PERKAWINAN PUISI LIRIK DAN HAIKU

11 min read

Oleh Hikmat Gumelar

(Disampaikan dalam Diskusi Buku Puisi Gema Tanpa Sahutan Karya Acep Zamzam Noor pada acara Vakansi Buku MPI 2023, 17 Juni 2023, pukul 15.30 s.d. 17.30)

 

Dan penyair pun seorang petugas. Tetapi berbeda dengan politisi. Politisi petugas partai. Penyair petugas puisi.

 

Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka pun tentu saja berbeda. Tupoksi politisi harus patuh kepada para elit partai, terutama ketuanya yang tertinggi. Apa pun hasrat petinggi, dengan bagaimana pun jalannya mesti, mestilah terealisasi. Dan dalam menjalankan tupoksi, mereka kadang harus mengenakan seragam. Sementara tupoksi penyair adalah seperti yang ditulis Acep Zamzam Noor dengan antara lain satu puisinya yang bertajuk “Tugas Penyair”. Dan, baik dengan puisi tersebut maupun dengan puisi-puisinya yang lainnya, Acep tak pernah mengatakan bahwa dalam bertugas penyair wajib berseragam.

 

Penyair demikian karena: Puisi menugaskanku untuk selalu siaga/ Mengamati setiap gerak angin dan getar udara/ Yang sering kali tak pernah tersimak telinga//Puisi menugaskanku untuk selalu terjaga / Memaknai setiap putik daun dan bulir embun / Yang terkadang luput dari tangkapan mata // Puisi menugaskanku untuk selalu peka / Mendengar kata-kata yang tak diucapkan mulut / Namun getarannya langsung menembus dada.

 

Begitu usai membaca puisi tersebut, mungkin ada politisi yang langsung buka mulut. “Wah! Tugas seperti itu sih enteng banget. Tapi itu apa? Apa faedahnya untuk masyarakat? Apa faedahnya untuk bangsa? Apa faedahnya untuk negara? Masyarakat kita ini, bangsa kita ini, negara kita ini, butuh tindakan nyata, nyata senyata-nyatanya, bukan cuma kata-kata.”

 

Kata-kata, tentu saja, bukan cuma. Terlebih lagi kata-kata penyair. Lagi pula, penyair tak pernah berkampanye dengan royal mengobral kata-kata agar terpilih menjadi penyair seperti halnya politisi kalau mau terpilih menjadi anggota parlemen, atau kepala daerah, atau kepala negara. Dalam berkata, yang kemudian menjadikan kata-katanya bukan cuma, penyair selalu mengerahkan segenap daya jiwa-raganya. Mengerahkannya demi menelisik berbagai segi kata dengan ketelitian seorang pandai emas.

 

Ada memang yang pernah melakukannya. Misalnya, Pablo Neruda. Tapi, kala menerima pencalonannya sebagai presiden Chili pada 30 September 1969, dalam pidatonya, Neruda melontar, “Aku tak pernah menganggap hidupku terbagi antara puisi dan politik.” Kecuali itu, ia pun menyatakan, “Aku tak pernah bersama mereka yang berkuasa dan selalu merasa bahwa panggilan dan tugasku adalah melayani rakyat Chili dalam tindakan dan dengan puisiku. Aku telah hidup bernyanyi dan membela mereka.”

 

Berdasarkan itu, seperti disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan Paris Review, tim suksesnya menyusun program kampanye. Pada bagiannya, ia berbicara jauh lebih bebas dengan warga; “itu lebih puitis. Aku hampir selalu menyelesaikannya dengan membaca puisi. Jika aku tak membaca puisi, orang-orang akan pergi dengan kecewa. Tentu saja, mereka pun ingin mendengar pemikiran politikku, tapi aku tak terlalu memaksakan aspek politik atau ekonomi sebab orang juga membutuhkan bahasa lain.”

 

Bahasa Lain

 

Acep tak pernah menjadi anggota partai komunis, apalagi menjadi Stalinis, seperti Neruda. Ia jadi tak mesti mengalami retaknya persahabatan bertahun-tahun dengan Octavio Paz. Seingat saya, Acep hanya pernah bersama sejumlah kawan-kawannya di Tasik separuh berkelakar mendirikan Partai Nurul Sembako. Saya tidak tahu apa sebenarnya yang mendorong pendirian partai yang nyata-nyata berbeda dengan partai-partai politik tersebut. Yang jelas, seperti Neruda, Acep terus memandang bahasa lain sebagai hal yang penting dan relevan.

 

Memang saya tak pernah membaca atau mendengar Acep melontar pernyataan mengenai hal tersebut sebagaimana Neruda. Namun, “Tugas Penyair”, misalnya, antara lain merupakan upaya melahirkan bahasa lain itu, bahasa yang mangkus, sangkil, presisi, dan membangkitkan daya hidup, yang sekaligus menjadikan teks, meminjam perkataan Neruda, “adalah sebuah tindakan, sekelebat atau khidmat, di mana kesunyian dan solidaritas, aksi dan emosi, kedekatan kepada diri sendiri, kepada umat manusia, dan kepada manifestasi tersembunyi alam masuk ke dalamnya sebagai rekan yang sederajat.”

 

Menjadi begitu karena sang penyair “selalu siaga / Mengamati setiap gerak angin dan getar udara”, sang penyair “selalu terjaga / Memaknai setiap putik daun dan bulir embun”. Gerak angin dan getar udara selalu bertaut dengan cuaca dan iklim. Dan, kita sama paham, cuaca dan iklim senantiasa bertemali dengan pertalian jejaring sosiokultural dan jejaring natural. Maka “selalu siaga / Mengamati setiap gerak angin dan getar udara” itu dapat bermakna selalu terbuka terhadap pertalian keluasan, kedalaman, dan kompleksitas alam manusia dan alam raya.

 

Di dalam tradisi Indian Navajo di Amerika Utara, betapa luhurnya gerak angin dan udara itu lebih jelas lagi. Frank Stewart mencatat bahwa “angin bukan sesuatu atau suatu benda, tapi suatu proses. Mereka mempunyai sebuah istilah yang bisa kita terjemahkan sebagai Windway, ‘Gerak Angin’, yang mengacu kepada satu sistem kepercayaan yang beralas kepada beberapa prinsip:

1.Cara berpikir atau berperilaku akan amat dipengaruhi oleh kekuatan alam yang mengalir ke dalam dan keluar diri kita dan berada di seputar kita serta tidak ditentukan oleh sesuatu yang berada di dalam saja atau di luar saja.

2.Setiap manusia dapat secara langsung dan intim bersentuhan dengan kekuatan alam tersebut, dengan sendirinya, tanpa memerlukan perantara.

3.Moralitas dijaga dengan memelihara hubungan dengan karakter moral alam semesta, yang dibawakan angin dan udara yang kita hirup.

 

Bagi masyarakat Navajo, angin membuat komunikasi menjadi mungkin: antara bumi dan langit, gunung dan lautan, manusia dan manusia. Semua bercakap lantaran angin. Kata adalah kekuatan. Kata membentuk dan dibentuk Gerak Angin yang sakral dan tak diucapkan atau dipergunakan sembarangan.

Tentang udara, dalam bukunya The Spell of the Sensuous, David Abraham mengungkap ”bahwa udara melingkupi setiap mahluk hidup setiap saat, mengisi mereka dengan napas, menciptakan cuaca, menerbangkan burung-burung dan awan, dan sebagainya.”

 

Maka “masyarakat Navajo menganggap bahwa udara menjadi bagian diri kita bersama-sama—tidak ada “udaramu” dan “udaraku”, namun atmosfer global yang terus dihirup dan diembuskan di mana pun oleh setiap mahluk.”

 

Begitu pula halnya dengan “selalu terjaga / Memaknai setiap putik daun dan bulir embun”. Putik daun dan bulir embun selalu berhubungan dengan matahari, bulan, bintang-bintang, awan, angin, hujan, gunung, bukit, hutan, rawa, sungai, danau, laut, pesisir, ranting-ranting, dahan-dahan, batang-batang, akar, lumut, jamur, tanah, bebatuan, air tanah, dan lain-lain lagi. “selalu terjaga / Memaknai setiap putik daun dan bulir embun” berarti selalu terbuka terhadap semua itu, selalu menghormati mereka sebagai organisme hidup atau bahkan mahluk, selalu mengundang mereka masuk, mengundang mereka genah dan leluasa bertutur mengisahkan keberadaan mereka serta keterjalinan mereka satu dengan lainnya.

 

Keterlatihan mempraktikan itu menjadikan sang penyair kian memiliki Telinga dengan T kapital. Sang penyair menjadi (kian) berkemampuan untuk menjalankan tugas lain dari puisi, “untuk selalu peka / Mendengar kata-kata yang tak yang diucapkan mulut”. Ia menjadi piawai menyelinap ke sebalik kata, ke ceruk terdalam bahasa, yang karenanya jantungnya terpompa, darahnya bergolak meluap, dadanya menjadi sebagai dinding bergetar diguncang gempa.

 

Sang penyair pun lantas menjadi seperti Musashi ketika bertarung; berhenti berpikir.Seperti pedang sang maestro yang bergerak begitu saja, kata-kata sang penyair menyeruak begitu saja dan membentuk formasi dengan sendirinya. Formasinya mencipta makna bukan saja mengandalkan arti, tapi pun imaji visual, ritme, dan ruang kosong, ruang yang memanusiakan pembaca.

 

Namun Musashi tak dengan sendirinya dapat bermain pedang begitu. Tak dengan sendirinya ia dapat menakar kemampuan bermain pedang orang dari tebasan tangkai bunga peoni yang ditemukan secara kebetulan di beranda sebuah penginapan, aliran air selokan, rerumputan, tanaman hias, dan bunga-bunga di taman. Ia mencapainya berkat latihan yang disiplin dan tekun dan selama puluhan tahun. Hal ini menjadi bisa dipraktikannya karena bahunya mau menanggung beban yang merupakan risiko hidup memilih menempuh jalan pedang.

 

Acep memang tak pernah kita lihat keluyuran dengan pedang panjang menyilang di punggunya dan pedang pendek terselip di pinggangnya. Namun, dalam satu kesempatan perbincangan kami puluhan tahun lalu, ia berkata sambil senyum-senyum, “Untuk menjadi penyair, kita perlu sabar, tekun, dan terampil menggosok batu akik.”

 

Saya meledak tertawa. Acep begitu pula. Tapi tawa kami beberapa kejap belaka. Kami lekas kembali masuk ke dalam perbincangan perihal puisi.

 

Menjadi tidak mengherankan jika Beni Setia menulis satu puisi tentang Acep, yang terbit pertama di Koran Tempo, 23 Januari 2022, yang menggambarkan bahwa perbincangannya dengan Acep selalu saja berkisar seputar puisi. Menjadi tak mengherankan pula jika keterampilan berpuisi Acep terus meningkat dan perbendaharaan katanya terus bertambah sehingga bermunculan diksi baru pada cukup banyak puisi yang terbilang barunya seperti yang dikumpulkan dalam Gema Tanpa Sahutan.

 

Gema Tanpa Sahutan

 

Dibangun oleh “Tak Kunjung Sampai”, “Terdengar dari Jauh”, dan “Gema Tanpa Sahutan”, yang berturut-turut terdiri dari 21 puisi, 25 puisi, dan 30 puisi, Gema Tanpa Sahutan tak mengesankan terobsesi oleh orisinalitas. Puisi-puisi di dalamnya tak terbaca serupa kawanan memburu apa yang umum diburu oleh banyak penyair. Menemukan dan mencapai kedalaman sedalam-dalamnya tampak lebih utama bagi Acep ketimbang beroleh label orisinal. Mungkin Acep sehaluan dengan Neruda, yang memandang, “Mencari orisinalitas dengan segala cara adalah kondisi modern. Di zaman kita, penulis ingin menarik perhatian pada dirinya sendiri, dan keasyikan yang dangkal ini mengambil karakteristik fetishistik. Setiap orang mencoba menemukan jalan di mana ia akan menonjol, bukan untuk kedalaman atau penemuan, tapi untuk pemaksaan keragaman khusus.”

 

Diksi-diksinya yang baru, yang antara lain berasal dari ranah teori linguistic, biologi, kimia, dan pariwisata, serta pengolahan atau pengembangan dua jenis puisi klasik Jepang, yakni haiku dan tanka, misalnya, sama sekali tak mengesankan terbit dari hasratnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai penyair yang orisinal.

 

Haiku, satu jenis puisi yang mulai tumbuh pada pertengahan abad ke-17 di Jepang, pertama, terdiri dari tiga baris dengan tujuh belas suku kata serta dengan penanda musim (kigo) dan sentakan baris akhir (kireji); kedua, lebih mengutamakan peran kata dalam membangkitkan imaji visual, ketimbang musikalitasnya. Musikalitas kata pada haiku bahkan boleh dikata dihalalkan untuk tak dipedulikan.

 

Acep, dugaan saya, paham itu. Namun, ini pun dugaan saya, ia percaya, dan terbukti benar setidaknya untuk saya, bahwa haiku akan lebih merengkuh dan pengkuh kalau juga bertiang ritme yang sesuai dengan permintaan dunia yang (hendak) dibangunnya.

 

Kecuali itu, Acep juga mencoba memungkinkan haiku menjadi dua, tiga, atau beberapa bait puisi. Percobaan ini dilakukannya bukan berdasarkan pemahaman akan cangkang haiku belaka, melainkan juga dengan dasar filosofinya yang tampaknya dihayati benar olehnya.

 

Jadilah, hampir semua percobaannya dengan haiku di Gema Tanpa Sahutan menjadi terus bergema dan saling bersahutan di bilik ingatan saya. Salah satunya ini:

 

LEWAT

 

Surya meredup

Kabut mengurung bukit

Langkah terhenti

 

Ke balik mega

Surya undur sesaat

Keranda lewat

 

2020

 

Jika dua bait itu dilepas dan judulnya dibuang, keduanya menjadi dua haiku. Dan keduanya bukan saja memenuhi syarat formal haiku klasik: 5-7-5 suku kata, mengandung kigo (Surya meredup, Surya undur), dan baris ketiga keduanya sama-sama tak terduga tetapi berterima (kireji). Keduanya pun menjadi dua puisi alit yang menggambarkan dua lanskap yang menyihir dengan pesonanya sendiri-sendiri. Suasana keduanya berdekatan. Senyap. Samar. Muram. Dan keduanya dengan amat kuat memungkinkan kita, pembaca, terenggut dari hiruk-pikuk keseharian yang mengasingkan, memungkin kita, pembaca, sendiri-sendiri masuk ke dalam kedirian masing-masing, kedirian yang terhubung dengan ruang, kedirian yang terhubung dengan waktu. Kita pun menjadi bukan lagi alien yang terlempar ke dalam penjara kesepian eksistensial di tengah bising keramaian. Kita, sendiri-sendiri, tetiba menjadi seseorang yang meruang-mewaktu. Kita, sendiri-sendiri, tetiba terlahir kembali menjadi manusia baru. Manusia yang menginsyafi bahwa keberadaannya terkoneksi dengan keberadaan-keberadaan lain. Manusia yang menginsyafi bahwa keberadaannya merupakan bagian dari jalinan yang rapuh, fana.

 

Ketika digabung, dua haiku yang suasananya berdekatan tersebut menjadi dua bait puisi yang menggambarkan lanskap yang lain lagi. Suasananya pun lain lagi meskipun dapat dirasakan tak begitu jauh berbeda. Kemungkinan makna-maknanya begitu pula. Haiku pertama menjadi bait awal yang membawa masuk ke haiku kedua yang telah malih menjadi bait selanjutnya, yang keduanya bertautan membangun ruang-waktu di mana Anda bias jadi mengalami proses yang eksistensial.

 

Coba sejenak Anda bayangkan pasosore Anda tengah berjalan-jalan sendirian menyusuri jalan setapak di perbukitan. Anda berjalan-jalan sendirian dengan ayunan langkah pelan, dengan, meminjam ungkapan biksu-penyair Thic Nhat Han, telapak kaki seakan-akan mencium bumi. Ketika demikian, apa yang tengah memesona pandang Anda tetiba bersalin warna dan rupa. Anda pun tengadah. “Surya meredup / Kabut mengurung bukit”. Langkah Anda pun terhenti.

 

Ke balik mega / Surya undur sesaat. Ke setiap pori-pori Anda, tetiba terasakan dingin perbukitan merasuki. Dan, di jauhan, tetiba terlihat “keranda lewat”. Muringkak.

 

Saya berani menduga, Anda yang sendirian di jalan setapak akan muringkak melihat keranda lewat. Anda menahan napas. Anda mengarca. Anda sangat mungkin lantas merasakan hubungan antara Anda dengan keranda, hubungan antara keberadaan Anda dengan kematian, dan apa konsekuensinya bagi hidup Anda setelah merasakan adanya hubungan antara Anda dan ajal.

 

Itu satu kemungkinan saja yang dapat dibangkitkan oleh “Lewat”. Masih amat mungkin ada kemungkinan-kemungkinan pengalaman lain lagi yang dapat dibangkitkan olehnya. Puisi yang berhasil serupa hutan perawan nan penuh kemungkinan makna.

 

Begitulah pula dengan “Pelupuh Bambu”. Kalau “Lewat” dibangun oleh dua haiku, “Pelupuh Bambu” dibangun oleh dua tanka. Sama-sama puisi Jepang pertengahan abad ke-17, tanka adalah haiku dengan tambahan dua baris dengan masing-masing baris terdiri dari tujuh suku kata. Ruang ucap tanka dengan sendirinya lebih luas daripada haiku. Namun, kelahiran keduanya sama-sama mensyaratkan, seperti disampaikan D.T. Suzuki dalam buku Zen and Psychoanlysis, “penyair alam”, penyair yang “sedemikian mencintai alam”, yang “merasakan setiap denyut urat-nadi alam.”

 

Neruda pun seorang penyair yang mencintai alam.  “Sejak masa kanak-kanak, aku memelihara kasih sayang kepada burung, kerang, hutan, dan tumbuhan,” kata penyair pemenang Nobel Sastra tahun 1971 ini. “Aku tidak bisa hidup terpisah dari alam. Aku suka hotel selama beberapa hari; aku suka pesawat selama satu jam; tapi aku senang di hutan, di atas pasir, atau berlayar, bersentuhan langsung dengan api, tanah, air, udara.”

 

Namun Neruda berbeda dengan Matsuo Basho. Neruda memandang alam sebagai ekosistem yang ada dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Basho, yang diakui sebagai sang penemu dan sang maestro haiku, memandang alam sebagai ciptaan. Keberadaannya dengan sendirinya, di mata Basho, tidaklah ditentukan hanya oleh bagaimana jalinannya, tapi terutama oleh kehendak sang penciptanya.

 

Dalam hal hubungannya dengan alam, hemat saya, Acep ada di antara Neruda dan Basho. Kesamaan atau kedekatannya dengan Neruda terletak pada kerap keduanya menggambarkan alam dengan erotis. “Dalam Setiap Hari Kau Bermain”, misalnya, Neruda menulis : … Kata-kataku menghujanimu, membelai-belaimu / Sedari dulu aku telah mencintai indung mutiara tubuhmu yang ditempa surya / Aku  mengembara jauh sekali tersebab aku menganggap bahwa kau sendiri jagat raya. / Aku membawakanmu bunga-bunga bahagia dari gunung-gunung, genta-genta biru, / pohon-pohon hazel yang gelap, dan sekeranjang tulen kecupan … Sementara Acep menulis “Kitab Rahasia”, yang begini lengkapnya:

Tubuhmu lereng gunung yang kudaki

Sepanjang malam. Hutan yang kusibak perlahan

Belantara yang semak-semaknya kumasuki diam-diam

Tubuhmu palung lautan yang kuselami sampai lubuk

Paling dalam. Kegelapan yang kuhayati setiap lekuknya

Bahkan embusan napasnya. Tubuhmu kitab rahasia

Yang hanya bisa kubaca dengan mata terpejam

 

2019

 

Tubuh, alam, sebagai “kitab rahasia” yang membacanya hanya dapat dilakukan “dengan mata terpejam, inilah, saya kira, salah satu tanda kedekatan Acep dengan Basho. Yang menghubungkan mereka dengan alam bukanlah intelek dan pikiran analitik, melainkan intuisi dan kerendahan hati. Dengan ini, kepada keduanya keagungan alam hadir. Begitupun kemahaagungan penciptanya. Kedekatan Acep dengan Basho bagi saya lebih terasa lagi pada “TIRTAGANGGA”:

Temaram senja

Daun-daun teratai

Katak di kolam

 

Kecipak air

Cahaya bulan lindap

Katak melompat

 

2020

 

Puisi tersebut, yang seperti “Lewat”, terbentuk oleh dua bait yang dapat dikata gabungan dua haiku, mengingatkan saya kepada satu haiku Basho yang paling terkenal di dunia, yang sudah sangat banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dengan beraneka ragam penerjemahannya, termasuk ke bahasa Indonesia, yang mula-mula diterjemahkan oleh Amir Hamzah, kemudian Hartojo Andangdjaja, kemudian ada sejumlah orang lagi. Haiku itu:

Kolam tua

Seekor katak lompat

Plung

 

Robert Aitken mendongeng bahwa haiku Basho itu lahir kala sang maestro semadi di tepi sebuah kolam tua di dalam hutan. Kala ia tengah menjadi kolam berlumut dengan sebagian tepiannya rusak itu, tetiba terdengar gema suara dari kolam. Di Jepang, katak adalah salah satu hewan kesayangan. Dan saat itu adalah senja di penghujung musim semi. Maka suara itu dipastikan suara katak saat melompat ke kolam. Haiku yang kemudian lahir dari momen tersebut ditandai sebagai  peningkatan pikiran Basho menjadi “kolam abadi, tak berujung, tenteram dan kuat — suatu kondisi yang akrab bagi murid Zen dewasa.” Ratusan haiku Basho setelah itu pun menjadi berbeda dengan ribuan haikunya sebelumnya, menjadi lebih dewasa.

 

Dongeng D.T. Suzuki lain lagi. Menurutnya, haiku itu lahir terkait sebuah perjalanan ziarah Basho pada dua belas tahun terakhir hidupnya. Ketika sang maestro menempuh jalan sunyi setapak hutan malam, tetiba terdengar suara. Kepekaannya yang sudah terasah, menjadikannya dapat mendeteksi suara apa itu. Meski demikian, sang maestro masih perlu mengkonfirmasi pendeteksiannya. Ia melangkah ke arah dari mana suara itu dating. Ketika menemukan kolam tua yang tepianya dipenuhi semak, rerumputan dan lumut, ia mengamatinya dengan cermat, dengan sepenuh dirinya, yang berarti segenap pikirannya terjun merenangi dan menyelami kolam. Dan kolam tua pun kemudian mengalir masuk ke dalam batin Basho, mengisahkan bagaimana keberadaan dirnya, sehingga dari Basho pun kemudian meluaplah haikunya yang paling tersohor itu.

 

Aitken dan Suzuki memang terang tampak berbeda. Namun ada juga kesamaannya. Keduanya sama-sama memandang tingginya kepekaan panca indra, jiwa, dan batin Basho. Pencapaian ini tergambarkan oleh perkataan Yamada Koun Roshi dalam satu ceramah pertamanya di Hawai’i, “Ketika kesadaran Anda telah matang dalam zazen sejati — murni seperti air jernih, seperti danau gunung yang tenang, tidak tergerak oleh angin apa pun — maka apa pun dapat berfungsi sebagai a media untuk realisasi.”

 

Pilihan mudik dari Bandung ke Cipasung, dan terus melakoni pola hidup yang mengkadimi jalan penyair lirik, saya duga, telah mengantar Acep mencapai fase Basho dengan katak dan kolam tua itu. Hal ini antara lain terlihat juga dari keberhasilannya mengembangkan dan menggabungkan dua tanka menjadi puisi spiritual dua bait yang merasuk jauh ke lubuk batin dan bergema panjang seperti:

 

PELUPUH BAMBU

 

Bunyi seruling

Dari luar jendela

Menyayat pilu

Luka tak terobati

Berat menahan rindu

 

Sayup kerinding

Angin bertiup pelan

Udara dingin

Kuletakan keningku

Pada pelupuh bambu

 

2020

 

Setahu saya, Acep mungkin baru sekitar sepuluh tahun terakhir mengkadimi haiku dan tanka. Namun, ia sudah puluhan tahun menyuntuki puisi lirik, satu jenis puisi yang mensyaratkan kedekatan dengan, atau merupakan konsekuensi dari kecintaan kepada, alam. Maka, semenjak itu, agaknya terjadi dalam dirinya hubungan simbiosis antara etos penciptaan puisi lirik dengan etos penciptaan haiku dan tanka. Inilah, barangkali, yang menjadikan bahkan puisi-puisinya yang tipografinya prosais pun, seperti “Kehilangan Jejak”, “Tak Kunjung Sampai”, “Jatuh Cinta” dan “Warna Surga”, tetap terbaca sebagai anak-anak yang lahir dari perkawinan puisi lirik dan haiku.

 

Perkawinan itu sendiri, hemat saya, bukanlah karena semacam puber kedua. Bukan lantaran hasrat memburu perolehan label menciptakan pengucapan baru misalnya. Atau disanjung sebagai penyair orisinal. Perkawinan itu agaknya terjadi secara alami. Terjadi sebagai konsekuensi dari perjalanan Acep sendiri yang bertolak dari pandangan bahwa ia hidup di dalam dan bersama alam, yang di matanya adalah “kitab semesta”, yang selalu saja tak kunjung penuh terbaca, yang selalu saja terbungkus kabut, yang selalu saja remang-remang, sehingga terkadang ia mengucap “betapa tak berarti kata-kata”.

 

Namun tak seorang pun akan dapat hidup di luar kata. Di dalam pagina kitab Injil tertera, “Pada mulanya adalah kata.”

 

Dan penyair Subagio Sastrowardoyo pun menulis:

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

Ruang kosong dan angin pagi

 

Maka, ketika betapa tidak berarti kata-kata, masalah tentulah tidak terletak di kata, melainkan pada pada cara orang berkata. Hal ini, saya yakin, diinsyafi benar oleh Acep. Ia pun berbeda dengan Subagio. Baginya, “ruang kosong” dan “angin pagi” pun bermakna. Bermakna untuk terus menjalankan tugas dari puisi, yang tampaknya telah diterimanya sebagai tugas hidupnya.

 

Penerimaan tersebut mungkin dilandasi keyakinanya bahwa itu dapat membantunya terus berkeras mengaji “Kitab Semesta”, sehingga ia dapat terus menulis dengan tinta “embun pagi”, meninggalkan “kata”, menjadi “Sepi melesat tinggi / Menjelma doa” (Metamorfosa, 2020).

 

Ketika demikian, puisinya menjadi lap bersih yang membersihkan debu keseharian yang melumuri kata-kata seperti diucapkan seorang penyair Belanda. Atau seperti perkataan Pesiden John F. Kennedy saat memperingati kematian penyair Robert Frost, “Kala kekuasaan membawa manusia pada keangkuhan, puisi mengingatkannya akan keterbatasannya. Kala kekuasaan menyempitkan area perhatian manusia, puisi mengingatkannya akan kekayaan dan keragaman keberadaannya. Kala kekuasaan merusak, puisi membersihkan, karena seni menetapkan kebenaran dasar manusia yang harus berfungsi sebagai batu ujian penilaian kita. Para seniman, betapa pun setia pada visi realitas pribadinya, menjadi juara terakhir dari pikiran dan kepekaan individu melawan masyarakat yang mengganggu dan negara yang berkuasa. Seniman hebat dengan begitu adalah sosok yang menyendiri. Ia, seperti dikata Frost, “pertengkaran kekasih dengan dunia.” Dalam mengejar persepsinya ihwal realitas, ia harus acap berlayar melawan arus zamannya. Ini bukan peran populer. Jika Robert Frost amat dihormati selama hidupnya, itu karena banyak yang lebih suka mengabaikan kebenarannya yang lebih kelam. Padahal, jika direnungkan lagi, kita melihat bagaimana kesetiaan seniman telah memperkokoh sendi kehidupan berbangsa kita.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *