Mengecup Hajar Aswad antara Hidup dan Mati

1 min read

PADMASANA yang hampa membalut jiwa, saat itu haru biru berkecamuk. Rasa sedih yang tertahan di tenggorokan menyelimutiku, tak terlukisan betapa rindunya aku pada Sang Khalik dan Rasul. Tujuh putaran mengelilingi Kabah usai aku tunaikan. Sejuta bayang pun terlintas dikepala, bayang wajah temanku yang aku sakiti, orang yang tulus menyayangiku, wajah ibu saat aku lawan.

Adalah penyesalan atas dosaku yang telah berbuih. Kemudian hatiku berteriak, bila langit terbelah bumi bergoncang kemanakah aku lari, harapku hanya pada-Mu Ilahi!

Dari sana aku melangkah menuju bukit Sofa untuk melakukan sai dari bukit Sofa ke bukit Marwah. Dalam setiap langkah aku terus berpikir, betapa besar pengorbanan kekasih Allah. Bayangkan dulu, ditengah padang pasir Siti Hajar ditinggal berdua bersama Nabi Ismail As. Fatamorgana pun terus ia kejar demi seorang bayi yang sedang kehausan, tapi keputusasaan tidak menghinggapinya. Ia terus berlari hingga nabi Ismail As merengek membuat air zam-zam keluar tanah. Dari sanalah aku sadar, sebuah keinginan memang harus dikejar tanpa keputusasaan. Ya, mengapa aku harus berputus asa di tengah aku mendapat nilai matematikaku jelek?

Langkah-langkahku kemudian terhenti di Bukit Marwah, beberapa helai rambut digunting ibuku pertanda ibadah umrah telah kulalui Betapa sejuknya hatiku saat itu, sesejuk Kota Mekah yang dilanda musim dingin. Semilir angin pun membelai tubuhku, mengajak diriku untuk merasakan ketentraman di rumah Allah. Lalu aku pun tersadar bulan telah beranjak dari peraduannya dan kini langit biru cerah di mataku. Aku pun pergi menuju tempat peristirahatan. Namun hati ini masih terpaut rindu akan rahmat Allah dan ketentraman di Mesjid Il-Haram.

Tetapi Hajar Aswad sebuah batu hitam legam yang diistimewakan Allah akan menjadi saksi di akhirat itu terus membayangiku. Karena penasaran aku kembali melakukan tawaf bersama bunda tercinta. Terlihat askar yang gagah didepanku, matanya tepat dimataku, dengan keras ia berkata “Hiyah haja” artinya Awas Hajah. Tapi hatiku teguh aku ingin mengecup Hajar Aswad. Orang-orang berjejalan, udara pengap, nafasku sesak aku pun menembus orang-orang yang berbadan besar itu. Keajaiban terjadi, tiba-tiba saja batu hitam itu tepat di hadapanku, langsung saja aku mengecupnya kemudian aku terpental keluar. Sejuta rasa menghiasi jiwa, rasanya lega sekali usai mengecupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *