Ada lukis pelantara menari diami waktu
melekat disebutir debu yang meminang sahara gersang
menelan satu persatu pedang yang hilang
Tak henti tinta usiamu membaca,
Megukir prasasti-prasasti purba
Dalam langkah peradaban
Hembus nafasmu masih menyubur
Belum dalam terkubur
Jelas namamu tak meluntur
Kelopak indamu tak bercabang menggugur
Dalam getaran nadi
terikat setia dalam cumbu jemari sukmamu
bersama,
irama rintik hujan di antara rimbun dedaunan menari manja
pemandangan senja kala kulukis senyummu dalam kanvas puisi
namun kuas ini masih sulit menjabarkan kedalaman isi
di alismu setajam belati
seluruh mimpi menjadi arti
di matamu seteduh bulan
ada sibak senja dalam nyanyian
di bibirmu semanis madu
luruh kata indah tercandu
di senyummu seindah kejora
seluruh debu menjadi mutiara
diranah perjalanan laju usiamu, ada sebekal ruang-ruang yang menampung penuhnya do’a yang luap menderas. Ada labirin disekotak rahasiamu, yang misteri kau sembunyikan dibalik tiang-tiang bekal kenangan. Aku temukan utuh pelangi di dalam jiwamu, bahkan gemintang rembulan menyekat dirusuk-rusuk ragamu. Hingga, sampai berapa lajukah tarikan nafas menampung segelintir kisah yang belum kau tulis, dilembar baru usiamu?
*Sebelumnya mohon maafku ya Kak, tak bisa membuat seindah harapmu.
selamat bertambah umur, kak Arther..
Do’aku dan kami semua menderas untukmu.
Agustus, 2010
:Afrilia Utami