Pancasila kota, di tengah jalan sunyi para bidadari
***
Kemarin, Dalia sakit muntah
Ia bilang padaku, kemarilah, aku ada hadiah buatmu
Kukatakan, kaulah hadiah istimewaku
ada kecewa di sudut matanya, Dalia gusar.
Aku tanya, kenapa??
Dalia malah beringsut
Jangan katakan itu, aku akan mati, tegasnya
Aku terkesiap. Kau hanya muntah, tak lebih dari itu, kataku.
Tapi Dalia berkeras. Bukannya aku takut mati. katanya
Aku merinding. Ketajaman pemikiran jelas terpancar di matanya
Aku pun ciut, persepsi berbalik. Akulah yang sebenarnya takut mati.
Jadi aku mengerti sekarang, Dalia tengah sadarkan aku dari tipuan kesenangan
Lalu kutanyakan, dimanakah aku bisa sisakan keindahan sebelum mati??
Dalia menatapku lembut.
Di sorga para koruptor, jawabnya. Akan ada seribu bintang di pundakmu jika sorga itu kau bagi rata, dengan kaum pinggiran kota.
O, inilah hadiah terindahku.
Lalu kutarik ujung simpul yang tak pernah terurai,
Esok kami akan mati,
Tentu, jika tak ada lagi luka di teras desa,
Dan kumcup-kuncup kami telah bermekaran di tanah para relawan.***