar harus berdiri. Lutut berdetak hampir getas. Apa dirasa puas menimang batas. Tak terbilang semua hitungan pada langkah terdepan.
Coba bentangkan kananmu, berapa jarak mata diambil sudut kiri bahu, lalu bulatkan dan simpul jadi satu, cepat bergerak sebelum jatuh, lalui dan matikan kesendirian. Ruang tunggu paruh waktu, MEMUAKKAN!!
Enigma ini terlalu sulit dengan katakata sebab ia tak punya muka. Segalaya adalah waktu menjadi juri dan hakimnya. Tak hanya malam saat hilang lelap, dalam siesta pun ia selalu bercakap tentang satu cerita. Tapi aneh. Mungkin aku afasia sembari melihat bibirnya menari.

Akh!!
Perempuan!
Kenapa mesti ada perempuan?
Menyusupi aorta, pompa addrenalin
Menebar racun dipikirku
Akh!!
Perempuan!
Kenapa mesti ada perempuan?

Akhirnya aku buta oleh kata-kata. Dan menjadikan munafik. Aku juga tak mengizinkan kau bertamu di sarang hati sebab aku tahu perihnya sayatan sebuah belati. Tapi izinkanlah aku  menjadi bulan-bulanan dalam pikiranmu itu dengan gemuruh gelombang keseimbangan dan harapan aku bangun.
Kenapa harus ada arti?
Katakan padanya tentang sebuah arti, lalu kau tanyakan pada maskot di jantung kotamu sebelum berlalu disisi mu dengan lembut untuk menjadikan parade kekecewaan berkepanjangan.  Alunan kata terus mangalir indah. Tidak menginginkan perang atau sebuah kemenangan melainkan satu kebenaran. Ragu dan waktu merupakan sekutu yang sama-sama mencekal kata-kataku. Tapi aku tetap merapal mantra-mantra untuk cerita, tapi  aku gunakan hukum keterlambatan. Langkahku tetap disini, sebuah ruang kosong dengan segala bentuk dan warna hitam-putih.
Anak malam kembali pada catatan pojok mulai berdebu, coba goreskan tinta. Ketika nyanyian mulai sayup, ada hal lain merasuk pena hingga tulisannya memuakkan.
Akhirnya aku berlarut dalam kata. Menulis. Duniaku goresan, alam petualang.
Apakah aku mampu hilang dari peredaran, sebab jalan belum ditemukan? Aku berjalan lagi dengan catatan terselip dalam saku mencari dan terus mencari.

“saat resah datang menggoda
Kala hati mencari damai
Waktu rindu akan  ketenangan
Bayangan itu muncul
            Menebal
Mendorong kita menemukan keindahan”

Tasikmalaya, Agustus 2009
     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *