Belajar Merdeka
Oleh Nizar Machyuzaar
Memasuki tahun 2022, sekolah memasuki semester genap dan harus mempersiapkan calon lulusannya dalam beberapa hal. Selain Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), sekolah harus memasukkan kelengkapan nilai rapor siswa dalam Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) untuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Siswa yang tidak terdaftar SNMPTN akan berjuang dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Sebagai guru pengampu yang masuk dalam materi uji SBMPTN, saya selalu bertanya, “Apa boleh sekolah membuka semacam tatap muka berorientasi pada penyiapan peserta didik untuk berhasil lulus di Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) SBMPTN)?
Sebabnya, pengalaman saya membimbing peserta didik sma sederajat untuk masuk ke perguruan tinggi selalu memosisikan hasil belajar enam semester peserta didik di sma sederajat dalam tanda kurung, (Nak, ini tes kuliah, berbeda dengan apa yang dipelajari di sekolah!).
Disorientasi Pembelajaran
Di sekolah, peserta didik terbiasa belajar dalam semangat evaluatif alias memahamkan materi sesuai dengan apa yang telah dipelajari di kelas. Sementara itu, tes masuk perguruan tinggi seolah-olah menjadi ranah pengetahuan asing bagi siapa pun peserta didik yang berjuang masuk jika tanpa persiapan sedari dini.
Lebih dari itu, tes masuk perguruan tinggi yang berlebel prediktif telah menciptakan jarak potensial relatif per peserta didik yang memiliki bekal akademik hasil belajar di sekolah sebagai modalitas pengetahuan. Hal ini menjadi wajar karena penemuan pendekatan tes yang semakin kompleks dipakai oleh panitia yang ditunjuk untuk membuat paket soal UTBK SBMPTN.
Sebagai timbangan, skor UTBK SBMPTN diperoleh peserta dari dua materi uji, yakni Tes Potensi Skolastik (TPS) dengan bobot penilaian 60 % dan Tes Kemampuan Akademik (TKA) Saintek atau Soshum dengan bobot penilaian 40 %. Pertanyaan sederhana kita, apakah ada mata pelajaran TPS dan TKA yang dipelajari siswa di sekolah?
Bagai petarung yang bertempur di medan laga tanpa menyiapkan jurus-jurus yang diperlukan. Modalitas peserta didik sma sederajat dapat dianggap sebagai jurus-jurus dasar sedemikian. Sementara itu, lawan tempur telah memetakan materi uji, tipe dan variasi soal, penyelesaian soal konvensional, dan penyelesaian soal kreatif sehingga menghemat waktu pengerjaan.
Barangkali, gambaran tersebut sering dialami sekolah manakala peserta didiknya ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam perhelatan olimpiade sains dan humaniora. Guru pembimbing yang ditunjuk pun akan menyiapkan materi uji, tipe dan variasi soal, dan penyelesaian soal sesuai dengan tenggat waktu yang dibutuhkan. Sebagai gambaran lebih lanjut, saya sertakan berikut ini.
TPS menyertakan materi uji Penalaran Umum (PU) sejumlah 16 soal, Pengetahuan Kuantitatif (PK) sejumlah 15 Soal, Pengetahuan dan Pemahaman Umum (PPU) sejumlah 17 soal, Pemahaman Membaca dan Menulis (PMM) sejumlah 15 soal, dan Bahasa Inggris (B Ing.) sejumlah 15 soal. Sebanyak 78 soal TPS diujikan dalam waktu 98,5 menit untuk semua peserta, baik peserta Peminatan Saintek, peserta Peminatan Soshum, maupun peserta Lintas Peminatan atau Campuran.
Setelah sesi TPS, peserta peminatan saintek mengerjakan materi uji TKA Sainteks, yakni Matematika sejumlah 15 soal, Fisika sejumlah 13 soal, Kimia sejumlah 15 soal, dan Biologi sejumlah 15 soal dalam waktu 90 menit. Peserta peminatan soshum mengerjakan materi uji TKA Soshum, yakni Ekonomi sejumlah 15 soal, Geografi sejumlah 15 soal, Sejarah sejumlah 15 soal, dan Sosiologi sejumlah 15 soal dalam waktu 60 menit. Bagi peserta lintas peminatan, setelah mengerjakan TPS, mereka akan mengerjakan kedua peminatan secara berkala.
Keberpihakan
Karenanya, kita kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini. Ada disorientasi pembelajaran antara kurikulum di sma sederajat dan materi uji pada UTBK SBMPTN. Saya percaya bahwa di setiap sekolah terdapat bibit-bibit unggul akademik yang tentu saja diharapkan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Di lain pihak, perguruan tinggi pun, dengan materi uji dan sistem penilaian teori respons butir, mengharapkan calon mahasiswanya bermodalitas pengetahuan akademik yang unggul.
Selain itu, perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN, 2000-2012), Perguruan Tinggi Negeri Pemerintah (PTNP, 2012-2013), dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH, 2013—sekarang) telah memengaruhi dinamika kebijakan penerimaan calon mahasiswa baru.
Perguruan tinggi negeri harus mandiri dalam mengelola sarana pembelajaran, bahkan mampu mengembangkannya menjadi lebih profesional. Wajarlah, salah satu tawar-menawar perguruan tinggi negeri dan pemerintah dalam mencari sumber dana terbidik pada Seleksi Mandiri (SM) dengan otoritas swakelola biaya kuliah yang dibebankan pada calon mahasiswa baru.
Hal ini menandai keleluasaan perguruan tinggi negeri dalam membuat kebijakan penerimaan mahasiswa baru. Pada tahun 2021, PTN-BH memiliki aturan khusus dalam kuota penerimaan mahasiswa baru, yakni SBMPTN minimum 30 % dan SM maksimum 50 %. Jika kedua komposisi seleksi ini dipakai, secara tersirat kuota untuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tinggah 20 %.
Dengan kata lain, kuota 20 % jalur SNMPTN yang menyertakan akumulasi nilai rapor peserta didik di sekolah kurang reseptif dan adaptif terhadap orientasi untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Setidaknya, dua lembaga di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yakni Dirjen Pendidikan Menengah dan Dirjen Pendidikan Tinggi, harus duduk bersama untuk merumuskan ulang kebijakan kuota penerimaan mahasiswa baru.
Dua hal berikut dapat dilakukan sekolah. Pertama, sekolah harus meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik yang tertera di rapor sehingga merepresentasikan bakat unggul yang memang dibutuhkan perguruan tinggi negeri dalam SNMPTN. Kedua, secara kreatif sekolah menambah atau menyisipkan materi uji SBMPTN di setiap kegiatan belajar-mengajar karena materi uji SBMPTN memiliki tantangan berbeda.
Dengan demikian, program Merdeka Belajar melalui kementerian terkait dapat tercapai. Sebabnya, program ini bertujuan mencapai pemerataan yang adil dalam memperoleh akses pendidikan yang diselenggarakan pemerintah melalui perguruan tingginya. Kita tidak ingin terjejak dalam frasa belajar medeka karena privatisasi perguruan tinggi negeri dengan dalih kemandirian dan profesionalisme.
Mangkubumi, 30 November 2021
*Penulis: Ketua Mata Pelajar Indonesia