Sastra merupakan bagian dari bahasa, secara implisit bisa dikatakan sebagai bentuk bahasa yang mengungkapkan pemikiran dengan perlambangan, kiasan (metáfora), dan retorika bahasa si penulis dalam menyampaikan pesan. Sementara, puisi adalah salah satu bentuk sastra yang memiliki aturan-aturan tertentu; larik, isi, bait, dst.
Sehubungan dengan hal di atas, sastra akan lebih dicintai siswa, apabila guru menggunakan model pembelajaran yang kreatif dalam meningkatkan daya cipta dan apresiasi sastra (puisi) di kelas. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Model Contextual Teaching and Learning.Sesuai latar belakang di atas, meningkatkan daya cipta dan apresiasi puisi di kelas 5 sekolah dasar, dapat menggunakan Model Contextual Teaching and Learning. Karena, kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa di sekolah dasar adalah menulis. Khususnya di kelas 5 sekolah dasar, aspek menulis dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; –surat, puisi, cerpen, parafrase, dan surat. Kaitan dengan aspek menulis, siswa kelas 5 sekolah dasar dapat dididik lebih dini terhadap daya cipta dan apresiasi sastra (puisi). Dalam menulis puisi, siswa sekolah dasar dapat dibimbing dan dikembangkan sesuai kapasitas intuisi dalam perlambangan dan kias bahasanya (metáfora). Salah satu bentuk sastra yang cukup diminati di kelas 5 sekolah dasar adalah menulis puisi . Karena, siswa dapat mencurahkan segala isi hatinya ke dalam tulisan. Untuk itu, guru memiliki kesempatan besar untuk menumbuh-kembangkan daya cipta dan apresiasi sastra (puisi) di kelas 5 sekolah dasar.
Guru harus pintar mengelola pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya dalam mengembangkan model pembelajaran daya cipta dan apresiasi puisi. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan tadi, model pembelajaran Contextual Teaching and Learning; proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Dengan model pembelajaran ini, siswa akan menerima masukan yang alami dari lingkungan, sehingga memiliki referensi kuat untuk menuangkannya dalam tulisan (puisi).
Posisi guru dalam proses pembelajaran merupakan fasilitator, pembimbing, dan mengarahkan siswa kepada tujuan pembelajaran. Karena, tidak semua siswa memiliki intuisi yang sama dalam mencurahkan pikirannya ke dalam puisi. Guru harus memberikan contoh puisi yang telah ada, agar siswa memiliki acuan dan aturan dalam pembuatan puisi, baik puisi lama ataupun kontemporer (merujuk kepada bentuk puisi sekarang; bebas). Siswa diajak merenungkan peristiwa-peristiwa nyata, yang pernah mereka rasakan di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan kejadian-kejadian aktual di televisi. Setelah itu, guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam menuangkan ke dalam puisi, dengan aturan yang sudah dijelaskan.
Tentu harus ada evaluasi di akhir pembelajaran, sebagai refleksi selama pembelajaran berlangung. Guru dan siswa bersama-sama mengapresiasi hasil puisi, agar terjadi silang pendapat atau komentar terhadap puisi yang telah dibuat. Dengan demikian, guru mengasah siswa terhadap daya cipta dan apresiasi puisi lebih efektif, dan tentunya harus dilakukan secara berkesinambungan dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Dari kesimpulan di atas, penulis mengajak rekan-rekan guru untuk meningkatkan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya dalam meningkatkan daya cipta dan apresiasi sastra (puisi), dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning di sekolah dasar. Dengan sastra, siswa akan terbentuk karakternya menjadi manusia yang sensitif terhadap lingkungan (sosial). Sehingga, guru sekolah dasar tidak lagi menjadi kambing hitam oleh para kritisi sastra, sebagai dalang kegagalan perkembangan sastra di kemudian hari. Semoga selayang buncah pikiran penulis dapat bermanfaat bagi pecinta sastra.