Aku menjadi mayatmayat kecil yang tidak ada dikeranda, saat itu. Ada beratus ikan terkapar, perahu dan kapalkapal pesiar, tumbuh jadi serakan sampah di bawah kakikakimu. Seorang lelaki gontai berlari membawa jari kelingking kearah sunyi disekitar pecahan gelombang yang masih melahirkan kandungan. Dari do’a pada barisan shaf Masjid mereka menanam segala yang tersisa.
Dalam pahit airmata.
Aku tak sempat menemukan ibu, dan lupa belum menyisiri wajah dari kematian. Menggoreng separuh jantung waktu yang telah asin di atas pasir berwarna darah. Darahdarah kemudian membentuk jalan keheningan menuju gelombang kesekian dan berpasang dengan yang terbunuh satu perdua dikali seribu korban. Aku meminjam matamu, ketika itu. Sandal jepit, lemari patah, jendela tanpa kaca, rangka atap berpisah, kayu isi rayap, pintupintu, dan bajubaju ibu kutemukan di sebalah mayatku.
Tapi, aku belum menemukan ibu.
aku mati, ketika masa itu di depan matamu
aku mati berulang kali dengan asin matamu.
kematian yang tak ada dikeranda,
di matamu..
Mei 2011