Ocehan Seekor Sapi

2 min read

SEEKOR sapi mengoceh dalam hatinya, ”Mengapa harus aku yang dibawa? Kenapa hanya aku yang dikorbankan untuk mereka? Apakah karena aku ini sapi yang paling gemuk dan paling banyak dagingnya di antara sapi-sapi Pak Asip yang lainnya? Bukannya aku tak rela mengorbankan diriku untuk kebahagiaan mereka, tetapi aku merasakan sebuah ketidakadilan. Aku sendiri sulit menjelaskannya. Entah mengapa?

”Hmoooooh..!”, Si Sapi melenguh panjang. Besok adalah hari dia akan dikurbankan. Hatinya kembali berkata-kata pada dirinya sendiri, ”Ya! Sebuah ketidakadilan. Ketidakadilan itu yang membuatku bimbang. Aku tidak ingin menyalahi kodrat Allah dengan menolak untuk dipotong. Tapi apakah dengan pengorbanan diriku derita semua manusia akan berakhir? Seandainya aku bisa, aku ingin membesarkan tubuhku sebesar-besarnya, hingga dagingku bisa mengenyangkan perut setiap manusia yang kelaparan di dunia. Namun aku sadar itu hanya khayalanku saja.”

Lamunan Sang Sapi semakin jauh, ”Aku rela leherku disembelih, tubuhku disayat dan dagingku dipotong-potong besok. Tetapi, aku tetap merasa ada ketidakadilan. Bukan ketidakadilan Allah yang aku maksudkan. Aku tidak menyesal akan kodratku sebagai hewan. Aku tidak punya hak apa-apa darinya. Dia-lah Yang Maha Adil. Dan Dia tidak mungkin menimpakan ketidakadilan pada makhluknya. Hanya kepada-Nyalah kembalinya segala sesuatu. Yang aku maksud adalah ketidakadilan manusia”.

Si Sapi terdiam sejenak, seolah prihatin akan keadaan makhluk yang terakhir kali muncul dalam lamunannya itu. Hari semakin petang, Sapi semakin asyik dengan ocehan batinnya, ”Manusia, makhluk yang paling sempurna. Sungguh beruntung mereka, dipercayai Allah untuk mengetahui sebagian kecil ilmu-Nya dengan akal mereka. Yang aku cemaskan, manusia semakin lupa akan kewajiban dan peranannya. Aku takut manusia yang membeliku dan memotongku, berkurban bukan ikhlas karena Allah. Aku takut dagingku dipotong-potong bukan untuk menunaikan syariat, tetapi sebagai topeng untuk mempertahankan dirinya sebagai seorang pejabat yang terhormat di mata masyarakat.

Aku takut dagingku dimakan untuk kesenangan dan pemenuhan hawa nafsu perut saja, bukan untuk dijadikan sebagai jalan bersyukur kepada-Nya. Aku semakin prihatin dengan keadaan manusia yang semakin tidak menyadari eksistensinya. Aku prihatin karena manusia banyak yang ingkar kepada-Nya. Aku prihatin melihat orang menjalankan agama hanya sebagai kewajiban dan pemenuhan kebutuhan psikologis saja, bukan sebagai bentuk keikhlasan kepada Tuhannya.”

Si Sapi memejamkan kedua mata sapi-nya. ”Ah! Kenapa hanya aku yang dikorbankan? Banyak manusia kaya yang lebih patut berkorban dan mengorbankan kekayaannya sendiri. Toh kantung perut mereka tidak akan cukup untuk menampung semua harta mereka. Manusia harus belajar membantu saudaranya yang kesusahan. Manusia jangan terus terlena dengan dunia. Jangan terus menumpuk dunia karena nafsu menguasai. Ya! Ketidakadilan manusia itu adalah hawa nafsu mereka. Itulah yang menimbulkan keingkaran, kesombongan, ketakabburan, iri, dengki, ria, serakah serta penyakit-penyakit lainnya.

Manusia jangan hanya bisa memenggal leherku saja, tetapi mereka juga harus bisa memenggal ketidakadilan mereka itu, memenggal nafsunya, memenggal segala ‘penyakit’ yang ada pada dirinya. Dan untuk memenggal semua itu, manusia harus memiliki pisau hati yang tajam dan bersih.

Sehingga dengan kebersihannya, pisau hati itu akan memancarkan sinar kelembutan sebagai wujud dari pantulan cahaya ilahiah. Kebanyakan, pisau hati manusia masih tumpul dan kotor sehingga tidak bisa memenggal tuntas hawa nafsunya. Manusia seharusnya tahu, untuk mengasah pisau itu diperlukan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya.”

Hari sudah memasuki waktu maghrib, suara adzan berkumandang. Si Sapi terhenyak, ”Kenapa aku harus sejauh ini? Allah Maha Besar. Allah Maha Sempurna. Tentu dia mempunyai kehendak-Nya sendiri dalam mengatur dunia ini. Tentu kehendakNya-lah menciptakan manusia yang ingkar dan yang taqwa. Dia tahu akan segala sesuatu. Aku tak berhak untuk menyesal, takut, atau prihatin akan ketidakadilan manusia. Ketidakadilan yang diciptakan manusia adalan bagian dari keadilan Allah. Maha Suci Engkau Yaa Allah.”

Adzan telah usai, shalat maghrib di mesjid sudah selesai. Sekarang, suara takbir, tahmid dan tahlil bergema, meninabobokan Si Sapi yang matanya sudah mulai berat. Akhirnya, Si Sapi tertidur dalam kepasrahan kepada-Nya. Adakah kita sebagai manusia rela untuk memenggal hawa nafsu kita? Adakah kita ikhlas untuk memenggal kesombongan kita, memotong keingkaran kita kepada-Nya, menyayat habis akhlak buruk kita dan menumbangkan penyakit-penyakit syetan lainnya yang ada pada diri kita? Hanya orang yang memiliki pisau hati yang tajam, bersih dan bercahaya jernih yang bisa melakukannya.

Adakah kita sudah berusaha untuk mengasah pisau hati kita dengan dua sisi batu asahan yang kita sebut Keimanan dan Ketaqwaan kepada-Nya? Ataukah kita masih terlena dengan kehidupan dunia yang sesaat ini? Hanya kita sendiri yang mengetahui jawabannya.

ditulis saat Rachmat Rhamdhani Fauzi
kelas XII SMAN 1 Tasikmalaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *