Tanggal 21 Februari ditetapkan Unesco-PBB sebagai Hari Bahasa Ibu sedunia. Bahasa ibu dapat diartikan sebagai bahasa yang diperkenalkan seorang ibu kepada anak di dalam lingkungan keluarga yang berfungsi untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Namun, bahasa ibu tidak identik dengan bahasa daerah sebab bahasa daerah adalah bahasa yang berkembang secara turun-temurun di sebuah daerah sebagai hasil proses budaya dan sekaligus pewarisan pengetahuan tentang budaya daerahnya.
Sebagai contoh, keluarga yang orang tuanya keturunan suku Medan dan menetap di Priangan Timur, boleh jadi, memakai bahasa suku di daerahnya sehingga bahasa daerah yang berkembang di Priangan Timur, bahasa Sunda, dapat menjadi bahasa kedua, bahkan bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia.
Dengan demikian, menjadi manusia Indonesia dituntut untuk menjadi multibahasawan. Apalagi, keluarga yang berorientasi untuk menyesuaikan dengan era global akan mengajarkan atau menuntut anaknya untuk juga menguasai bahasa asing, seperti bahasa Inggris.
Sesuai data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, lebih dari 79 % penduduk Indonesia masih mengenalkan bahasa ibu dengan bahasa daerah. Sisanya, bahasa Indonesia menjadi pilihan untuk menjadi bahasa ibu, terutama di perkotaan.
Namun, dari dataan terbaru Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat 28 bahasa daerah yang terancam punah.
Kesadaran untuk merevitalisasi keberadaan bahasa daerah telah dituangkan ke dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, sampai peraturan bupati atau wali kota. Pemerintah memandang bahwa keberadaan bahasa daerah dapat memperkuat karakter manusia Indonesia yang memiliki wawasan kearifan lokal, nasional, dan global.
Namun, hidup matinya bahasa daerah tidak hanya ditentukan oleh peraturan pemerintah saja. Kemauan dan rasa bangga menggunakan bahasa daerah menjadi salah satu sebab mengapa bahasa daerah terancam punah dalam jangka waktu lama.
Bahasa daerah yang memiliki aksara di Indonesia hanya delapan. Pengenalan aksara dengan membuat ortografi (penulisan huruf) dan menyusun kamus bahasa daerah dapat menjadi salah satu jalan mencegah kepunahan bahasa daerah.
Soalnya, pengenalan aksara bahasa daerah dan sekaligus penggunaannya memerlukan rekayasa sosial dan budaya yang ranahnya justru ada di daerah.
Kita dapat mempersempit ranah tersebut pada domain keluarga, sekolah, dan ruang-ruang publik yang menandai peristiwa sosial-budaya kedaerahan.
Sebagai contoh, karena bulan Februari adalah bulan bahasa ibu sedunia, dapatkah setiap keluarga, perkantoran, dan lembaga masyarakat berkomitmen lainnya menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi selama sebulan penuh.
Hal ini pun dapat diterapkan pada saat kita berinteraksi di media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Tweeter dengan mengeset lalu lintas pesan antarpengguna dengan menggunakan bahasa daerah.
Hal ini ditempuh hanya sebagai pengandaian saja bahwa jika situasi komunikasi memaksa peserta wicara menggunakan bahasa tertentu, partisipan yang terlibat akan cepat menguasai bahasa tersebut dalam kelisanan, seperti saat kita ingin memasihkan berbahasa Inggris dengan berkunjung dan menetap lebih lama di sebuah kampung berbahasa Inggris yang terkenal dengan nama Kampung Pare. Tabik!
Nizar Machyuzaar