Saat Kuingin Waktu Berpihak Padaku

6 min read

ImageKETIKA mendengar suara itu, semua peristiwa kembali terkuak jelas dalam ingatanku. Arti dari semua yang pernah kulakukan selama dua puluh empat tahun hidupku. Dan ternyata, hasilnya tidak pernah selalu sempurna, tidak pernah selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan tanpa kusadari,

Waktuku mungkin sudah hampir habis.Waktu terus-terusan menertawaiku saat aku pertama kali belajar mengeja. Aku menjadi sangat kesal. Aku berlari keluar kamar dan melaporkan semua tingkah laku Waktu yang tak pernah mau berpihak padaku kepada ibu. Ibuku sayang,… ia hanya membelai kepalaku dengan lembut.”Nak, belajarlah menghargai Waktu,”

Yang kuingat, sejak aku lahir, waktu selalu menjadikan aku sebagai bulan-bulanannya. Memaksaku untuk terus menggenjot seluruh daya upaya untuk bisa menaklukannya. Benar,…! Kenapa, ya, akhirnya Waktulah yang selalu keluar sebagai pemenang. Ibu mengajarkan satu tips padaku, “Waktu itu bukan mainan, nak. Ia hanya akan berpihak padamu jika kamu mau berpihak padanya. Buatlah ia menjadi sesuatu yang serius dan jadi perhatian kamu di mana pun kamu berada.”

Perhatian? Apakah aku harus terus-teruskan mencurahkan perhatianku pada sesuatu yang bahkan tidak bisa  kita jangkau dan rasakan?

“Bu, tapi aku tidak bisa menjangkaunya! Bagaimana bisa aku memperlakukannya seperti yang Ibu maksudkan?”

Ibu tersenyum. Samar-samar aku tahu Waktu kembali menertawaiku di belakang punggungnya . Aku hanya bisa merengut.

Rasanya aku ingin mengusir Waktu sejauh-jauhnya dari tempat ku duduk. Aku hanya ingin sendirian! Kenapa ia selalu mengikutiku?

Tadi saat sarapan,  Waktu memburuku sampai-sampai aku tersedak dan batuk-batuk dengan hebat. Seluruh keluargaku tertawa. Ayah, ibu, kakak,… Ayah menepuk-nepuk punggungku dan menyuruhku minum air putih yang banyak. Setelah itu ayah tiba-tiba mengajak kami semua untuk piknik di dekat danau di pinggir kota. Sebenarnya hari itu bisa menjadi hari yang indah, tapi Waktu tidak membiarkanku untuk bersantai walau sejenak. Tahu-tahu ayah menyuruhku untuk menaiki sepeda roda duaku yang baru dibeli saat hari ulang tahunku yang  ke-5 dua hari yang lalu.

“ Ayo, sayang…! Lihat sudah umur berapa kamu sekarang. Masa belum bisa naik sepeda? Malu dong sama kakak-kakakmu yang lain!”

Aku merutuk dalam hati. Jadi lagi-lagi karena Waktu berlalu cepat untukku dan tidak memberiku kesempatan untuk sekedar belajar naik sepeda hal itu menjadi kesalahanku? Terus kenapa saudaraku yang lain sudah bisa naik sepeda di usia mereka yang baru tiga tahun?Apa ini yang namanya keadilan?

Aku terjatuh dari sepedaku untuk yang ketiga kalinya. Jatuh dan jatuh lagi. Kakiku langsung terluka di mana-mana. Tapi aku tidak mau berhenti. Aku tak ingin Waktu memamerkan senyum kemenangan itu di hadapanku sekali lagi.

Kelas sekarang sunyi. Meninggalkanku sendiri bersama Waktu yang melirik malas dari tempatnya. Ia bahkan sama sekali tidak beranjak. Diedarkannya pandangannya sebelum akhirnya ia berjalan mondar-mandir di sekelilingku, makin lama makin cepat.

“Hal apa yang paling kamu benci di dunia ini, Airin?”

“Waktu, Pak.”

Seisi kelas menatapku seakan aku seharusnya tidak berada di sana. Hening sesaat. Memang, butuh waktu bagi otak kecil mereka untuk mencerna arti dari jawabanku barusan. Tapi itu hal yang tidak perlu. Justru dengan itu Waktu akan semakin senang. Tahukah kau, semakin banyak manusia yang tidak sadar akan kehadirannya, ia akan semakin gembira.

Guru matematikaku mengerutkan dahi. Tawa pun terdengar dari seluruh penjuru.

“Apa maksudmu, Airin?”     

“Ya,… maksud saya, Waktu itu benar-benar mengesalkan! Ia selalu diam-diam meninggalkan kita tanpa peringatan lebih dahulu. Karena dialah, manusia makin lama semakin tua, semakin lemah. Waktu juga yang membuat kita selalu merasa kehabisan waktu. Rasanya hidup ini tidak pernah bisa terkendali jika tidak ada dia. Tapi karena Waktu juga hidup kita jadi serasa tidak terkendali.”

“Karena ada waktu, makanya ada penyesalan. Manusia selalu merasa sedih karena tidak pernah bisa memanfaatkan Waktunya dengan sebaik-baiknya. Manusia selalu ingin bisa memiliki Waktu. Tapi sebenarnya Waktulah yang menguasai mereka.”

Aku menarik nafas. Seisi kelas sekarang hening. Sunyi seperti kuburan.

“Yang saya heran, kenapa hanya sedikit sekali orang yang bisa menaklukan Waktunya. Membuatnya menjadi bagian dari diri mereka dan pada akhirnya membawa mereka pada satu masa dimana Waktu tidak ada. Dan mereka tidak pernah menyesal karenanya.”

Tak kurasakan lagi butir-butir keringat yang membasahi keningku. Soal-soal ujian di depan mataku seperti meledekku. Lihat tuh, jam di tangan kamu. Beberapa menit lagi kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi, Airin.

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sangat gatal. Perasaanku campur aduk. Ini adalah ujian penting yang akan menentukan nasibku selanjutnya di universitas. Tapi kenapa Waktu lagi-lagi tidak berpihak padaku? Kenapa, sih?

Aku baru saja mulai memohon-mohon pada Waktu yang berdiri mematung di depanku -berpura-pura tidak mendengar- ketika pengawas ujian berkata dengan dinginnya,

“Ya, kumpulkan hasil ujian kalian. Waktunya telah habis.”

Saat itu entah kenapa aku langsung mengamuk dan menyerang pengawas ujian sampai aku dihukum tidak boleh mengikuti ujian sisa sampai aku benar-benar bisa menerima kenyataan kalau Waktu memang tidak pernah mau peduli padaku. Entah.

Waktu terus berlalu seperti debar jantungku yang syukurnya masih berdetak sampai sekarang. Dan hidupku masih seperti ini. Orang-orang di kantor sekarang menjauhiku dan menganggapku gila (itu pun sebenarnya sudah berlangsung sejak aku lulus SMP). Aku hanya bisa tertawa. Menertawai hidup. Ternyata tak begitu jelek. Realisasi dari kepahitan demi kepahitan yang kini tertanam dalam-dalam di hati.

Mungkin ini adalah batas kesabaranku yang terakhir. Aku sudah memutuskan. Aku akan berhenti memperhatikannya. Berhenti menganggapnya ada. Selama ini sudah cukup aku menderita, hidup dalam ketidakpastian. Ketika semua teman-temanku bersenang-senang, aku sibuk belajar. Dan hasilnya,… kamu bisa tebak. Mereka selalu lebih unggul dariku.  Aku bersusah payah menghabiskan Waktuku yang berharga dengan mondar-mandir ke seluruh penjuru kota untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi ada orang yang tinggal ongkang-ongkang kaki jadi direktur hanya karena ayahnya pemilik perusahaan. Kutabung uangku selama bertahun-tahun hanya untuk dapat membeli sebuah motor untuk mengganti motor ayah yang sudah usang yang dibelinya sejak aku belum lahir. Tapi dalam waktu kurang dari beberapa jam, uang itu raib tak ketahuan nasibnya. Mungkin sekarang sudah menjelma jadi barang berwujud lain di tangan pemiliknya yang baru. Siapa tahu?

Jadi kenapa aku tidak boleh menyatakan perang dengan Waktu?

Aku meraih tasku yang kosong dan keluar dari sebuah rumah kontrakan sederhana di ujung gang sempit yang mengingatkanku pada lebar gerobak tukang bakso yang sering lewat kalau Minggu sore. Mangnya harus bekerja keras untuk membawa gerobaknya keluar masuk melewati gang itu. Tapi ia memang pantang menyerah.

“Mang, itu hanya buang-buang waktu.”ujarku suatu saat.

Mang yang sering dipanggil Mang Ujang oleh warga setempat sedang berusaha menjejalkan gerobaknya untuk keluar dari ujung gang. Ia bisa menghabiskan waktu setengah jam tiap kali lewat situ, dan itu semua cuma karena untuk memperoleh uang yang tidak seberapa bagi anak dan istrinya. Tapi ia malah balas menatapku ramah, memamerkan kebersahajaannya yang tidak mungkin kulupakan.

“Neng, keberhasilan itu bukanlah segalanya, tapi perjuangan untuk sebuah keberhasilan adalah segala-galanya. Mang ga pernah merasa keberatan kok dengan semua ini. Toh ini belum seberapa. Mang dan keluarga Mang bisa makan tiga kali sehari saja sudah syukur,… yang namanya
rezeki itu di tangan Tuhan kan, Neng.”

Tuhan, dan makhluk ciptaan-Nya yang bernama Waktu. Kapan aku terakhir kali mengingat-Nya?

Sudah hampir seminggu yang lalu surat itu mampir di bawah pintu rumah kontrakan. Dan entah kesibukan apa yang bisa-bisanya membuatku baru membacanya sekarang. Ibu sakit. Sudah berapa lama? Ah, aku lupa! Katanya ibu menderita kanker leher rahim, dengan kemungkinan hidup yang sudah menipis. Aku merinding saat membacanya. Apakah dalam waktu dekat Waktu ibuku akan dicabut?

Stasiun begitu ramai. Setelah sekian lama perang dingin antara aku dan Waktuku berlangsung, sekarang malah aku harus main kejar-kejaran dengannya. Lebih dari itu, aku bahkan melihatnya di mana-mana. Di atas uang kembalian pedagang air minum, di keranjang gendong mbo’-mbo’ jamu, melayang-layang dari asap pembuangan kereta yang lewat, bertengger di gagang kaca mata eksekutif muda, dia ada di mana-mana…!

Rasanya hand phone-ku berbunyi. Aku sibuk mencarinya dengan mata meleng ke segala arah. Sudah tiga jam aku mengantri karcis. Otot-otot kakiku mungkin memang sudah selayaknya mengajukan protes keras. Waktu pun mau tak mau mengantuk pada detik-detik terakhir yang menentukan itu.

“Dek, ibu sudah koma. Sekarang kami semua berharap kamu bisa datang secepatnya. Beliau ingin sekali bertemu kamu. Dokter bilang waktu ibu tinggal sebentar lagi ! Tolong, Dek! Kamu sekarang ada di mana? Kapan sampai di rumah sakit?”

Air mataku meleleh tanpa bisa kuhentikan. Apakah ini puncakdari segalanya? Permusuhanku dengan Waktu, apakah ia bermaksud membalasku dengan cara sekejam ini?

“Dek, Dek,…!” Suara kakak tertuaku makin lama makin mengusik pikiranku.

“Eng,… Kak, aku pasti akan segera ke sana. Sekarang aku masih di stasiun. Kakak tenang aja. Sekarang Kakak harus berbuat apa saja  untuk menahan Waktu ibu. Tahan ia supaya jangan pergi dulu. …, ya?”

Kakakku tak menjawab. Sepertinya ia malah tambah bingung dengan tanggapanku.

Aku menarik nafas tertahan.

“..Serahkan saja semuanya pada Yang Di Atas, ya, Kak?”

Aku memutuskan hubungan. Tubuhku seketika seperti terbujur kaku. Aku memang munafik. Setelah berseteru dengan Waktuku sendiri, sekarang aku mencoba berkomplot dengan Penciptanya. Baru sadar kalau  ternyata Waktu itu hanya sekedar menjalankan perintah. Ia sama sekali tidak bertanggung jawab dengan setiap kemalangan yang menimpa setiap manusia. Waktu hanya sebgai tetapan. Tetapan dari yang Maha Menetapkan.

Hari itu, hari di mana aku melakukan sesuatu yang hampir mustahil aku lakukan. Berdamai dengan Waktu. Tapi ini berbeda. Aku tidak hanya berdamai dengan Waktu, tapi juga berdamai dengan Pencipta Waktu. Hari itu akan selalu kukenang, bahkan kalau aku sudah mati dan berpisah dengan Waktu. Ternyata Waktu memang penuh dengan kejutan. Ia berpisah dengan ibu hanya beberapa menit sebelum aku memandang ibu untuk  yang terakhir kalinya.

Tapi aku tidak sedih. Tidak, kok… aku hanya menyesal. Aku menyesal karena tidak bisa mengatakan kepada ibuku kalau akhirnya aku mengerti apa yang dulu selalu ia maksud. Dulu,  saat aku akan tidur, ibu akan membacakan sebuah cerita. Tapi bukan cerita anak-anak atau dongeng seribu satu malam, ibu malah menceritakan dirinya padaku. Betapa dulu ibuku telah menyia-nyiakan separuh hidupnya dengan menyia-nyiakan Waktu yang ia punya, seperti manusia pada umumnya. Dan betapa ia tak pernah bahagia karena hal tersebut.

“Ibu punya satu pesan buatmu, Rin.” Terdengar sayup-sayup suara ayahku saat di pemakaman. “Jangan pernah berpikir waktu berpihak padamu, sebelum kamu berpihak padanya.”

Aku tersenyumlemah. Bahkan sampai saat terakhirnya ibu tetap saja mengingatkanku akan Waktu.

Setelah adzan menghilang, aku bersiap-siap ke mesjid. Waktu nostalgiaku telah habis. Sudah beberapa bulan sejak Ibu berpisah dengan Waktunya. Aku masih sering berhubungan dengan keluargaku di suatu tempat nun jauh di sana, walau tidak begitu sering. Tapi itu semua sudah cukup. Inilah bulan-bulan paling indah dalam hidupku. Ini sungguh-sungguh! Rasanya aku jadi begitu mencintai semua yang ada di sekelilingku, termasuk Dia dan Waktu, makhluk-Nya yang masih setia bercokol ke mana  pun aku pergi.

Kami benar-benar telah bersahabat sekarang…

Tapi tadi saat aku menyebrang, aku melihat ada anak kecil yang berjongkok di tengah jalan untuk mengambil topinya yang jatuh. Aku melihat  mobil itu, sih… tapi aku bermurah hati sedikit dengan membiarkan Waktu menaungi anak itu lebih lama lagi…

Sekarang mungkin aku dan Waktuku benar-benar telah berpisah. Namun jika ditanya nanti, akan kukatakan kalau aku akhirnya bisa membuat Waktu berpihak padaku. Tanpa harus ada penyesalan.

Teriring kalimat maaf untuk-Nya_
Juga untuk Mama
Di saat kita masih bisa tertawa bahagia tanpa
harus khawatir dengan sisa waktu yang kita punya.

Bandung, 1 Mei 2005

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *