MENCARI HAKEKAT KEAKTORAN DALAM ”DUNIA KECIL" TEATER

5 min read

Oleh, Tatang pahat

    Kenyataan bahwa seni mampu menggalang khalayak dalam jumlah yang tetap malah bertambah, adalah seni pertujukan (teater) yang “dikemas”  secara konseptik, estetik dan artistik. Dengan lain perkataan, seni  yang berorientasi pada kemungkinan perkembangan menjadi “seni massa yang bersuspensi”. Dengan pengemasan apik dan di bentuk seluwes mungkin bisa dicapai nilai komunikatif, sehingga terbentuk opini publik..

Seorang aktor tubuhnya bak seperti tanah liat, bisa dibentuk apa saja (suyatna anirun Alm). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan peningkatan kualitas perangkat-perangkat terciptanya peristiwa teater yang utuh. Salah satu dari sekian banyak perangkat yang harus di perhatikan yaitu keaktoran karena kualitas ini membentuk keutuhan sebuah peristiwa teater. Beberapa upaya untuk meningkatkan kualitas aktor di dunia pertunjukan teater. Pada intinya aktor sebenarnya memaparkan hakekat sebuah kejadian  yang diaplikasikan melalui kata-kata. Karena kata-kata (vocal) merupakan kendaraan imaji seorang aktor (Suyatna Anirun Alm), inilah sumber yang paling elementer seorang aktor dari sebuah peristiwa teater. Pertanyaannya bagaimana kerja seorang aktor supaya keutuhan peristiwa teater terjaga?. Yang jelas sorang aktor harus sehat jasmani dan rohani supaya mampu untuk menjelmakan hakekat dari sebuah kejadian tadi disamping seorang aktor haruslah mempunyai kecerdasan dan intelektual yang di atas rata-rata. Dua kekuatan ini merupakan motor penggerak dalam pembangunan watak penokohan yang akan di usung seorang aktor. Untuk mencapai tahap kesempurnaan dalam memaparkan hakekat sebuah kejadian seorang aktor tadi haruslah memempuh tiga tahap latihan dasar keaktoran diantarannya,
Tahap pertama aktor harus melatih fisiknya (olah tubuh) seperti senam irama, improvisasi gerak, gerak kreatif, pantomime dll. Latihan pernafasan, eksplorasi karakter suara, menyanyi, eksplorasi pengucapan kalimat (diksi), latihan ini akan membentuk aktor yang handal secara kinetik, visual dan auditif.
Tahap kedua latihan kemampuan intelektual dan memahami tentang makna kebudayaan (seni) secara menyeluruh. Memahami kerja kreatif dan konsep tokoh tokoh teater, mengetahui tentang sejarah sastra, seni lukis, seni arsitektur, seni musik, filsapat seni, filsapat manusia, psikologi, konsep apresiasi dan kritik seni serta mengetahui tentang anatomi manusia. Pengetahuan-pengetahuan ini untuk seorang aktor sebagai bahan untuk merepresentasikan tokoh yang akan di perankan.
Dalam tahapan ke tiga aktor harus melatih sukma berupa mengaktifkan panca indranya seperti mendengar, melihat, mencium, meraba, mengecap yang terus dilatih kepekaannya untuk menghasilkan fleksibilitas dalam mengekspresikan penokohan.
    Semua latihan ini membentuk si aktor menjadi tipe manusia-transpormatif, yaitu manusia yang mempunyai sukma yang fleksibel dan fleksibelitas, ini adalah modal dasar aktor serta membangun kekuatan intrinsik untuk sanggup memainkan dan menjelmakan identitas watak tokoh yang akan dimainkan. Kemampuan aktor menciptakan atau mencitrakan watak tergantung pada kuat-lemahnya pengalaman atau observasi (konkret/ liteler) yang diaktifkan selama proses pembentukan watak itu berlangsung.
Dalam wilayah seni peran, pencitraan watak bisa jadi tidak terbatas. Maka dari itu untuk membangun watak-watak yang tidak bisa terkejar oleh kekuatan pengalaman contohnya peran psikopat atau peran pembunuh, tidak mungkin tersedia di pengalaman pribadi barangkali tidak akan pernah mengalaminya?. Mengadapi persoalan ini aktor bisa menempuh pendekatan tokoh tersebutr,  dengan Teknik Proyeksi.
Seperti halnya proyektor adalah alat untuk memperbesar suatu benda, dikaitkan dengan pencarian watak yaitu untuk memperbesar intensitas emosi dari sumber yang dialami sendiri sang aktor, guna menumbuhkan atau membangkitkan perasaan yang (merinding bulu kuduk) meminjan dari Acep Zamzam Noor. Teknik ini membantu proses pencarian aktor untuk menemukan watak atau peran yang tidak bisa terkejar oleh pengalaman batin si aktor. Teknik proyeksi ini dengan jalan memanggil pengalaman yang sebanding (parallel experience) tujuannya untuk membangkitkan atau menciptakan watak dalam penokohan. Misalnya untuk berperan seorang pembunuh si aktor tidak harus membunuh, cukup dengan membayangkan ketika aktor membunuh kecoa, nyamuk atau menyembelih ayam. Lewat teknik proyeksi, pengalaman itu bisa di jadikan acuan untuk menemukan watak atau tokoh si pembunuh (yang akan diperankan si aktor). Kiranya pencarian seperti itu membentuk tokoh dan atau penokohan yang akan di perankan si aktor sehingga berefek kepada sukses dan tidak suksesnya sebuah peristiwa teater (laku akting).
    Laku akting dapat di wujudkan melalui ekspresi yang di wujudkan diatas pentas (stage), hasil proses pencarian si aktor, dampak nyata dari laku akting memunculnya laku dramatis. Pada dasarnya laku dramatik menjalankan “garis laku” acting dengan membangun laku dramatik peran, guna memunculkan atmosfir dramatic. Simpulan sementara laku akting seorang actor diatas pentas, merupakan perwujudan dari proses metamorfosis dari perangkat si aktor (tubuh, pikiran dan perasaan) yang di rajut dalam proses pencarian dan pembetukan sosok peran. Inti dari keaktoran, mencipta peristiwa dramatis di atas pentas (stage), peristiwa itu merupakan stuktur atau bangunan cerita yang diekspresikan oleh aktor-aktor melalui unsur kehendak dengan mengaktifkan panca indranya untuk mencapai target yang di butuhkan (sososk peran).

HAKEKAT KEAKTORAN
    Aktor adalah seniman yang menghadirkan atau menjelmakan suatu sosok/watak penokohan, di tampilkan diatas pentas (stage), dengan mengaktifkan perangkat panca indra yang di milikinya yaitu pengalaman batin, pengalaman intelektual, dan pengalaman imajinasinya dengan dorongan motivasi. Dalam keaktoran dorongan motivasi pencarian tokoh, haruslah bertumpu pada kekuatan kualitas bukannya kuantitas. Pada akhirnya pencarian (eksplorsari) berdampak pada penjelmaan sosok watak yang proposional.
Kualitas watak akan tercapai jika aktor mampu menjelmakan atau menampilkan pesona bihaviorial-nya, dengan cara mengedepankan penampilan kinetic (gestural, penampilan fisik, reaksi tubuh) dan auditif (vocal, distorsi suara untuk mencapai audio yang sesuai dengan tokoh) yang maksimal, sehingga bisa menjelma sebagai tokoh atau sosok yang dikehendaki. Pemaksimalan dari dua kekuatan ini, tubuh aktor sebagai alat transpormasi akan tercapai, artinya aktor telah mampu mengambarkan dengan sempurna tokoh yang diciptakan sang pengarang teks play (naskah). Di sisi lain dua prinsif pencarian ini, akan berdampak pada kredo keaktoran “Aku” (aktor) mati bagi diriku sendiri, tetapi hidup untuk dunia luar. Dunia luar merupakan dunia epistemik pengarang dan pikiran-pikirannya.
    Proses membangun watak selayaknya bersandar pada proses penafsiran, pembentukan, penjelajahan dan penguasaan serta penjelmaan watak.
Dalam proses penafsiran aktor, haruslah bisa mengenali masa lalu tokoh, pengalaman tokoh secara batiniah, secara tersurat dalam naskah, atau yang tersirat dalam laku akting tokoh. Dengan cara mengkaji auto-biografi tokoh. Proses pencarian serupa ini akan memunculkan karakteristik tokoh, guna membangun laku dramatik dalam sosok peran, yang akan di presentasikan aktor lewat laku acting di atas pentas (stage).
Selanjutnya proses peng-identifikasian watak, dalam tahap ini aktor seharusnya memenempatkan dirinya dalam tokoh yang akan di perankan. Baik secara perasaan, pikiran, pengalaman, emosi. Sehingga tubuh aktor bisa asimilatif dengan peran/tokoh yang akan di bawakan. Proses selanjutnya kerja aktor adalah menggambarkan watak.
Proses menggambarkan atau membayangkan secara keseluruhan merupakan hasil dari peng-identifikasian, sehingga aktor bisa menetapkan identitas tokoh secara visual penokohan. Gambaran ini dapat menegaskan terhadap pola dasar tokoh secara fisik dan spikis, inputan ini tentu saja dengan pencampuran eksplorasi secara observatif (kongkret/liteler).
Berikutnya menghidupkan watak/tokoh. Pada pase ini aktor harus menghidupkan seluruh perangkat keaktorannya secara fisik dan psikis ke dalam proses pengolahan tesk (naskah), yang menjadi jalan pijakan untuk menemukan sosok peran yang di inginkan. Proses ini satu cara untuk menghidupkan tesk, sehingga tesk tersebut bernyawa. Tentu saja dengan cara pengucapan yang baru dengan satu kekuatan dari artistik aktor dengan pendekatan kinetik dan auditif tadi. Kemudian tahap menjelmakan watak, aktor harus menyerahkan dirinya dengan situasi dramatik dari tesk,(naskah) atau membiarkan kekuatan tesk (naskah), merasuk ke dalam tubuh aktor. Seghingga kekuatan tesk menjadi bagian integral dari tubuh aktor (proses menjadi/dijadikan). Di tahap  ini kekuatan proses latihan secara kontinyu, menjadi jembatan penghubung untuk menuju penjelmaan tokoh yang di inginkan.  
Menginjak pada tahap berikutnya yaitu tahap pendetailan watak, di pase ini kerja aktor mengembangkan sosok peran supaya kesinambungan dan identitas tokoh yang diperankan lebih spesifik, dalam hubungannya dengan kode kode rahasia yang di munculkan teks. Hubungannya dengan gestikulasi atau kata non verbal yang bersifat ungkapan yang tidak bersuara kode ini bisa dilacak oleh kekuatan di balik teks-teks verbal (Between the Teks, Under the Teks, dan Beyond the Teks).
Proses selanjutnya menyimpulkan watak yang akan di perankan, aktor selayaknya menyusun, mengkaji, memadukan dari berbagai suasana kompleksitas reaktif yang di munculkan dari teks, (naskah) per-adegan. Dalam proses ini aktor harus bekerja sama dengan sutradara dalam membentuk akhir dari pencarian aktor untuk di tuangkan ke dalam peristiwa pertunjukan. Dari semua proses yang di paparkan dalam membangun watak dalam keaktoran bermuara di atas pentas (stage), dengan dan tentu saja ada campur tangan orang lain. Inilah yang dinamakan kolektivitas.

IRAMA SEBAGAI PUNCAK KEAKTORAN
    Inti dari keaktoran dalam sebuah peristiwa teater yang disajikan di atas realitas ambang (stage) mengambil istilah Saini KM, yaitu membangun irama atau atmosfir peristiwa teater. Peristiwa itu dibangun dari berbagai kehendak yang di wujudkan oleh tokoh-tokoh yang ada di dalam teks lalu di ekspresikan oleh tubuh-tubuh aktor. Sehingga membentuk pola laku akting uanuk menciptakan konplik dramatik. Unsur-unsur kehendak dari peristiwa dramatik ini, menurut Benjon dibagi menjadi APA dan BAGAIMANA. Apa yaitu kehendak, berupa pengutaraan pikiran, hasrat, ambisi, ide gagasan, renungan yang dimunculkan dalan teks drama. Bagaimana yaitu suatu cara menggambarkan secara artistik dan ekspresif dialog yang tertuang di dalam teks drama. Dua kekuatan antara apa dan bagaimana terjalin secara dalam merajut peristiwa demi peristiwa dalam untuk mencapai stuktur dramatic yang di inginkan.
    Pada hakekatnya irama itu sebagai suatu prubahan yang teratur, sehingga menciptakan citarasa ruang yang menjadi ciri dari kenyataaan. Maka kita bisa merasakan perubahan irama jika kita sadar akan perubahan ruang ke cita rasa perubahan ruang lainnya.
Irama dalam seni teater dibangun oleh unsur-unsur pristiwa, nada, gerak, kata, laku, warna dan bentuk, membangun irama sebagai jembatan pembantu untuk penonton ke tujuan akhir dari kesimpulan dari sebuah peristiwa teater yang di bangun oleh sang kreator (seniman). Untuk melatih kepekaan ini selayaknya sang aktor bersikap resfonsip terhadap apa yang di temukan sang aktor terhadap cita rasa ruang yang di bangun dari kekuatan teks sebagai bahan baku.
    Kesimpulannya jika aktor adalah seorang yang tuna irama baik secara fisik, psikis atau genetis tidak ada jalan lain kecuali bagi dirinya untuk meninggalkan panggung. Karena tanpa ada kekuatan ini teater tidak mempunyai kekuatan ritmis, empatis dan magnetis serta hipnotis. Padahal kekuatan itulah menjadi suatu power of intrinsik yang menyebabkan teater masih punya alasan untuk di datangi apresiatornya (audient).***

Penulis,
Pemerhati seni pertunjukan
Tinggal di tasikmalaya.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *