Harga sebagai Manusia Chairil

2 min read

Menimbang Seabad

Oleh Nizar Machyuzaar*

 

 

Frasa harga sebaga manusia terdapat pada bab “Surat-surat Chairil Anwar kepada H. B. Jassin” dalam buku Aku Ini Binatang Jalang (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2016), halaman 115. Pada kartu pos, tertanggal 8 Maret 1944 tertera tujuan surat d/a R. M. Djojosepoetro, Paron.

Frasa ini menarik dibicarakan untuk melihat kembali sosok Chairil sebagai penyair Indonesia yang tak habis-habisnya dibicarakan. Apalagi, pada Selasa (26 Juli 2022) nanti berbagai kalangan masyarakat mengadakan berbagai bentuk acara untuk memperingati seabad kelahirannya.

Yang menarik, dalam kutipan surat tersebut terbaca cara Chairil menjadi manusia. Katanya, “Dan garis-garisku sudah kudapat, harga sebagai manusia (menselijke waardigheid) dengan kepribadian.” Tentu saja, pengakuan Chairil kepada H. B. Jassin ini dapat memberi tafsir baru atas sosoknya yang kadung dilekatkan dengan larik aku ini binatang jalang.

 

Kepribadian

Frasa tersebut dapat dianggap sebagai dasar filosofis Chairil menulis puisi. Namun, tidak hanya itu, frasa tersebut dapat menjadi pandangan hidup manusia bernama Chairil. Keberadaan manusia Chairil sejajar dengan keberhargaannya atas nilai kepribadian.

Keberadaan manusia, pun Chairil, berpangkal dari hidup dan berujung pada mati. Karenanya, kita akan mencari harga manusia Chairil dalam puisi-puisinya yang berhubungan dengan tematis hidup dan mati. Dari pandangannya atas kedua hal tersebut, kita dapat memiliki gambaran kepribadian manusia Chairil.

Nyatanya, Chairil memulainya bukan dari penghayatannya atas makna hidup dan kehidupan. Chairil malah memulainya dari kegagapan sikapnya atas peristiwa mati dan hal-hal yang berhubungan dengan kematian.

Hal ini terbaca dalam Puisi “Nisan”. Puisi dengan subjudul “Kepada Nenekanda” ini menjadi awal kepenyairannya. Puisi ini ditulis pada tahun 1942. Puisi ini ditulis untuk mengabadikan peristiwa kematian neneknya.

Puisi ini dibangun dari satu bait berlarik empat seuntai.  Dua larik pertama terbaca, //Bukan kematian benar menusuk kalbu /Kerelaanmu menerima segala tiba//. Saya menduga dua larik ini merupakan bagian orientasi atas frasa harga manusia Chairil.

Bagaimana tidak? Dua baris berikutnya, //Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertahta//, menjadi semacam judgement atau hipotesis atas frasa harga manusia secara umum dan Chairil secara khusus. Kita akan mencari bukti pada puisi-puisi Chairil yang ditulis berikutnya.

Hipotesis tersebut diuji saat Chairil hijrah ke Jakarta  pada usia 19 tahun. Di Jakarta Chairil bergaul dengan generasi pertama dan kedua kaum intelektual pribumi yang tercerahkan oleh pendidikan Hindia Belanda hasil politik balas budi. Tentu saja, hipotesis harga sebagai manusia dengan kepribadian akan bersentuhan dengan pesona pemikiran Barat sebagai antitesisnya.

Kita akhirnya mengetahui kompleksitas manusia Chairil dari aku lirik puisi yang merupakan pergulatan mencari sintesis dalam hidup dan kepenyairannya yang singkat (1942–1949). Kita menemukan eksistensialisme (puisi “Aku”),  nasionalisme (puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”), humanisme (puisi “Cintaku Jauh di Pulau”, mitisisme (puisi “Cerita Buat Din Tamaela”), dan teologisme (puisi “Doa”).

Yang mungkin abai dari Chairil sendiri adalah harga sebagai manusia telah membawa sintesisnya pada konklusi yang lebih ajeg dan dewasa. Pada puisi “Derai-derai Cemara” (1949), yang ditulis dua hari menjelang ajalnya, kembali menyeruakkan kesadaran puitiknya akan rapuhnya makhluk manusia dalam menerima keberadaan dan keberhargaan.

Bait terakhir puisi ini menggambarkannya. Keajegan dan kedewasaan atas harga sebagai manusia dimodelkan seperti yang dialami neneknya ketika menghadapi maut. Keajekan dan kedewasaan sikap atas hipotesis rela menerima takdir atau maut dialami Chairil sendiri. Tulisnya, //Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah//.

 

Garis Profetik| Namun demikian, kontekstualisasi puisi-puisi Chairil tidak hanya berpangkal pada hidup dan berujung pada mati. Pada tahun 1960-an apresiasi terhadap puisi-puisi Chairil menjadi bernilai politis. Dua kubu bersitegang, antara kubu Lekra yang menganut Realisme sosialis dan kubu Manifes Kebudayaan yang menganut humanisme universal.

Kedua kubu tersebut dapat dikatakan memiliki persamaan dalam mengandaikan karya sastra berfungsi dan bernilai sosial untuk memuliakan manusia dan peradabannya. Yang membedakannya adalah representasi puisi dan tujuan sosial keduanya. Yang pertama mengandaikan harga sebagai manusia pada hak-hak yang inhern melekati manusia. Yang kedua menganggap bahwa harga sebagai manusia akan ideal jika akses terhadap kekuasaan ditopang politik dan ekonomi yang terdistribusikan dengan merata.

Hanya saja, dalam tulisan ini kita mendapat harga lain dari kemanusiaan Chairil. Pernyataan akan kugali korek sedalamnya pada bagian lain surat tersebut menyiratkan hal kesungguhan Charil untuk memodelkan harga sebagai manusia.

Pada sintesis yang terbicarakan di bagian sebelumnya, konklusi tak kutahu setinggi itu atas debu  pada puisi “Nisan”dan sebelum akhirnya kita menyerah pada puisi “Derai-derai Cemara” dapat  membawahkan kedua bandul kubu tersebut dalam lipatan garis kenabian sebagai cara mengonkretkan kepribadian.

Pada sajak “Di Mesjid”, “Isa”, dan “Doa” konklusi di atas mendapat relevansinya. Bahkan, secara serampangan, lipatan garis kenabian ini menjadi dasar hipotesis-antitesis-sintesis harga manusia Chairil. Mungkin, garis ini yang dimaksud Chairil dengan kepribadian. Saat ini, kita mengenalnya dengan istilah sastra profetik.

 

Mangkubumi, 22 Juli 2022

*Penulis, Mahasiswa Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Unpad

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *