Srikandi dari Tatar Pasundan

7 min read

oleh : Affrilia Utami

KEREDO RUANG

sepagi ini aku hendak jadi rumput di sayu matamu. Kubawa cicak-cicak di dinding, nyamuk-nyamuk yang tengah remuk, kelelawar gua dalam lubang buaya, dan kubawa serta pohon ketapang yang dulu sempat kautebang berulang kali. Dalam ruang ini, kita saling menyisakan pandang, dan memberi mereka makanan yang sendiri kaucabut dari saku hidupmu.

Barangkali kauakan menari-nari sambil berlari memunguti sisa kepingan kaca, kaleng-kaleng plastik yang tak terdaftar dipembuangan limbah, dan aku akan kian gerah. Seperti itu kaumemetikku dari negeri awan.

Menggiring bulan ditangan
Memaparkan ekliptika tata angkasa
Yang kita bingkai sedemikian rupa
Dalam cibiran waktu yang dupa.
Masih berbeda..

 

25 Februari 2011

 

WANITA PENUNGGU MALEO

Oleh : Affrilia Utami

Seorang wanita bermata lampu kecil, sedang terduduk manja di bawah daun-daun Taman Ismail Marzuki. Ia hanya memakai hasil berkodi tenunan benang yang dikirim tuhan lewat pak Pos bertangan salju, dengan motif batik yang rata titik-titik terdaftar. Ada pula makna cinta yang melingkar hangat di lehernya. Juga serangkai buku-buku yang penuh debu, catatan volume hidupnya. Masa itu,perjalanan di mana pernah sempat ia berlayar, membuat gua-gua dari bahan bakar yang disebut harapan juga tumpuan akan keyakinan.

 

Sedari pagi, wanita itu hanya membilang ada berapa banyak burung yang bisa ditemuinya hari ini? Padahal ini hari yang gunung oleh mendung dan wanita itu hampir tak bisa lagi melihat jam ditangan kanannya. Namun, wanita itu gemar sekali menghabisi waktu tanpa pernah ada sesal. Sambil mengenal barisan deret aritmatika yang terus runut ia hitung, sampai bibirnya terpasung di angka tujuh ratus tiga puluh delapan ribu. Ia menyebut angka-angka itu sebagai kepastian.

Seperti patung pinggir taman, ia setia dengan posisi yang sama dengan patung dirinya. “Oh.. ada lagi burung hari ini! Tapi, mengapa cepat sekali hilangnya? Cepat sekali! mataku tak jadi mengandangi bebasnya..”. wajah wanita itu tetap jadi bintang di antara siang dan malam. Hanya sepertiga waktu untuk ia kembali merangkai nafasnya. Nafas yang tiapnya tersengal dibeberapa jeda lalu lintas dentingan detik. Di antara jari-jari yang cantik. Ia menumbuhkan edelweiss digenggamannya. Aku melihat, ada banyak kupu-kupu yang sedang menari, di dua matanya yang menyangkut pada genting jiwaku.

Hingga tiba, rodanya terlanjur berkarat karena hujan yang belum surut. Wanita itu, hendak menjelma jadi rumput yang kuyup. Dadanya mulai lagi merasakan sesak, sesak yang penat. Dalam dahinya seperti ada gemuruh, gemuruh riuh yang pernah teracuhkan waktu. Dengan derit luluh langkah, yang kini kian membisu. Ia merasakan sakit, yang ia tak bisa jeritkan sakitnya. Di jantungnya matahari seperti akan terlahir.

“Aku tidak tahu.. mungkin di Taman ini. Aku akan habisi detik-detik hari akhirku. Sementara burung-burung itu masih belum mendekat dan memberitahu. Bagaimana cara ia bisa terlihat bebas tanpa waktu yang menunggu… aku tidak menunggu matiku. Aku hanya menunggu bebasku. Mungkin seperti hal burung itu. Coba lihatlah.. dan gambarkan bagaimana burung itu? Aku sudah serabun ini untuk mengetahui lekuk dan sayap indahnya. Maleo.”

Aku menepi di degup gucimu, wanita.
Dan curiga kita sempat menabungkan
Sisa usia kita. Pada Maleo yang sama kita tunggu.

Februari 2011

 

TSUNAMI HARGA MATI

oleh : Affrilia Utami

aku menjadi mayat-mayat kecil yang tidak ada dikeranda, saat itu. Ada beratus ikan terkapar hingga jadi garam yang bangkai. Seorang lelaki berlari membawa jari-jari kelingking kearah sunyi disekitar pecahan gelombang. Dari do’a dan ka’bah yang ruah oleh ritmis airmata.

aku lupa membakar harta, dan lupa belum sempat memiliki wajah. Dari kegelisahan hingga jadi persawahan, tempat petak-petak melahirkan anak-anak yang kurus, bermata cekung dan perut yang kembung terisi angin dari kampung nelayan..

aku mati, saat itu. untuk kedua kalinya.
aku mati berulang kali. mendatangi tsunami waktu tua.
masa besi yang jadi basi.

02 Maret 2011

 

HANTU BERAUT KUPU-KUPU

oleh : Affrilia Utami

saat ini aku jadi wanita yang amnesia nama. Dari kasar bicaramu menentang untuk jadi kumbang dipematang ilalang. ungkapmu, aku kupu-kupu yang hinggap diselasar perutmu. Kupu-kupu yang tak pernah terasa puasnya membuatmu kenyang. Semenjak kulakukan luruh keakukanku. Sayapku kaucuri satu per dua kali. ucapmu, aku hanya boleh membilang langkah denganmu. Kau tak bisa lebih terbang dan lantang jadi pepohon yang hilang jari telunjuk senja dirimbun buta.

Pada punggungmu di mana sembunyi beban hingga lahirkan sayap baru. karena beban kaumulai jadi perindu. Namun, rambutmu rontok. Tiap helai kutata sampai jadi selendang yang melingkari perutku. Dari tiap gua-gua berhantu, kautitipkan satu paling timbul. Tak padam dan berlalu. Hantu-hantu itu adalah bayangmu, menggantung di layar dua mataku.

kupukupu separuh sayapnya hilang lagu
hantuhantu yang ingatkan caramu..
Mungkin, inilah kita. sama jadi perindu.

04 Maret 2011

 

MINGGU INI

Oleh : Affrilia Utami

Saat ini aku terduduk disebuah balkon tua dari kayu jati yang belum sempat mencapai tinggi 40 meter. Ada beberapa orang dewasa dan anak kecil lewati tiap langkah pandangku. Ada satu yang runut kuperhatikan sedari tadi. Ya, seorang lelaki berusia sekitar setengah abad dengan busana rapih dan kumis yang manis menggantung di atas senyumnya.

Lelaki itu seperti sedang sangat merasakan bahagia, ada seorang wanita yang memili jemari yang cantik dan pesona yang indah sedang duduk di dekat lelaki tua tersebut. Ada bayi dipangkuan hangatnya, malaikat kecil dalam keluarga yang penuh dengan cinta dan cita. Aku menjelma jadi ranting yang mengintip dengan kaku. Dengan mataku.

Beberapa kali lelaki itu tertawa menghibur bayi dalam rengkuhannya. Dan seorang wanita itu beberapa lipat jari membelai wajah pelangi suaminya. Ada beberapa keringat yang terjatuh, ada banyak kebahagian lengkap menjadi utuh sebuah makna senyumman.

Sementara aku masih tersengat menyimak beberapa lembut dan harmonis keluarga tersebut. Ya, sempurnalah kebahagiaan. Dan aku berputar dalam bianglala berwarna jingga serupa nila. Aku tetap tak ingat kapan terakhir kali aku berada di antara kedua orangtua kandungku…

Sebuah pandang dan ingatan yang nanar..

05 Maret 2011

 

SURAT SIMPANGSIUR JALANAN

oleh : Affrilia Utami

di pembuka surat ini aku tidak akan bertanya tentang kabarmu. Karena aku lebih tahu, bagaimana keadaanmu saat kehilangan benda yang sama. kita punya. Jika bocah.di sebelah pundak kananku bertanya, “ada apa dengan benda yang melekat diseputing kuku ujungku,.di sudut ruas jari, di lapang garis tangan?” jawabku satu. nama kekasih yang mengandung kerinduan.

kasih, di siang yang melolong ini. banyak ceramah pinggiran kota dalam baliho-baliho berkaca didak. ada loncatan katak pembentuk polusi, dan portal-portal bergaris zebra penyedia jejak-jejak sebelum lampu tua itu jadi retak. di jalanan ini aku mengemudikan sepi. jangan kau hendak berdo’a sampai aku mati karena ditinggalmu pergi di pinggiran kota, berliku jalan yang dadu.

mendekatlah lebih dari sekedar rapat
aku akan mencuri cinta dari hatimu,
dari jantung waktumu.

14 Februari 2011

 

MASALAH HATI

oleh : Affrilia Utami

senja yang membeku di altar langit
telah lengkap lewati luruh gelembung cintamu
ingin kutuang lembut dalam cangkir bergejolak
namun terlalu retak, hingga hilang jejak

apabila hatiku masih kausampingkan
dalam isi saku penunggu rindumu
lautan malam pun taklah lagi menjadi sesuap
tanpa ada bintang, tanpa ada senyuman jua

hisap aku kedalam porosmu
dan rebahkan dadamu untuk mimpiku
mimpi kupu-kupu yang tak sempat terbang
mimpi kupu-kupu yang tak lengkap bersayap

nafasmu mulai kukenali
dan nafasku sedang menghitung
berapa rembulan dan awan tanpa bintang
yang terpejam..

Lalu siapa yang lebih mencintai?

03 Januari 2010

 

RUAH KATA

Oleh : Affrilia Utami

1/

Lelaki,
di antara puing-puing waktumu
jua di antara kisah masalalumu
ada beberapa misteri, berlari.

 

2/

semenjak kujejaki kota tua ini
beberapa ibu tak lagi bersuami
dan bocah-bocah sudah tak lagi
seriang dulu. seriang yang malang.

3/

mungkin akan ada cinta yang berpihak
menuju keduanya, saling menebar gelak.

 

4/

bukan tentang manja keadaan
lampu-lampu dibarisan trotoar jalanan
saling tegak, saling menginjak nyala
tapi beda dengan dia. dia yang ada.

 

5/

bicaramu seperti dermaga yang melintang di angkasa
melayarkan kembali perpisahan dan hilang yang bara.

09 Januari 2010

POTRET PERAK

Oleh : Affrilia Utami

Ada yang datang
Dengan langkah terpapar lancang
Membekal segelas malam pada ilalang
Dibawa hilang.

Dua matanya lupa dikancingkan kemarau
Suara-suara datang. Paling lantang. Dari sunyi
Paling tak ku kenali.
Telinga menjadi tiga dikasir penjaga
Brankas emas, ingat kau semakin cemas

**

Ada lembah paling rawa pada kaca buram.
Lampu-lampu jalanan berwajah perak.
Semu. Potret dinding berwarna gading. Dilalui
Dermaga senja disewaktu pintu terbuka.
Tanpa,
Kunci. Tanpa ada diri.

11 November 2010

 

RUMAH MATAHARI

Oleh : Affrilia Utami

belum lama tunai kujejak bangunan tua
disebuah desa, tanpa genting suara
hanyalah lonceng dedaun camar
ataulah bebisik pohon hutan belum terbakar

aku memincingkan mata di sebuah jati
akar yang menjalar kekar, mengumbar
kenangan yang kugantung ditiang ingatan.
nanar.

kenangan kampungku.

dulu, di bangunan tua itu
aku terlahir dengan nafas cinta, bahagia suka.
kehidupan berawal dari derit jerit teriak purba
hingga kata ‘ibu’ bermula menjadi kata ‘syurga’.

kini, matahari telah lupa mengibar janji.
merampas sebongkah fragmen kelabu
pada pijar lampu damar, pada lentera nyala
lampion dengan seliter bensin yang bau
hanyalah jadi sekepal apu dan debu.

kenangan kampungku.

10 Januari 2010

 

WAJAH KEKASIH

Oleh : Affrilia Utami

bila kuurai rambutmu, malam ini
dan menuahkan warna dasar kerinduan
debar tinta yang kupinjam
dari penanggalan rembulan

ingin kudekat dan menangis dipangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
menimbun bau embun dengan segelas susu
di atas meja dengan kursi kayu

barangkali, ini malam belum surut
lampu-lampu dari sepetik api sedang jadi raut

02 Februari 2011

 

SEJAK ITU, AKU LAYLAMU

oleh : Affrilia Utami

semenjak dua purnama menjadi malam pada gulita yang penuh dengan ruh-ruh mengaduh. Di bawah hujan, di bawah saat kita artikan senyuman malam di samping telaga yang rintik akan ikan-ikan. Yang berenang di matamu..

Qais, apakah cintamu menuju aku. Sebab, suamiku terus buta menganiyaya cinta kita, cinta serupa tubuh yang berbeda dengan satu hati yang sama. Kau dan aku.

Aku ingin mengandung lebih lama cintamu, namun kaumenawar rindu yang menolak padam. Pada hal-hal yang selalu buatkan kuarti pelampiasan langit tanpa kiasan yang kita pinjam dari bintang yang terang, dan suluh rembulan paling aduh..

Di rahimku, kaumenitip cinta.
Kau menitip bara rindu yang ada.

11 Februari 2011

LAUT INI KERING, LAYLA

Oleh : Affrilia Utami

Layla, hari ini aku terlalu mengunduh luka..
Aku merakit tiang dan ranting yang kian saling luapkan kekosongan, enggan berpaling.


Terduduk tanpa kursi, hanyalah setikar daun di atas pasir, sedikit berbau anyir

Aku ingin bersamamu, denganmu

satu


Membuat lintasan awan Dan setangkai edelweiss di tubuh Laut
Namun di sini Aku Lebih menemukan wajahmu, Layla..


Ada paruh elang, yang menantang
Ada cinta dalam sarang, berdua kauaku kenang


13 Februari 2011

TIDURKU DALAM

oleh : Affrilia Utami

hingga malam, aku masih menelantarkan anak-anak do’a
tuhan-tuhan malam yang tunggal dalam tiap bait-bait raja’
menitikan rintik embun dipipiku
sambil menuai ritmis gerimis di mata yang hujan

sementara kalender masih kucoreti
agenda masih kuisi dengan janji
setakar biji gandung, sekerat roti
sebungkus nasi. pengganti subtitusi.
menjadi listrik yang tak ada ukurnya.

sujudku, menuju rumah-Mu
usiaku, hanyalah bagian peran yang kautentukan.
runut dengan khayal dan mimpi. aku sendiri.
dengan malam bersama-Mu, Tuhan ..

16 Februari 2011

 

LANGKAH TANPA CANGKANG

oleh : Affrilia Utami

Semenjak siang, menyita sarang
Aku masih tanpa cangkang.
Lolong anjing kian menantang
Ada cermin bermata elang
Dengan paruh ruh pada jembatanmu

Tinggal laksa puisi tinta syair dari nyinyir sang penyair, dalam rawa dan gua.
Manakala pikirannya masih terbang menuju pinggir.
Pinggirpinggir tempat ia lebih berpikir
Tentang magis sihir.

Lantas bagaimana?
Jiwa yang tandus ingin menggapai daun yang adanya di sepucuk
Menara Eifel, di dalam segitiga pyramid tua. Di jaga oleh jantan kuda spynix.
Dan aku, masih melaju.
Lewati musim panas di altar kutub.
Dan padang sahara yang bara.

Masih tanpa cangkang..

17 Februari 2011

MASIH PADAMU, IBU

oleh : Affrilia Utami

masih tentang mengenangmu, ibu.
Aku tak tahu cara ungkapkan rindu
Pada tiap persimpangan jalan yang mengambil alih, anakmu.
Matamu masih jadi mentari di malamku
Dengan merk-merk baju yang tak ada di pasar
Dan swalayan perkotaan.
Hanyalah busana untuk bahagiamu..

Rak-rak buku telah banjir dengan huruf
Yang rabun kubaca, lagi.
Seberapakah aku menunda ketertuntasan.
Padamu, ibu…

Aku masih mengenang beberapa kalbu.
Bahasamu..
Kala kaumenimbun cinta dan tragedi
Dengan airmata, dan ketuban darah
Yang pecah berulang kali, berulang perihnya.
Berulang kali tak ada habisnya.

Bersabarlah, ibu..
Aku sedang menitik jalan menujumu
Dengan lampu dan aspal yang kubeli
Dengan harga yang tak ada dipasar lokal
Dengan bahan yang tak terjual..

Tunggulah aku, anakmu
Dengan kepingan waktu
Yang dulu sempat terlindas
Tanpa pernah padam, dalam rahimmu.
Lantas cinta bernafas. Rindu jadi garis-garis yang khas baumu, Ibu.

18 Februari 2011

 

LELAKI PUISI

Oleh : Affrilia Utami

Sepanjang jalan hujan belum jadi tepi
Hujan bayangmu, lelaki
Suara empat kaki kucing
Saling bersaing.

Diam-diam aku memakamkan senja
Mencuri sunset dari matamu
Dan menjadikan mata tengah kepala

Engkau masih telanjang

Aku jadi ingat
Sebuah rengkuhan dan tangan
Suara parau campur keringat.
Dari perutmu yang menari
Meronce akor minor
Menggalang phytagoras, di alismu yang pamor.

Mulutmu masih getar
Jantungmu kian debar

Aku menjadi remaja cinta
Sebelum sampai pada rupa
Seperti ragam apa, engkau?
Lelaki puisi?

08 .Maret. 2011

MEMBATIK PAGI

oleh : Affrilia Utami

Pagi ini ada kabut
Di bawah ranjang bersarang kenang
Lalu tetestetes berlogat tiktaktiktak
Tiktik seperti mesin ketik
Lalu tak..tak seperti detak retakmu

Barangkali kabut ini hinggap
Jadi bebulir embun jatuh dari gugur daun
Daundaun bermata hijau setengah coklat
Di jatuhkan jadi reranting setinggi atap genting

Ada beberapa laron menyamar tas koper
Kubekal dengan lampion setengah liter
Bahan etanol, dan bensin non subsidi
Tapi di mana empat lusin pakaianku?

Ternyata kaucuri, mencoba membatik langit.
Sepagi ini.

06 Maret 2011

 

MAKNA PADI, BENIH MATI (KINI)

oleh : Affrilia Utami

Sudikah kau menggenggam padi
Nasib anak petani
Berhektar lumpur telah basi
Dan kami lebih memilih tak konsumsi nasi

Sapi,kerbau,ayam,kambing dan kau
Sama bau jua..
**
Sebuah desa yang ditinggal mati
Ada api di sesuluh bambu terus terang,
Sementara ranting kering terus menggugurkan daun-daun
Burung-burung jadi bisu. Separuh sayapnya terkilir kaku..

Sudikah Engkau menggenggam?
Ketika hanya rekayasa genetik alam, yang kau panen dengan kepalsuaan
Dalam perihal berkas-berkas paten.

Lalu kaurubuhkan lagi, kemudian..

01 Maret 2011

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *