Kumpulan Puisi
Jang Sukmanbrata
CATATAN PENYUNTING
Jang Sukmanbrata saya kenal sejak awal 1980-an di Bandung, ia salah seorang pegiat kesenian yang terlibat dengan sejumlah komunitas sastra dan teater pada masa itu, antara lain dengan Kerabat Pengarang Bandung (KPB) pimpinan Diro Aritonang. Di mata saya ia seorang yang unik, setahu saya ia jarang sekali mengumumkan puisi-puisinya di media masa, meskipun begitu ke mana-mana ia selalu membawa setumpuk kertas yang tak lain berisi puisi-puisi karyanya. Saya sempat menjulukinya sebagai “penyair lisan” karena ia sangat aktif membacakan puisi di berbagai kesempatan. Jika bulan Agustus tiba ia akan sibuk berkeliling ke panggung-panggung 17-an yang digelar baik di tingkat RW maupun Karang Taruna di seputaran Bandung, dan kesibukan ini bisa berlangsung sampai bulan September. Ia juga banyak membacakan puisi di kampus-kampus secara spontan, baik di acara diskusi, lomba atau pentas sastra.
Sekitar pertengahan dekade 1980-an ia bergabung dengan sejumlah NGO yang ada di Bandung, antara lain Yayasan Anak-anak Merdeka pimpinan Susiawan, yang saat itu mahasiswa Seni Rupa ITB. Sebagai relawan ia mendampingi anak-anak (termasuk anak-anak jalanan) berlatih menggambar dan teater, di samping membimbingnya dalam mengapresiasi puisi. Bergiat sebagai relawan pendamping anak-anak dan kaum pinggiran rupanya membuat ia betah dan bergairah, dan ini dijalaninya sampai bertahun-tahun kemudian. Setelah rezim Orde Baru tumbang saya mulai jarang bertemu dengan Sukman. Ia juga jarang muncul dalam kegiatan-kegiatan sastra atau kesenian lainnya di Bandung.
Pada saat krisis moneter sebelum Reformasi ia sempat mampir ke rumah saya di Tasikmalaya, lalu tak lama setelah Reformasi saya pun sempat menemuinya di Padalarang ketika ia sudah berkeluarga dan tinggal di kampung istrinya, di sekitar perbukitan Rajamandala. Setelah itu lama tak ada kabar beritanya. Belakangan saya lamat-lamat mendengar bahwa ia bergabung dengan sejumlah komunitas (kabuyutan) yang melestarikan adat dan budaya Sunda, terutama dalam hal lingkungan alam, kearifan lokal, kesenian dan pencak silat. Di facebook saya melihat foto dirinya dengan gagah memakai iket kepala, baju kampret, celana pangsi warna hitam serta sabuk kulit yang sepintas mirip jawara dari Jampang Kulon, berbeda dengan penampilannya dulu yang cenderung meniru gaya Che Guevara dengan cerutu di tangan. Kini ia mulai menyukai tembakau mole khas Priangan, khususnya tembakau Cigasti dari Garut.
Saya juga mulai menemukan puisi-puisinya yang disiarkan baik di facebook maupun media online, belakangan konon ia juga rajin mengikuti seleksi untuk antologi-antologi puisi bersama. Bagi saya puisi-puisi Jang Sukmanbrata sekarang bagaikan gema yang bersahut dari puisi-puisinya yang ditulis saat masa mudanya dulu. Banyak hal yang ingin disampaikannya, banyak hal yang menarik perhatiannya, mulai dari persoalan bangsa dan negara, ketimpangan sosial di masyarakat, keberagaman budaya hingga renungan-renungan religius yang berlatar tasawuf. Pada sebagian puisi hal-hal tersebut tergambarkan secara jelas, langsung dan mengarah, namun di puisi-puisi lain perhatiannya kadang melebar dengan gambaran alam yang lebih imajis, simbolis dan metaforis.
Banyak yang menjadi kenangan Jang Sukmanbrata di masa lalu diangkat ke dalam puisi-puisinya sekarang, dan tampaknya ia begitu menghayati serta menikmatinya sebagai pengalaman yang indah. Antara lain kenangan saat ia menjadi relawan yang membimbing anak-anak kampung (setahu saya di Cisitu dan Kiaracondong), kenangan saat menjadi pendamping kaum pinggiran di perkampungan kumuh, kenangan sebagai aktivis demokrasi yang berhadapan langsung dengan rezim Orde Baru, juga kenangan ketika ia mengikuti kajian-kajian keagamaan di mana ia sangat menghormati kedudukan Imam Ali dan keturunannya dalam sejarah Islam. Kenangan-kenangan tersebut berkelindan dengan pengalaman serta kegiatan yang dijalaninya saat ini, yakni ketika ia bergiat di sejumlah komunitas (kabuyutan) yang peduli pada kelestarian alam, adat, budaya, tradisi serta kearifan lokal Sunda. Dan sepertinya, sebagian besar puisinya yang mutakhir ditulis langsung di padepokan-pedepokan kabuyutan tersebut, sekaligus dengan menyerap aura mistisnya.
Jika diamati secara kasat mata, saya melihat puisi-puisi Jang Sukmanbrata ini bentuknya naratif, di mana ia bercerita dengan lancar, kata-katanya mengalir, bersahut-sahutan, bahkan terkesan meracau seperti sedang mengalami suatu trance. Kelancarannya ini kadang menerobos batas-batas bentuk puisi itu sendiri, misalnya dalam hal bait dan tifografi, termasuk menerobos keutuhan sebuah kalimat. Dengan bebas imajinasinya meloncat liar ke sana ke mari, mencampurkan narasi dengan dialog, menautkan masa lalu dan masa kini, juga tempat-tempat, situs-situs, benda-benda serta peristiwa sejarah yang sebenarnya berjauhan. Namun itulah juga yang merupakan kelebihan seorang Jang Sukmanbrata, di mana diksi-diksinya yang mengalir deras menjadikan puisinya lebih bertenaga, idiom-idiomnya juga segar dan bergairah. Pada sebagian puisi kadang terasa liris dan puitis, terutama puisi-puisi suasananya yang relatif pendek.
Saya menyambut gembira ketika diminta menyunting puisi-puisi tersebut. Tugas saya bukan hanya menyusun benang merah dari keragaman tema yang ada, bukan hanya memperbaiki kesalahan ketik, tanda baca atau mengoreksi kata-kata baku dan tidak baku secara kebahasaan, namun juga berupaya merapihkan baris, bait serta tifografinya yang kadang liar dan cuek. Tentu saja tanpa sedikit pun menghilangkan bentuk serta karakter asli yang menjadi identitasnya.
Demikianlah sedikit catatan tentang Jang Sukmanbrata beserta puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku Merjan Kemuliaan ini. Sebuah buku yang menggambarkan perjalanan panjang, berliku-liku dan penuh pergulatan batin.
Acep Zamzam Noor
***
Judul buku: MERJAN KEMULIAAN
Penulis: Jang Sukmanbrata
Penerbit: Yayasan Mata Pelajar Indonesia
ISBN: 978-623-88403-9-7
Tahun terbit: Agustus, 2023
Cetakan: I, 300 eksemplar
Halaman: 107
Harga: Rp60.000,00
Narapesan: 082217803040