“AKU”, CHAIRIL, DAN “AADC”

4 min read

 “AKU”, CHAIRIL, DAN “AADC”

 

Oleh: Rosyid E. Abby

 

Seekor kuda paling binal,

berbulu putih dan rambut kuduk tergerai,

berlari di pusat kota,

Jakarta!

…..

 

Dia meringkik alangkah dahsyatnya,

menapak dan menyepak alangkah merdekanya.

Dunia ini,

seolah cuma menjadi miliknya!

Dan sekaligus seolah dia

bicara:

 

  • kalau sampai waktuku

kumau tak seorang ‘kan merayu

tidak juga kau

 

tak perlu sedu sedan itu

aku ini binatang jalang

dari kumpulannya terbuang –

……

 

Sampai juga sang kuda melayang

di atas gerbong kereta dan gubuk-gubuk liar, gerbong dan gubuk

busuk, milik perempuan-perempuan berdaki.

 

Meneteslah darah segar,

ketika kuda melayang di atas sana.

Dan jatuh menimpa

sebuah wajah dari:

 

Lelaki kurus berambut panjang,

bermata cekung tapi tajam,

berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang.

Tapi, dialah lelaki resah,

berwajah gelisah dan mata merah.

Lelaki yang baru saja keluar dari pintu reyot

sebuah gubuk yang basah.

…..

 

Sedang di kejauhan,

masih tinggal tersisa

sukamukti

sepotong ringkikan sang kuda:

 

  • dan aku akan lebih tidak peduli

       aku mau hidup

       seribu tahun lagi! –

 

Demikianlah Sjuman Djaya (selanjutnya ditulis Syuman) menggambarkan sosok Chairil Anwar di scene-scene awal film “Aku”, yang sayangnya tak sempat disutradarainya. Ya, adegan itu tergambar lewat buku skenario “Aku”, yang mengangkat perjalanan hidup penyair pelopor Angkatan ’45 itu.

Paling tidak, lewat skenarionya ini, Syuman hendak membandingkan semangat “kuda paling binal, berbulu putih dan rambut kuduk tergerai” dengan semangat Chairil Anwar yang selalu menggebu. Gambaran Syuman tentang Chairil (“Lelaki kurus berambut panjang, bermata cekung tapi tajam, berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang”) pun, sedikitnya ada kesamaan dengan apa yang digambarkan Nasjah Djamin dalam buku “Hari-hari Akhir Si Penyair” (1982): “Rambutnya agak kepirang-pirangan, selalu jatuh membuyar ke pelipis kanan, dan selalu dibenahinya cepat ke belakang dengan gerak jari yang cepat gesit. Putih matanya yang selalu kemerah-merahan, dihidupi oleh biji mata coklat muda bening, selalu sayup melihat arah yang kejauhan, tapi juga selalu gesit dan cemerlang, disertai gerak-gerik kenakalan.”

 

Buku “Aku” ini pertamakali terbit 1987, dua tahun setelah meninggalnya Syuman (19 juli 1985). Saat itu saya baru tingkat II di Jurusan Jurnalistik Akademi Komunikasi Bandung (AKB), dan sedang aktif-aktifnya sebagai anggota Teater Ge-Er (kini Teater Bel) di Gelanggang Generasi Muda (GGM) Bandung. Saya mendapatkan buku ini di toko buku “G” Jl. Merdeka (seberang GGM) seusai latihan drama di Teater Ge-Er. Kalau tak salah, ketika itu Teater Ge-er sedang giat-giatnya mempersiapkan pementasan drama “Ooperaan Beh” (“Bel Geduwel Beh” karya Danarto, sutr. Erry Anwar), dan mencanangkan nama Teater Bel untuk menggantikan nama Teater Ge-Er karena tak ingin selalu dianggap sebagai teater remaja.

Baik, saya tak ingin terlalu menyimpang dari tulisan ini.

Buku “Aku”-nya Sjuman Djaya ini tampil pula di film “Ada Apa dengan Cinta” (“AADC”, 2002) yang disutradarai Rudy Soedjarwo dan diproduseri Mira Lesmana dan Riri Riza. Dalam sebuah adegan di perpustakaan sekolah, tampak Rangga memegang buku itu, dan asyik membacanya. Laki-laki pendiam dan misterius itu sangat dikagumi Cinta, gadis yang juga suka membaca dan aktif di kegiatan ekstrakurikuler majalah dinding (mading) bersama gengnya. Akhirnya buku “Aku” itu menjadi “sebab” kedekatan Cinta dengan Rangga, meskipun Cinta tak mendapatkannya di toko buku mana pun (walau sudah berusaha keras mencarinya).

 

**

 

“Aku” begitu mengesankan bagi saya. Cerita yang disusun oleh Syuman itu sangat lain pengungkapannya dengan novel, apalagi biografi. Ya, meskipun buku tersebut disebut “Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar”, tapi gaya penulisannya lebih ke skenario, karena memang ini merupakan skenario film, yang tadinya (1985) akan difilmkan oleh penulisnya, sekaligus akan disutradarainya sendiri. Dan kabarnya, sudah digembor-gemborkan ketika itu, yang akan memerankan Chairil adalah WS Rendra (1935 – 2009, saat itu berusia 45 tahun). Namun, Tuhan berkehendak lain, sebelum film “Aku” terealisasi,  Syuman dipanggil menghadap-Nya saat dia sedang menyelesaikan film terakhirnya, “Opera Jakarta”. Dan, syukurnya, meski filmnya tak terealisasi, skenario “Aku” ini dapat “terselamatkan ” dengan diterbitkannya sebagai buku (1987).

Dulu, di tahun 1987 itu, saya sempat “menyayangkan” atas tak terealisasinya film “Aku” ini, sehingga saya menulis opini berjudul: “Surat Terbuka untuk Teguh Karya: Kisah Hidup Chairil Anwar Patut Difilmkan” (dimuat di HU “Pikiran Rakyat” tahun itu juga, saat saya menjadi penulis freelance di beberapa media). Dalam surat terbuka itu saya beropini dan “menyarankan” pada Teguh Karya untuk “mengambil alih” penyutradaraan dan mengharapkan supaya ada impresario atau investor agar skenario “Aku” ini lekas terealisasi menjadi sebuah film.

Belakangan, tahun 1990-an saya menyadari, surat terbuka itu harusnya tak (hanya) ditujukan untuk Teguh Karya (1937 – 2001), mengingat gaya Teguh dalam karya filmnya “sangat Eropa” atau bernuansa kebarat-baratan (realisme barat?). Bahkan, Teguh menyebut film-filmnya sebagai melodrama. Tak mengherankan, mengingat film-film Teguh cenderung bersentral pada keluarga (borjuis), mulai dari film “Cinta Pertama” (1973), “Ranjang Pengantin” (1974), “Kawin Lari” (1975), “Perkawinan dalam Semusim” (1976), “Badai Pasti Berlalu” (1977), “Usia 18” (1980), “Di Balik Kelambu” (1983), “Secangkir Kopi Pahit” (1984), “Ibunda” (1986), hingga “Pacar Ketinggalan Kereta” (1988). Namun demikian, keluarga yang digambarkan Teguh selalu mengalami konflik gender, kelas sosial, dan ekonomi.

Lain dengan Syuman Djaya yang terasa merakyat dengan gaya realisme sosialnya. Sebagian besar karya filmnya identik dengan rakyat kecil dan tak lepas dari kritik sosial, sejak film pertamanya “Lewat Tengah Malam” (1971), “Si Doel Anak Betawi” (1973), “Si Mamad” (1973), “Si Doel Anak Modern” (1976), “Pinangan” (1976), hingga film terakhirnya yang tak rampung dibuatnya, “Opera Jakarta” (1985). Harusnya, yang agak cocok dengan gaya Syuman adalah Atifin C. Noer (1941 – 1995). Bukankah Arifin sering melahirkan film-film “impian orang miskin” yang penuh perjuangan hidup? (Seperti pada “Rio Anakku”/1973, “Melawan Badai”/1974, “Suci Sang Primadona/1977, “Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa”/1979, “Harmonikaku”/1979, “Matahari Matahari”/1985, “Biarkan Bulan Itu”/1986, “Taksi”/ 1990, dan “Bibir Mer”/1991).

Namun akhirnya saya berfikir kembali. Tak jadi soal siapa yang menyutradarai, toh Teguh dan Arifin (termasuk Syuman) adalah sutradara terbaik yang (pernah) kita punya. Ketiganya punya kelemahan, keunggulan, dan ciri khasnya masing-masing. Semoga mereka mendapat tempat di sisi-Nya. Amin.

 

**

 

Meski buku “Aku” ini merupakan skenario, dan meski menggunakan tata bahasa klasik (mempertahankan bahasa sastra?) kita sebagai pembaca tak merasa kaku dalam membacanya. Buku ini justru terasa filmis, membaca layaknya menonton filmnya, karena imajinasi yang diciptakannya terasa kuat, dan … Ya itu tadi… Terasa filmis.

Layaknya sebuah skenario film, “Aku” ini terdiri dari scene per scene. Ada 138 scene, diawali dengan peristiwa meledaknya bom atom pertama di Hiroshima, dilanjut dengan berlarinya kuda putih (sebagai simbol dari “binatang jalang”-nya Chairil) di pusat kota Jakarta, kemudian diakhiri pula dengan ringkikan kuda putih tadi, menyatu dengan akhir suara pembaca sajak (Roosye): “Aku mau hidup seribu tahun lagi!”

Tak hanya “Aku”, sajak-sajak lainnya pun dinarasikan di buku skenario ini, meraut kisah yang menggambarkan perjalanan hidup penyair yang mati muda itu  (26 Juli 1922 – 28 April 1949). Dikisahkan, Chairil hidup dalam situasi Indonesia di tahun 1945-an, saat Jepang menduduki Indonesia, atau saat Belanda kembali menyerang Indonesia. Saat dirinya ditahan dan disiksa tentara Jepang, atau saat dirinya ikut ke Surabaya saat penyerangan oleh Belanda. Kisah asmara Chairil Anwar pun ikut mewarnai “Aku” ini. Kisah cintanya dengan anak seorang Mirat Tua, atau dengan anak seorang guru sekolah dan guru agama yang memiliki tanah luas di Karawang, sampai kemudian ada beberapa puisi-cintanya yang dimunculkan di buku ini. Satu di antaranya:

 

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri

 

Ah, hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

 

Kabarnya, Miles (Mira Lesmana) yang memproduseri “Ada Apa dengan Cinta” pun tertarik untuk mengangkat perjalanan hidup Chairil Anwar ini. Dengan menggaet sutradara Riri Reza, dia akan segera memroduksi film “Aku, Chairil”. Apakah nantinya akan berdasarkan skenario Syuman, atau skenario Syuman ini hanya sebagai landasan atau salah satu sumber, itu tak jadi soal. Yang penting adalah, sudah sangat selayaknyalah dunia sinema kita mengabadikan penyair pelopor Angkatan ’45 ini, sebab –diakui atau tidak—seperti kata WS Rendra dalam kata pengantar “Aku”: “Ia telah membuka kesadaran para seniman sezamannya dan sesudah zamannya. Mereka mulai melihat kemungkinan yang lebih luas untuk perkembangan kepribadian dan gaya kesenian yang baru. Orang boleh suka atau tidak suka kepadanya, tetapi telah terbukti harus diakui bahwa ia adalah salah satu dinamisator bagi kehidupan kebudayaan bangsanya.”

Maka, demikianlah Hari Puisi Indonesia diperingati setiap 26 Juli (sejak 2013 lalu), yakni bertepatan dengan hari kelahiran Chairil Anwar. Pemilihan sosok Chairil untuk Hari Puisi Indonesia (HPI) tak lain karena kepeloporannya dalam bahasa dan sastra Indonesia. Selain karena kepeloporannya, konon pemilihan Chairil pun karena totalitasnya dalam menggeluti dan menghidupkan puisi.

Akhirul kalam, selamat mengenang Chairil Anwar, selamat Hari Puisi Indonesia untuk kita semua!***

Rosyid E. Abby

Sukamukti, 25 – 26 Juli 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *