SASTRA MASUK KURIKULUM
Dalam Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, di halaman 128—130, muncul pembicaraan kumpulan puisi Nyanyi Sunyi (1937) karya Amir Hamzah. Dinyatakan di sana, “Buku kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah dapat dibaca oleh anak usia sekolah dasar … Dengan membaca buku puisi ini juga dapat membuka imajinasi murid tentang cara menuturkan bentuk hubungan manusia dengan Tuhan.” Tetapi, ada unsur sadisme di sana: “Mangsa aku dalam cakarmu” dan “Jantung dilebur dalam jahanam.” Untuk Pendidikan Agama dan budi pekerti: “Puisi-puisi Amir Hamzah dalam buku ini bercerita tentang pemujaan terhadap Tuhan sehingga buku ini bisa digunakan sebagai buku pendamping dalam pembelajaran agama.”
Mohon pencerahan untuk menjawab pertanyaan berikut:
- Serius nih, “Nyanyi Sunyi dapat dibaca oleh anak usia sekolah dasar?”
- Gimana caranya: “buku ini bisa digunakan sebagai buku pendamping dalam pembelajaran agama?”
- Sadismenya di mana larik ini: “Mangsa aku dalam cakarmu” dan “Jantung dilebur dalam jahanam”?
Pertanyaan lain sebenarnya masih banyak. Untuk sementara cukup itu dulu.
PEMILIHAN BUKU SASTRA: SASTRA MASUK KURIKULUM
Pemilihan buku sastra untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra), memang bukan untuk membuat kanonisasi (sejarah sastra) atau seleksi karya unggulan. Sama sekali bukan untuk itu, melainkan untuk menawarkan kesesuaian, ketepatan, dan kemungkinan karya itu dimanfaatkan bagi pengembangan (i) kreativitas, (ii) apresiasi, dan (iii) wawasan siswa. Pertimbangan (i) keterbacaan, (ii) keterpahaman, dan (iii) kesesuaian dengan tingkat pengetahuan siswa dalam pemilihan buku sastra adalah aspek yang harus menjadi perhatian utama.
Dalam pemilihan buku sastra itu, ada kriteria penilaian dan argumen yang mendasarinya. Ketika kumpulan puisi J.E. Tatengkeng atau Amir Hamzah dipilih untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra) di sekolah dasar, pertanyaannya: sesuai nggak dengan tingkat keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian wawasan atau pengetahuan siswa SD? Sebagian besar guru sastra (di SD, SMP, SMA) saja banyak yang nggak mudeng, gimana nasib para siswanya? Misalnya lagi, novel Stasiun, Putu Wijaya yang peristiwanya dikembangkan lewat pikiran tokohtokohnya yang lalu dikenal sebagai teknik arus kesadaran (stream of consciousness), bagaimana menjelaskannya berkaitan dengan alur cerita jungkir balik yang menghancurkan logika formal dan hubungan sebab-akibat?
Saya kutip keterangan yang disampaikan di halaman 618 buku panduan: “Novel –Stasiun— yang memenangkan sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975 ini plot cerita yang utuh, alur yang tegas, karakter atau penokohan yang subtil dan konsisten.” Plot cerita yang utuh itu yang gimana? Alur yang tegas itu yang kayak apa? Memangnya, plot dan alur itu makhluk yang berbeda? Lalu, apa pula maksud penokohan yang subtil dan konsisten? Jadi, pilihan buku apa pun, silakan! Tapi tolong, penjelasan tentang buku itu jangan ngawur bin kacauw alias jangan asal jeplak! Perhatikan juga informasi tentang naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noor. Dalam
“Panduan Penggunaan secara Umum” (hlm. 696), ada pernyataan begini: “Naskah drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noor mungkin tidak cocok ditujukan untuk pembaca usia SMA/SMK/MA/MAK awal karena jalan cerita yang multi tafsir (sic!) dan memiliki jalan cerita yang absurd. Pembaca muda mungkin akan kesulitan menangkap pesan moral yang ingin disampaikan karena disajikan secara implisit dan berbelit-belit.” Kalau begitu, ngapain naskah drama itu disertakan di sana? Jika pun temanya dianggap penting, penjelasannya jangan menambah bingung pemakai buku panduan itu!
Di beberapa bagian yang lain, di halaman 150, misalnya, pengulas bahkan terkesan sok pinter.
Dalam novel Seri Petualangan Misteri: Bisikan Wayang Suket yang jadi bahasannya itu ada kata Petruk dan Bagong. Menurutnya, dua kata itu merepresentasikan bentuk kekerasan verbal. Oleh karena itu, perlu diganti dengan nama lain. Nama Bagong tidak perlu dinyatakan. Sementara nama Petruk bisa diganti dengan nama Devon agar terdengar lebih nyaman. Saya kutip pernyataannya: “Kata „Petruk‟ bisa diganti dengan nama sang tokoh cerita, yaitu Devon. Dengan diganti Devon, kalimat tersebut terdengar lebih nyaman.” (hlm. 150). Pigimana ini? Pengarang tentu tak asal comot nama. Maka, nama Bagong dan Petruk tidak muncul begitu saja. Di belakangnya ada pertimbangan sosiobudaya, bahkan filosofi. Tiba-tiba kok usul ganti saja dengan nama Devon?
Kelihatan di sini, pengulas selain tidak menghargai autentisitas karya pengarang, juga tidak paham kultur dunia pewayangan. Sok pinter lainnya, muncul di bagian akhir. Saya kutip lengkap pernyataannya: “Alur-alur cerita yang ada pada buku ini bisa diterapkan untuk mata pelajaran Seni Rupa, yaitu untuk Fase C pada elemen “Berdampak” dengan deskripsi “Murid mampu memberikan respon (sic!) terhadap kejadian sehari-hari, keadaan lingkungan sekitar, dan perasaan atau emosinya melalui karya seni rupa yang memberi dampak positif bagi diri dan lingkungan terkecilnya. Murid bisa memilih salah satu gambar bercerita dari 13 cerita sesuai dengan alur cerita yang ada.” Jadi, para siswa, selain diminta memahami teks sastra, juga diharapkan dapat mengalihwahanakannya ke dalam seni rupa. Wow! Buku itu untuk SD. Pertanyaannya: “Ini pelajaran sastra atau pelajaran seni rupa?” Pertanyaan lain, menyusul …
SASTRA MASUK KURIKULUM: SEBUAH CATATAN KECIL
“Sastra Masuk Kurikulum” sesungguhnya merupakan program yang dalam hampir tiga dekade pernah diperjuangkan dan dirancang implementasinya—dengan format lain, oleh otoritas terkait, yaitu
Depdikbud. Oleh karena itu, peluncuran program itu sebagai “turunan dari Episode Merdeka Belajar ke15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar” bagi sastrawan laksana harapan yang sekian lama terpendam dan hampir padam, kini (seolah-olah) bersemi kembali.
Bagaimanapun, penyebaran karya sastra ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia—lewat pengiriman fisik atau bentuk digital—tentu saja membuka peluang yang lebih luas bagi para siswa, bukan untuk menjadi sastrawan, melainkan untuk “meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik” sebagaimana yang menjadi tujuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 yaitu untuk menguatkan kompetensi dan budaya literasi membaca.” Penyebaran buku-buku sastra—meski lewat format digital, memungkinkan imajinasi para siswa berselancar menjelajahi dunia fiksional yang bebas-merdeka. Sejak tahun 1980-an keluhan publik bahwa minat baca para siswa kita sangat rendah yang lalu menciptakan opini, bahwa sumber masalahnya terletak pada minimnya waktu pengajaran sastra di sekolah, seperti lingkaran hantu yang berputar-putar di sekitar sekolah, guru, dan kurikulum. Tetapi, yang paling mantap menjadi kambing hitam adalah kompetensi guru di bidang sastra. Meskipun begitu, jawaban para guru juga tidak kalah mantapnya: “Memangnya guru ngurusin sastra doang?” Maka, serangkaian pertemuan ilmiah, seminar, diskusi dan berbagai kerabatnya, coba dilakukan. Muaranya jatuh pada kurikulum yang kerap gonta-ganti mengikuti pergantian menterinya.
Begitulah dunia sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra (di sekolah). Kini muncul program “Sastra Masuk Kurikulum”. Salah satu implementasi dari program ini adalah penyebaran buku-buku sastra dengan berbagai ragamnya, termasuk di dalamnya, komik (cerita bergambar) dan esai! Nah, bagian itulah yang akan jadi pemantik “untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik.” Kurikulum ideal yang dirumuskan para dewa sekalipun, jika buku-bukunya tidak tersedia di (perpustakaan) sekolah atau para siswa sekadar dapat menjumpai judulnya doang, niscaya tetap akan terjerumus jadi iklan: “Ah, teori!”
Atas pertimbangan itu, program “Sastra Masuk Kurikulum” perlu kita dukung sampai titik darah penghabisan, kita sambut dengan penuh optimisme, kita kawal implementasinya, kita protes keras jika sekadar omdo—omong doang, dan kita sempurnakan titik-titik lemah yang mungkin bakal menjadi problem serius program ini! Berikut catatan kecil yang (semoga) menjadi bahan pertimbangan.
Pertama, berpegang pada logika umum: “Semakin banyak buku yang dikirim ke sekolah atau yang dapat diakses para siswa dan guru, semakin terbuka peluang mewujudkan tujuan program ini,” maka jumlah buku sastra—termasuk cergam dan nonfiksi—yang direkomendasikan untuk setiap jenjang pendidikan perlu ditambah secara signifikan. Jumlah buku sastra sebanyak 43 buah untuk SD/MI, 29 untuk SMP/Mts, dan 104 untuk SMA/SMK/MA/MAK, gak nendang, terlalu amat sedikit. Sungguh mengherankan, bagaimana para kurator menentukan jumlah buku untuk ketiga jenjang pendidikan itu seperti terperangkap semangat puas diri: yang penting karyaku masuk! Akibatnya, ya itu, jumlah buku yang direkomendasikan jadinya terkesan ala kadarnya!
Katanya, buku-buku yang direkomendasikan itu merepresentasikan keberagaman: (1) gender, daerah/geografi, dan topik; (2) zaman; (3) tema; (4) kelompok minoritas; dan (5) bentuk sastra, tetapi kok cuma segitu jumlah buku yang direkomendasikannya. Bahkan, untuk bacaan SMP/Mts, rasanya tidak masuk akal program nasional cuma merekomendasikan 29 buku. Naif, cuma 29 buku!
Dengan dasar pemikiran itu, layak dipertimbangkan dan sama sekali tak berlebihan jika jumlah buku untuk SD/MI 200 buah; untuk SMP/Mts 250 buah, dan untuk SMA/SMK/MA/MAK 300 buah; atau 300 buku untuk SD/MI, 250 buku untuk SMP/Mts, dan 200 buku untuk SMA/SMK/MA/MAK. Niscaya tidak sulit-sulit amat menemukan jumlah buku segitu yang sesuai dengan kriteria di atas. Jika program penyebaran buku sastra ke sekolah-sekolah dapat terwujud, jangan salahkan program ini jika dalam satu—dua dekade ke depan, muncul penulis atau sastrawan besar yang mengguncangkan dunia!
Kedua, proporsionalitas itu juga dapat digunakan untuk memilih karya berdasarkan asal pengarang. Yang terjadi pada buku yang direkomendasikan tampak tidak mempertimbangkan daerah atau geografi. Tidak banyak kita jumpai karya pengarang dari kantong-kantong produksi karya sastra: Sumbar, Sumut, Lampung, Banjarmasin, Makassar, Palembang, Pekanbaru, Tanjungpinang, Kendari, dan entah wilayah mana lagi. Memangnya para pengarang di wilayah-wilayah itu gak ada yang menghasilkan karya berkualitas dan cocok untuk pengajaran sastra? Jadi, pertimbangan keberagaman daerah/geografi, kesannya cuma omdo!
Ketiga, kita paham kompetensi, kualitas, dan reputasi para kurator. Maka, buat mereka memberi catatan ringkas 10-30 kalimat tentang buku-buku yang direkomendasikannya, bukanlah perkara sulit. Oleh karena itu, penting artinya para kurator memberi catatan, tidak hanya sebagai pertanggungjawaban akademis atas pilihannya, tetapi juga dapat difungsikan sebagai informasi awal para guru yang hendak mengajarkan dan mendiskusikan buku tersebut. Pertanyaannya sekarang: Bagaimana dengan buku karya para kuratornya sendiri? Ya, tetap, diberi catatan. Meski begitu, untuk memberi kesan (seolah-olah) objektif, ya tukeran saja sesama kurator biar sama-sama enak!
Nah, catatan itulah yang nanti menjadi kunci dalam semacam buku pengantar program Sastra masuk Kurikulum. Kalaupun diperlukan semacam buku Panduan sebagaimana yang terjadi sekarang, sifatnya sekadar informasi ekstrinsik: Biodata ringkas, kiprah kepengarangan, dan ringkasan isi buku. Sudah, itu saja! Tidak perlu ada penafian, catatan penafian, panduan penggunaan buku, sampai ke keterkaitan dengan mata pelajaran lain. Camkanlah, bahwa karya sastra itu dapat diperlakukan sebagai (i) potret sosial-budaya, (ii) catatan peristiwa, (iii) sejarah pemikiran, (iv) dinamika perubahan sosial, (v) pesan filsafat, agama, ideologi, kemanusiaan, dan seterusnya. Guru-guru kreatif, percayalah, sudah sangat paham mengenai perkara itu: bagaimana karya sastra tertentu, bisa ditarik ke manamana, ke pelajaran apa pun, ke bidang apa pun sesuai dengan kekuatan karya bersangkutan.
Sebut misalnya, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Ia boleh ditarik ke (i) pesan agama, (ii) linguistik, (iii) filsafat, (iv) budaya Melayu, (v) sejarah, dan seterusnya. Karya-karya besar—karena ia mengangkat problem manusia dan kemanusiaan, maka di dalamnya kita “menemukan” pelajaran lain, ilmu lain, bidang lain. Itulah sebabnya, kajian karya sastra kini melebar memasuki berbagai bidang: kultur etnik, lingkungan hidup, kuliner, dan seterusnya.
Dalam Panduan, di bagian akhir pembicaraan setiap buku, ada subjudul “Keterkaitan dengan Mata Pelajaran.” Jika instruksi itu dilaksanakan sesuai petunjuk Panduan, bagi guru, kayaknya instruksi itu akan berubah jadi godam raksasa yang bakal menggiring mereka masuk poliklinik terdekat! Apalagi bagi guru Sekolah Dasar yang harus mengajar berbagai pelajaran. Boleh jadi kecemasan saya ini berlebihan. Tetapi, setidak-tidaknya, pesan di bagian akhir itu, mirip-mirip instruksi doktriner. Oleh karena itu, ia bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar, malahan cenderung menjelma iklan zaman dulu: “Ah, teori!”
Masalah paling serius dalam program “Sastra Masuk Kurikulum” ini terletak pada buku Panduan. Selain bagian-bagian yang disebut di atas, juga menyangkut perkara penyajian. Narasinya terbata-bata; kalimat yang sama muncul berulang kali, penjelasan terlalu umum dan cenderung ngawur (semoga bukan campur tangan makhluk AI), dan beberapa informasi yang menyesatkan menjadikan
Panduan itu terperosok menyempil di bawah standar. Sekadar contoh, saya kutip keterangan tentang Pram berikut ini: “Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan besar Indonesia yang novelnovelnya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Bahkan, lewat karyanya ia pernah dinobatkan sebagai peraih hadiah Nobel” (hlm. 346). Kita tahu, Pram memang pernah dicalonkan untuk meraih Hadiah Nobel. Tetapi baru sebatas dicalonkan, belum dinobatkan. Itu saja.
Untuk kasus Pram, bolehlah kita memberi pemaafan. Tetapi bagaimana dengan keterangan tentang Sutardji Calzoum Bachri? Berikut saya kutip pernyataan dalam Panduan itu: “Lahir di Rengat,
Riau, pada tanggal 24 Juni 1941, beliau dianggap sebagai salah satu pelpor (sic!) Angkatan 66 dan Presiden Penyair Indonesia…. Beliau meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2020, meninggalkan warisan yang kaya dalam dunia sastra Indonesia” (hlm. 436). Dari mana informasi itu, wong Sutardji Calzoum Bachri masih sehat wal afiat alias jagjag waringkas!
Keempat, mengingat yang paling tahu perkara ajar-mengajar itu guru, maka mereka harus dilibatkan dalam ikut menentukan pilihan buku yang direkomendasikan. Tetapi, jangan asal guru!
Dalam hal ini, guru yang paham betul perkara dunia jungkir balik kesusastraan. Jadi, yang paling ideal adalah melibatkan guru yang berprofesi sebagai sastrawan atau sastrawan yang juga guru. Informasi dari guru-sastrawan atau sastrawan—guru ini autentik pengalaman mereka di lapangan, bukan berdasarkan konsep ajar-mengajar yang tertulis dalam buku teori. Jadi, guru yang memang seumur hidupnya mengabdi untuk ngajar dan nyastra! Percayalah, mereka bukan kategori kaleng-kaleng. Selain melibatkan guru yang sastrawan, elok juga jika pakar pendidikan, ahli sastra anak, dan kritikus, dijawil untuk ikut urun-rembuk memikirkan program nasional ini.
Kelima, meski daftar karya yang direkomendasikan itu masih dapat dipertanyakan lagi, setidaktidaknya semangatnya jelas, yaitu menawarkan beragam bacaan untuk siswa SD, SMP, SMA. Tidak perlu diperdebatkan perkara kanonisasi, lantaran tujuannya memang bukan untuk itu. Meski demikian, patut dipahami secara komprehensif dan holistik, dunia yang melingkari pembaca sasaran: tingkat pendidikan, penguasaan materi, usia, wawasan, aspek psikologis, lingkaran budaya, dan seterusnya. Ringkasnya: persoalan keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian teks mesti menjadi perhatian utama dalam menentukan bacaan. Maka, langkah menghadapi risiko paling minim, jauh lebih baik daripada memaksakan bacaan tertentu, meski karya itu jadi tonggak sejarah sastra Indonesia, meski di sana ada keterlibatan guru pembimbing. Bukankah lebih baik menawarkan bacaan yang paling aman daripada bacaan yang membuat gurunya sendiri ikut repot memberi alasan pembenaran itu-ini. Apalagi jika dalam buku itu, jelas-jelas ada peristiwa hubungan jantina (jantan-betina).
Secara keseluruhan, buku Panduan itu menyimpan masalah serius. Hampir tidak ada halaman
yang tanpa kesalahan (ejaan, tanda baca, kalimat, tipo alias saltik, data publikasi, dll.). Antologi puisi Bunga di atas Batu—Sitor Situmorang, misalnya, gambar jilidnya malah novel Aesna (hlm. 428), kumpulan cerpen Budi Dharma, Orang-Orang Bloomington disebutkan sebagai puisi (hlm. 306).
Percayalah, berbagai kesalahan lain, akan sangat mudah kita temukan di sana!
Begitulah, sebagai projek nasional, program “Sastra Masuk Kurikulum” sepertinya menjanjikan masa depan yang cerah bagi dunia pendidikan sastra dan bagi para siswa dalam upaya meningkatkan minat baca. Meski begitu, adanya problem serius pada buku Panduan, harapan meraih masa depan yang cerah itu, tiba-tiba redup kembali. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain: segera merevisi secara menyeluruh buku Panduan itu sebelum para guru dan siswa tersesat di jalan yang benar!
Maman S. Mahayana, Ketua Yayasan Hari Puisi dan kritikus sastra